Rabu, 11 Desember 2024

Murtini dan Ultramen Dalam Konflik Geger Kendeng

Oleh: Ubaidillah Achmad*

Malam ini, tanggal 30 Desember 2016, saya terkejut setelah mendapatkan kabar, bahwa ada pemanggilan terhadap warga seputar persoalan identitas diri yang ditemukan dalam daftar surat. Sehubungan dengan kabar ini, saya meminta kepada teman, bukti surat pemanggilan, sebagai data atau acuan saya, bahwa apa yang saya tulis ini, karena ada persoalan yang serius yang harus saya tanggapi.

Sebelum saya menanggapi, saya mencoba mengingat ingat pada sebuah tayangan program Mata Najwa yang bertema bergerak demi hak. Dalam pandangan saya, tema yang dibuat program Mata Najwa di Metro ini sangat bagus dan relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Kondisi masyarakat ring pertama rembang sekarang ini, adalah masyarakat yang mempunyai hak suara dan berpendapat terhdap kondisi lingkungannya yang lestari yang dihadapkan dengan rencana pengembangan industri. Karena menjaga lingkungan lestari, adalah hak, maka seseorang yang bersikap untuk membela hak, adalah merupakan bentuk membela hak terhadap lingkungannya.

Bagaimana jika hak membela lingkungan lestari dikaitkan dengan kebijakan Ganjar yang langsung berdampak pada objek kebijakan? Dampak dari objek kebijakan ini, misalnya, berupa, industrialisasi yang berdampak buruk terhadap lingkungan lestari. Karenanya, untuk menghindari dampak buruk ini, diperlukan kajian yang serius dan penuh kejujuran. Dengan demikian tidak terjadi konflik akar rumput seperti sekarang ini.

Martini: Pejuang Kendeng

Martini, adalah di antara sekian petani yang masih gigih dan sabar menjadi tanda. Sebagai tanda Martini telah menandai kesadaran manusia terhadap arti lingkungan lestari dan relasi suci kosmologi. Kesadaran inilah yang melahirkan pengatahuan yang tidak diduga oleh para kapital dan para ilmuwan, bahwa industri akan berdampak buruk pada lingkungan, ekologi, lapisan ozon, dan psikis masyarakat korban industri. Artinya, industri akan berpengaruh pada lingkungan secara umum maupun lingkungan hidup.

Adanya tanda yang bernama Martini ini, telah mengundang perhatian masyarakat luas yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Rembang, namun juga masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat dunia. Fenomena ini telah menggugah banyak pihak untuk turut berpartisipasi mengingatkan kepada pemerintah maupun swasta, yang mengizinkan pendirian industri di lingkungan masyarakat padat penduduk. Peringatan ini, sudah dikirim ke Gubernur malalui sosmed, surat resmi, dan media elektronik dan cetak.

Sebagai sebuah tanda, Martini telah menghadapi resiko yang berat, yang di antaranya: pertama, terkait dengan sikap berkorban yang harus menyisakan waktu untuk perjuangan menjaga lingkungan lestari. Kedua, terkait dengan resiko berhadapan dengan pihak industri dan aparat keamanan. Misalnya, kondisinya yang berusia 35 tahun (sebagaimana yang beredar di jejaring sosial) harus berhadapan dengan aparat yang pernah melemparnya kesemak berduri.

Kejadian na’as ini terjadi tanggal 16 Juni 2014. Pada peristiwa ini, Murtini bersama puluhan perempuan dari Desa Timbrangan dan Tegaldowo Gunem Rembang telah berani menghentikan masuknya alat berat ke dalam area tapak pabrik semen di desa mereka. Keberanian Murtini ini dibentuk oleh kesadarannya, bahwa pabrik dan tambang semen akan mengancam suply air yang mereka butuhkan untuk pertanian dan penghidupan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang untuk kebutuhan anak cucu.

Kesadaran Murtini yang berdampak pada jangka panjang ini, sudah ia lakukan sama yang dilakukan para leluhur sebelumnya. Misalnya, adanya sikap kearifan masyarakat lokal untuk menanam pohon jati yang diharapkan akan dapat dipetik oleh anak cucu. Model kearifan lokal yang berupa sikap menanam pohon itu, bukan untuk keuntungan diri sendiri, namun untuk jangka panjang anak cucu. Karnanya, berulang kali, setiap Murtini ditanya, tidakkah usia masih muda memerlukan lapangan kerja, segera ia akan menjawab, kami hanya ingin anak cucuk menyaksikan gunung kendeng yang mampu menopang kebutuhan air masyarakat Rembang. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Murtini dan sedulur kendeng yang lain bertahan di tenda yang sudah berlangsung terhitung selama 929 hari.

Deret kisah perjuangan Murtini tidak hanya di tapak pabrik, namun bersama ibu-ibu Kendeng terus melakukan serangkaian aksi. Misalnya, aksi mengiringi proses persidangan, aksi Kartini Mencari Jokowi, aksi Long March Menjemput Keadilan, aksi budaya Kupatan Kendeng, aksi menghantarkan surat undangan untuk mengadakan Pembuktian kebenaran AMDAL.

Hasilnya, perjuangan Murtini telah mencengangkan semua pihak, baik akademisi maupun para politisi secara nasional dan dunia. Sesuatu yang dianggap tidak mungkin oleh pihak yang pura pura mendukung pejuang kendeng melalui jalur hukum, ternyata setelah keputusan hukum MA belum kunjung bersikap sesuai dengan harapan para petani kendeng.

Yang menjadi ironis, pada saat tulisan ini dibuat, Ganjar Pranowo belum segera melanjutkan putusan MA. Misalnya, melanjutkan isi amar keputusan MA. Fenomena sikap Ganjar ini, berimplikasi pada peristiwa yang seharusnya tidak terjadi: pertama, menerbitkan ijin baru bagi PT. Semen Indonesia di Rembang. Ini artinya, selain Ganjar menjanjikan akan mematuhi keputusan hukum yang tidak direspon segera, ia juga telah terbaca mendukung kelanjutan industri semen di rembang.

Bagaimana sekarang Murtini? Tanggal 16 Desember 2016, Murtini bersama Sutrisno  menerima surat pangilan dari Polda Semarang. Kejadian pemanggilan ini bermula dari laporan legal officer PT Semen Indonesia.

Analogi Berbeda Konteks

Dalam kasus pemanggilan Murtini, telah memunculkan pandangan yang serba kemungkinan. Misalnya, Murtini akan tetap selamat dari pemeriksaan karena beberapa alasan: pertama, tanda tangan tersebut masih belum jelas dan relevansinya dengan persoalan substansi analisis lingkungan. Kedua, Pihak pengadu atau penyidik menyadari objek persoalan tidak merupakan objek yang menjadi substansi industri apakah berhenti atau berlanjut di Rembang?

Bagaimana analogi gugatan Joko Prianto dibandingkan dengan laporan legal officer PT Semen Indonesia terhadap Ultramen? Gugatan Joko Prianto tersebut terkait dengan masalah substansi yang mendasari bukti substansial, apakah sudah ada sosialisasi tentang hal yang seharusnya disosialisasikan? Sementara itu, persoalan ultramen sebagai bentuk pilihan rakyat untuk bebas mengidentifikasi diri sebagai peserta yang diminta berpendapat. Secara sosiologis, hal ini merupakan dampak dari arus teknologi informasi, sehingga ultramen tidak hanya tren di kalangan masyarakat kota, namun juga menjadi tren masyarakat desa.

Kemunculan ultramen merupakan bentuk yang dipersoalkan yang akan berdampak pada penambahan kuantitas tolak semen versus pro semen. Peran ultramen sebenarnya berfungsi sebagai penanda tangan dan berfungsi sebagai data pandangan masyarakat yang mengikuti sosialisasi, bukan diambil sebagai fungsi keabsahan sosialisasi. Karena tanpa ultramen, baik untuk dukungan sosialisasi maupun untuk dukungan tolak, sebenarnya tidak berpengaruh apa apa.

Yang menjadi persoalan, mengapa untuk menanggapi keputusan MA, keberadaan ultramen menjadi kuat? Hal ini tentu saja, kekuatan ultramen bukan karena dzat fisiknya, namun karena dikuatkan kehendak kepentingan untuk merespon kepitusan MA.

Selain itu, fenomena Ultramen berbeda dengan fungsi AMDAL. Karenanya, tidak dapat dianalogikan secara seimbang, apabila dikaitkan antara ultramen dan AMDAL. AMDAL memiliki arti penting sebagai dasar perizinan industri. Sementara itu, ultramen merupakan bentuk tren media informasi yang dipahami masyarakat yang akan berdampak pada model karakter seseorang yang suka figur ultramen. Sedangkan, model AMDAL jika tidak dilakukan dengan jujur akan berdampak langsung pada lingkungan lestari dan kelangsungan ekologis.

Karenanya, jika keberadaan ultramen dipersoalkan, maka apakah itu masuk kawasan substansial yang akan berdampak pada lingkungan lestari dan kelangsungan ekologis.

Hukum Islam Terhadap Ultramen

Fenomena Ultramen dalam kasus konflik akar rumput di lingkungan masyarakat, perlu untuk mendapatkan kajian pespektif Islam. Alasannya, fenomena adanya ultramen di tengah konflik industri semen versus warga tolak semen ini berada di lingkungan tradisi santri masyarakat Pamotan dan Rembang. Tradisi masyarakat santri ini, sangat lekat dengan perspektif hukum Islam.

Dalam hukum Islam menghindari kerusakan itu wajib dibandingkan dengan menarik kemaslakhatan hidup. Karenanya, Amdal untuk melihat dampak lingkungan itu wajib. Sama halnya dengan menjaga lingkungan lestari, juga dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang mulia. Jika lingkungan lestari tidak dijaga dengan baik, maka akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, hukum menjaga lingkungan lestari itu, adalah Wajib.

Dalam konteks hukum wajib ini tergantung pada konteks. Jika penjagaan terhadap lingkungan lestari cukup dengan sebagian perwakilan, maka hukum wajibnya menjadi fardlu kifayah. Sebaliknya, jika menjaga lingkungan lestari tidak cukup dengan perwakilan, maka setiap muslim baligh wajib melakukannnya. Istilah hukum untuk katagori ini disebut fardlu ain.

Yang menjadi persoalan bagaimana analisis terhadap dampak lingkungan dapat dilakukan dengan jujur tanpa ada relayasa. Karena kesalahan awal melakukan kajian lingkungan akan sangat membahayakan bagi generasi yang akan datang. Berikut ini dasar hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan kepantasan menganalogikan antara analisis dampak lingkungan dengan kasus Ultramen.

Dasar hukum dimaksud: Al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibaahatu maa lam yarid daliilut tahriim”. Artinya, hukum asal dari segala benda adalah boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, adalah kaidah yang benar. Sehubungan dengan kaidah “al-ashlu fil asy-yaa’i al ibaahah” ini, terkait dengan konteks pemanfaatannya. Apa relasinya dengan pegunungan kendeng? Jika pemanfaatan gunung kendeng tidak mengancam kerusakan ekologis, maka boleh dilakukan penambangan.

Sebaliknya, jika pemanfaatan gunung kendeng akan merusak kelangsungan lingkungan hidup, maka haram dilakukan penambangan. Jadi, gunung kendeng merupakan konteks yang dimaksudkan oleh kata al asya’ yang konteks pemanfaatannya lebih baik bertahan dan tetap tanpa pertambangan. Kata Al asya’ dijelaskam secara istilah, sebagai berikut: al mawaadul-latii yatashorrofu fiihaa al-insaanu bi-af’aalihi. Artinya, materi-materi yang digunakan oleh manusia dalam perbuatan-perbuatannya.

Jadi, kaidah ini berlaku bagi benda ketika dia dikaitkan dengan perbuatan. Atas dasar itu, kaidah “al ashlu fil asy-yaa-i al ibaahah maalam yarid daliilut tahriim” ini bukanlah kaidah yang sia-sia. Jika kita meletakkannya pada tempat yang benar, maka kita akan menemukan urgensi dari kaidah ini. Misalnya, untuk konteks menjaga lingkungan lestari dikaitkan dengan mempertahankan gunung kendeng. Sebaliknya, jika tidak ditempatkan pada konteks yang benar, maka kita tidak akan menemukan urgensi dari kaidah ini. Misalnya, persoalan ultramen di tengah konflik antara masyarakat ring pertama dengan industri semen.

*Penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim Majlis Kongkow As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru