JAKARTA – Sejumlah anggota Komisi II DPR mempertanyakan beberapa isu nasional yang ramai diperbincangkan, khususnya soal isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Hal itu terjadi dalam rapat kerja (raker) Komisi II bersama Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Sekretaris Kabinet dan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Senin (4/4/2022).
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mempertanyakan apa saja upaya yang telah dilakukan oleh Kepala KSP Moeldoko untuk memonitoring isu-isu tersebut.
“Ada isu-isu nasional, termasuk juga persoalan perpanjangan jabatan, persoalan tiga periode jabatan presiden dan lain sebagainya. Tentu ini juga bagian dari tugas dan tanggung jawab yang bapak sampaikan kepada kami,” kata Guspardi dalam rapat, Senin.
Politisi PAN itu meminta agar isu-isu tersebut menjadi tanggung jawab dari pemerintah, khususnya KSP.
Ia pun menyoroti berbagai kegiatan yang dipaparkan oleh KSP Moeldoko.
Menurut dia, segala kegiatan atau evaluasi pelaksanaan program dan tahun anggaran 2021 sudah dipaparkan. Namun, Komisi II ingin mendengar komentar Moeldoko terhadap isu-isu tiga periode yang ramai belakangan.
Respons tersebut, kata dia, penting disampaikan dan ditunggu oleh Komisi II sebagai bagian daripada tanggung jawab tugas KSP.
“Oleh karena itu, kami berharap di samping melakukan kegiatan, tentu juga harus bagaimana bentuk outcome manfaat atau dampak dari kegiatan yang bapak lakukan itu?,” tanya Guspardi.
Selain Guspardi, pertanyaan yang sama juga diutarakan oleh anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Ichsan Yunus.
Ichsan menanyakan sikap Mensesneg Pratikno terhadap wacana presiden tiga periode.
Khususnya, soal aspirasi para kepala daerah mengatasnamakan Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (Apdesi) yang menginginkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjabat.
“Untuk pak Mensesneg, ini juga kembali lagi ke masalah deklarasi-deklarasi untuk dukungan 3 periode yang dilakukan asosiasi-asosiasi pemerintah desa, ini harus kami tanyakan. Karena salah satu fungsi Setneg adalah dukungan teknis, administrasi dan analisis dalam penyelenggaraan hubungan dengan lembaga daerah,” ucapnya.
Namun, adanya deklarasi-deklarasi itu membuat dirinya bertanya apakah wacana tiga periode sebelumnya telah dibicarakan di tingkat Setneg.
“Bagaimana bapak melihat isu ini? Bagaimana kemudian lembaga daerah bisa seolah-olah melaksanakan politik praktis seperti yang sudah dipertontonkan kepada kita semua,” tanya Ichsan.
Kemudian, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani mengingatkan agar wacana tiga periode itu tidak dibiayai oleh anggaran negara.
Sebab, ia menegaskan bahwa wacana tiga periode melanggar Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Mudah-mudahan tidak ada anggaran digunakan untuk kegiatan-kegiatan isu 3 periode atau penundaan (Pemilu) karena itu sangat bertentangan dengan konstitusi,” ucapnya.
“Kalaupun isu itu ada, biarkan jadi isu elit yang akan diputuskan oleh para pimpinan partai,” tegas Mardani.
Jawaban Pratikno
Menjawab sejumlah kritik itu, perwakilan pemerintah yaitu Mensesneg Pratikno menjelaskan kronologi dari kejadian para kepala desa yang menyuarakan presiden tiga periode.
Dia mengatakan, tidak ada deklarasi tiga periode pada acara tersebut.
“Dan perlu kami tegaskan waktu Pak Presiden ada di ruang tersebut, tidak ada pernyataan deklarasi apapun jadi kalaupun ada deklarasi itu di luar pengetahuan kami,” ucap Pratikno dalam rapat.
“Karena kami memang statusnya diundang dan deklarasi yang dilakukan yang kami baca di media itu dilakukan belakangan setelah kami meninggalkan tempat,” sambung dia.
Sementara itu, Seskab Pramono Anung menegaskan tidak ada anggaran baik di Setneg, Setkab maupun KSP mengenai banyaknya kegiatan yang menyuarakan wacana tiga periode.
Menurut dia, penegasan itu menjadi jelas bahwa pemerintah tidak ikut campur dalam banyaknya suara dukungan mengenai wacana tersebut.
“Presiden telah 4 kali menyampaikan kepada publik yang terakhir tanggal 30 Maret di Borobudur saya yakin apa yang disampaikan presiden sudah cukup jelas ditangkap oleh publik,” tutur Pramono.
Di sisi lain, Pramono menegaskan bahwa wacana tiga periode tidak mudah dilakukan, khususnya melakukan amendemen UUD 1945 untuk mengakomodasi hal tersebut.
Selain itu, wacana amendemen pun dinilai akan membuka kotak pandora terhadap isu-isu seperti wacana perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan pemilu.
Gak Percaya Partai
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil sigi terbaru perihal perkembangan demokrasi di Indonesia. Salah satu temuannya yaitu soal kepercayaan pada institusi negara, di mana partai politik masih menjadi institusi paling tidak dipercaya di Indonesia.
“Ini bukan temuan baru, juga terjadi beberapa tahun terakhir,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam rilis Survei Nasional tentang Trust terhadap Institusi Politik, Isu-isu Mutakhir, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu Serentak 2024 secara virtual, Minggu, 3 April 2022.
Dalam survei ini, hanya 6 persen saja responden yang menyatakan sangat percaya dengan partai politik. Lalu 38 persen percaya. Sisanya responden menyebut sedikit percaya dan tidak percaya sama sekali.
Kondisi ini terjadi bertahun-tahun ini, kata Burhanuddin, harusnya menjadi introspeksi bagi partai politik. “Ada ekspektasi tinggi, tapi tak bisa dijalankan elit partai,” kata dia.
Rendahnya kepercayaan pada partai politik selalu terjadi dalam berbagai survei dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya pada Februari 2021, hasil sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menempatkan partai politik diurutan paling rendah yang dipercaya publik.
Sebaliknya, Indikator mencatat institusi dengan kepercayaan paling tinggi yaitu TNI. Sebanyak 26 persen sangat percaya dengan TNI dan 67 persen cukup percaya.
Sebenarnya, kata Burhanuddin, di awal-awal masa reformasi kepercayaan pada TNI masih rendah karena masih dikaitkan dengan Orde Baru. Indikator punya catat sejak 2010 lalu, dan menemukan kepercayaan publik pada TNI kian meningkat.
Menurut Burhanuddin, tingginya kepercayaan ini memberi indikasi kalau publik menilai TNI yang sekarang beda dengan yang sebelumnya. Ia berpandangan salah satu penyebabnya adalah karena TNI semakin menarik jarak dengan politik praktis.
Secara umum, kepercayaan pada institusi negara hanya satu dari tiga kriteria yang digunakan Indikator dalam mengukur kualitas demokrasi di Indonesia. Kriteria lainnya yaitu preferensi publik pada sistem demokrasi.
Hasil survei menemukan sebanyak 77,2 persen responden masih percaya kalau demokrasi adalah sistem yang terbaik untuk penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, kata Burhanuddin, demokrasi pasca reformasi sudah benar-benar diterima publik walau ada kekurangan.
“Ini yang menjelaskan mengapa publik, dalam kasus penundaan (Pemilu 2024) bereaksi keras. Karena mereka rasa ini sudah jadi bagian dari kehidupan mereka,” kata dia.
Lalu kriteria terakhir yaitu kinerja institusi negara. Survei ini juga menemukan kalau kinerja dipengaruhi oleh pengetahuan publik terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh institusi tersebut.
Burhanuddin mencontohkan hasil survei terhadap kasus korupsi ASABRI yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Hasilnya, 85,2 persen dari responden yang mengetahui kalau Kejaksaan Agung sedang menyelidiki kasus ini.
Kondisi ini dinilai mempengaruhi kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung. Hanya 10 persen yang sangat percaya dan 64 persen yang percaya. “Karena dalam demokrasi institusi tak bisa hanya menjalankan fungsi teknokratis, tapi juga sosialisasi,” kata dia.
Survei ini dilakukan secara tatap muka terhadap 1.200 responden dengan jumlah proporsional di setiap provinsi. Sampel diambil berdasarkan jumlah masyarakat yang punya hak pilih di setiap provinsi. Metode survei yaitu stratified multi-stage random sampling dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen. (Web Warouw)