Jumat, 28 Maret 2025

Nenek Asyani, Korban Kesewenang-wenangan UU P3H

JAKARTA- Nenek Asyani adalah korban dari keberlanjutan kesewenang-wenangan dari Undang-undang No. 18/2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Sejak disahkan 6 Agustus 2013, UU P3H telah memenjarakanmasyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Koalisi Anti Mafia Hutan mencatat setidaknya terdapat 22 orang yang sudah dihukum dengan dasar UU P3H tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Koalisi Anti Mafia Hutan, Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta. Senin(16/3).

“Dari kasus-kasus yang dicatat Koalisi tersebut, tak satupun korporasi yang menjadi pelaku-nya, melainkan warga yang tinggal di dalam dam sekitar kawasan hutan,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa  nenek Asyani sekali lagi menjadi bukti bahwa negara, telah sewenang-wenang terhadap warga melalui UU P3H, karena kewajiban negara untuk memperjelas tata batas kawasan hutan tidak dilakukan.

“Akibatnya, UU P3H gagal menindak korporasi besar perusak hutan yang melakukan kejahtaan terorganisir, melainkan menyasar dan mengkriminalkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. Koalisi Anti Mafia Hutan kini tengah melakukan Pengujian UU P3H ke Mahkamah Konstitusi dan meminta MK untuk membatalkan seluruh isi UU P3H,” jelasnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi Anti Mafia Hutan menuntut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo yang memeriksa perkara terdakwa Asyani harus memutus bebas Nenek Asyani.

“Perhutani harus dapat menghormati hak-hak masyarakat yang berada di dalam atau sektar hutan untuk dapat mengambil sumber kehidupannya dari hutan. Perhutani dapat menertibkan aparatnya dan mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian permasalahan,” tegasnya.

Koalisi juga meminta agar Mahkamah Konstitusi segera memutus perkara No 95/PUU-XII/2014, Pengujian UU P3H dengan membatalkan seluruh isi dari UU P3H tersebut.

Sebelumnya, pada Maret 2015, seorang Nenek 63 tahun dipaksa menjalani proses hukum akibat dituduh mencuri 38 papan kayu Perhutani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Bahkan, Asyani sudah ditahan sejak 15 Desember 2014. Pasal yang didakwakan kepadanya adalah Pasal 12 huruf d UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), dengan ancaman hukuman paling singkat 1 tahun dan maksimal 5 tahun.

Koalisi Anti Mafia Hutan menilai perkara yang menjerat Nenek Asyani merupakan bukti bahwasanya UU P3H secara substantif bermasalah. Isi dari UU P3H bertentangan dengan semangat menjerat korporasi besar yang melakukan perusakan hutan.

Padahal dalam konsiderans menimbang dari UU P3H disebutkan: bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;

Sebaliknya, Undang-Undang ini justru mengkriminalkan masyarakat lokal yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional, yakni masyarakat lokal yang tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan.

Dalam UU P3H Pasal 12 huruf d disebutkan  bahwa memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;

Pasal 83 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa Orang perseorangan yang dengan sengaja memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Koalisi Anti Mafia Hutan terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan HuMa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), SAWIT WATCH, Epistema Institute, Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Silvagama, dan Public Interest Lawyer Network (PILNET). (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru