Selasa, 18 Februari 2025

Nah! Menkopolhukam Wiranto Ingatkan Kembali Kerusuhan 1998

JAKARTA- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyiarkan cuplikan film dokumenter peristiwa yang terjadi pada 1998 di sesi terakhir agenda Silaturahim Tokoh-Tokoh Lintas Agama di kantor Kemenko Polhukam, Senin (21/11). Dalam kesempatan itu Wiranto mengatakan tidak ingin peristiwa 1998 tersebut terulang kembali menyusul situasi negara yang menghangat belakangan.

“Untuk memori kita, izin dua menit, saya mencuplik untuk kita refleksi kembali apa yang saya hadapi dulu (dengan) yang dihadapi bapak ibu sekalian. Mungkin kita dulu saling berhadapan, ada yang demo, ada yang maki-maki Pak Wiranto ya enggak apa-apa. Itu kan masa lalu, yang membuat ada satu perubahan,” ujar dia.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, Wiranto juga mengajak para tokoh lintas agama itu untuk mengingat peristiwa kerusuhan 1998 itu dan menjadi bahan merefleksi diri sehingga peristiwa itu tidak terulang lagi.

“Karena tatkala itu terjadi, itu setback, seluruh sistem nasional runtuh, dan kita mengemas kembali dan belum tentu kita bisa berhasil mengemas dalam waktu yang sangat singkat,” ujar dia.

Karena itu, Wiranto mengajak para tokoh agama, tokoh-tokoh ormas agama dan masyarakat, untuk bersama menjaga negara dan mengingatkan kepada siapa pun negara ini bukan untuk dirusak.

“Karena itu, mari, saya mewanti-wanti, kita hindari benturan-benturan yang mengarah ke sana,” ucap dia.

Negara yang diwarisi oleh para pendahulu, terang Wiranto, sedang dalam proses perawatan dan pembangunan. Di dalam proses itu, diakui dia, pemerintah diminta ikut bertanggung jawab atas kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Justru, lanjut dia, kesalahan yang dilakukan secara personal harus dikembalikan kepada orang itu sendiri. Menurut Wiranto, tidak adil jika negara yang bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan secara perseorangan. “Ini kan tidak adil dan tidak benar. Kalau itu terus dipaksakan, tentu akan terjadi sesuai yang tidak kita harapkan,” katanya.

Perbedaan menurut Wiranto adalah fitrah manusia. Untuk itu, yang diperlukan adalah bagaimana perbedaan itu dikemas dalam bingkai kebersamaan dengan proses komunikasi.

“Para sesepuh kita mengajarkan, bahwa kebijakan yang benar-benar bijak adalah memahami perbedaan. Warisan ini harus dijaga dirawat dengan baik sebab akan membawa Indonesia masuk dalam pergulatan internasional dan menjadi negara yang bersatu berdaulat dan adil dan makmur,” tegas Wiranto.

Saling Membutuhkan

Kepada Bergelora.com dilaporkan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada kesempatan yang sama menyebut bahwa negara dan agama saling membutuhkan. Keduanya menjalin hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme, agama memerlukan negara, negara pun butuh agama.

“Agama memerlukan negara, karena melalui dukungan dan fasilitasi negara, nilai-nilai agama bisa dibumikan dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakatnya. Negara juga membutuhkan agama, karena para penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya, membutuhkan spiritualitas, religuisitas,” terang Menag.

Penyelenggara negara menurutnya mempunyai pemaknaan terhadap pelaksanaan kewajibannya. Inilah salah satu ciri khas Masyarakat Indonesia yang religius. Selain simbiosis mutualisme, lanjut Menag, hubungan negara dan agama juga saling mengimbangi dan mengontrol. Jika ada penyimpanan kekuasaan, maka agama akan berbuat sesuatu agar negara bekerja dengan baik kembali. Negara juga juga mengontrol praktek-praktek keagamaan.

“Sejarah mencatat, agama mayoritas cenderung represif terhadap minoritas. Nah, di sinilah, negara hadir dan diperlukan,” kata Menag.

Menag berharap, masyarakat bisa menjadikan musyawarah sebagai solusi utama setiap kali menghadapi masalah. Jika musyawarah gagal, maka penyelesaian melalui hukum yang berlaku.

Hal ini berlaku juga dengan kasus yang menimpa Ahok. Menurutnya, jika silang sengketa tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah, maka biarkan jalur hukum sebagai penyelesai. Untuk itu, diperlukan kearifan dan kedewasaan kita dalam bersepakat dengan hukum.

“Mari kita kawal bersama, agar proses hukum yang berjalan mampu memenuhi rasa keadilan kita semua,” harapnya. (Aan Rusdianto)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru