Selasa, 15 Juli 2025

Obituari: Arief Nan Budiman

Arief Budiman. (Ist)

Arief Budiman, adalah salah satu intelektual yang ikut mendorong gerakan perempuan modern di masa Orde Baru. Bukunya yang berjudul ‘Pembagian Kerja Secara Seksual’ menjadi inspirasi bagi perempuan untuk ikut terlibat dalam gerakan demokrasi yang lebih luas. Maria Pakpahan Co-founder Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FDPY), activist, feminist,–menuliskannya mengenang sosok Arief Budiman. (Redaksi)

Oleh: Maria Pakpahan

SOSOK kurus sederhana tanpa printilan yang terekam di benak saat mengenalnya 32 tahunan lalu. Arief Budiman. Nama yang pas untuk sosoknya. Memang ia orang yang budiman. Tahun 1988/1989 saat itu buku Pembagian Kerja Secara Seksual (PKSS) menjadi salah satu buku yang Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FDPY) bedah dan Arief Budiman tidak keberatan dari Salatiga ke Yogyakarta menjadi nara sumber diskusi tanpa honor yang jelas.

Saya bersama Juli E. Nugroho bertugas menjemput Arief dari Salatiga dengan mobil ala kadarnya. Saya ingat hijau pekarangan rumahnya dan harus hati-hati dengan soang yang bebas berkeliaran. Perjalanan cukup lama dan diisi obrolan santai, serius. Mungkin karena lama di jalan ini, saya bisa lebih santai melihat seorang Arief Budiman. Mulai dari obrolan soal tempat makan yang enak hingga udara dan petani Kopeng.

Terus  terang saya tidak ingat persis kapan pertama kali bertemu Arief. Yang saya ingat, dia mengenalkan dirinya, saya Arief. Yang jelas saya ingat adalah lebih dulu merasa ‘mengenal’ Soe Hok Gie dari bukunya ‘Catatan Seorang Demonstran’ yang saya baca dibangku SMP 1983 dan dari cerita sobatnya naik gunung Aristides Katoppo. Bisa jadi saya ketemu Arief di Sinar Harapan.

Adapun nama Arief Budiman sudah masuk telinga sejak gerakan Golput saya dengar, juga tentang proyek Taman Mini Indonesia Indah yang diprotes. Mungkin di Yogya atau Jakarta saya bertemu Arief, entahlah. Sebelum berinteraksi dengan Arief, saya melihat sosok Hok Gie dengan “adoration” karena memang bagai legenda. Namun setelah mengenal Arief, saya melihat sosok yang teduh namun tajam, serius dalam menjalani komitmennya sebagai intelektual dan juga sama seriusnya menapaki isu-isu sosial, ketimpangan, budaya, sastra, film, ketidak-adilan, anti fascism serta seorang demokrat yang juga menjunjung tinggi egalitarian. Bagi saya Arief lebih jelas dari Hok-Gie.

Yang saya ingat Arief intelektual laki-laki Indonesia pertama yang setahu saya, memang seorang feminis juga. Ia juga mempromosikan feminisme dengan membongkar cara pikir yang mengkotak-kotakkan dengan buku PKSS-nya. Bukunya jelas mengutip pemikiran Engels The Origin of the Family, Private Property and the State. Arief bisa jernih melihat bagaimana keluarga terbentuk karena Arief memang bukan seorang yang ahistoris.

Maria Pakpahan. (Ist)

Dengan lugas Arief menjelaskan bagaimana PKSS dibangun berdasarkan konstruksi sosial, dilanggengkan dan konsep gender berlaku. Arief juga fasih membahas Erich Fromm, Ivan Illich dan tentunya ‘Dependence theory’ Andre Gunder Frank & Cardozo serta juga ‘World System’ nya Immanuel Wallerstein. Saya beruntung bisa hadir saat Arief jadi nara sumber di berbagai diskusi mulai dari soal sastra kontekstual hingga soal demokrasi.

Pernah mbak Leila, demikian saya memanggil istri Arief yang sudah lebih saya kenal lewat kolom psikologinya di Kompas Minggu, FDPY undang sebagai nara sumber dalam diskusi. Berbagai kegiatan ini membuat saya merasa tidak berjarak dengan Arief dan mbak Leila.

Disaat yang sama kasus Kedung Ombo terjadi dan ini membuat sebagian aktivis mahasiswa/i menggalang aksi solidaritas, wara-wiri sana-sini dan salah satu poros yang aktif adalah Salatiga-Yogyakarta. Mungkin karena jarak dan unsur ideologi sosialisme membuat poros ini aktif dalam agenda melawan arogansi kekuasaan Soeharto dan Orde Barunya.

Setiap main ke Salatiga, ya ke UKSW, Yayasan Geni dan ke rumah Arief  di desa Kemiri nan asri teduh. Arief selalu membuka rumahnya, hangat menerima kami mahasiswa/i yang mampir. Ada juga sosok George Junus Aditjondro dan Ariel Haryanto di UKSW saat itu. The three musketeers of Salatiga. Beda-beda coraknya.

Arief menjadi salah satu rekomendator saya untuk melanjut sekolah di Belanda dan kemudian menyelesaikan Master dalam Study Pembangunan di ISS (Institute Social Studies), Den Haag. Arief peduli dengan mereka yang terdesak. Rekam jejaknya soal ini jelas. Puisi Widji Thukul menjadi saksi keluhuran budi serta setia kawannya.

Saya juga mengenal Arief yang suka menulis essay, cermat mengamati budaya lewat film dan karena latar belakang pendidikan psikologynya berguna dalam menulis review film yang ditontonnya bahkan dalam penulisan mengenai sastra konteksual, Arief kenal benar psikologis penulis Indonesia yang mau jadi sastrawan Indonesia tanpa mengenal pembacanya, seakan  Arief sudah hilang kesabaran melihat penulis yang tak membumi dan terbuai dalam universalisme namun tidak juga menuai nobel misalnya.

Dalam bahasannya, apakah penulis Indonesia menulis novel yang bisa dinikmati keindahannya oleh petani misalnya? Bukan berarti jika petani tidak menikmati novel sastra karya penulis tak berakar membumi ini maka petani tidak menghargai dan memiliki jiwa kesusastraan. Disini sastra konteksual menjadi penting dan relevan. Arief Budiman dan Ariel Haryanto menekankan pentingnya history-socio konteks, sesuai jamannya.

Hubungan sempat terputus saat saya di Belanda. Saat saya kembali ke Indonesia 1995 dan bekerja di INFID, kembali bertemu Arief dan tetap kritis, bersahaja dan konsisten melawan Soeharto. Kampus UKSW Salatiga sendiri melakukan blunder pendidikan saat tidak berpihak pada staff pengajarnya yang kritis dimana Arief salah satunya, kena pecat tahun 1994.

Ini sekitar 1995/97 seingat saya, Arief salah satu advisory board INFID dan periode ini dia terkadang bisa bicara pakai gue-elu..tentunya bikin saya ngakak mendengarnya. Sementara Asmara Nababan berkau..kau. Belum lagi ada Kartjono yang jawani dan Gus Dur yang kalau bicara blak-blakan dan pernah membodoh-bodohkan peserta rapat. Arief pernah kesal dengan Gus Dur, namun dinasehati oleh Romo Mangun. Kini, Arief sudah bergabung dengan kawan-kawannya di  ‘gerakan sosial surga’.

Perjalanan hidup Arief dalam ingatan saya penuh pergelutan, antara kebebasan serta perjuangan keadilan sosial. Arief juga membaca Soren Kierkegaard yang dilihatnya “menolak cara beragama secara kolektif tanpa kebebasan”.

Arief yang mempromosikan teori ketergantungan dalam menjelaskan mengapa negara-negara dunia ketiga tidak akan lepas dari kemiskinan selama struktur dunia belum berubah, bisa dibilang ada relevansinya hingga kini walaupun konteksnya berubah karena bukan lagi kategori negara pertama atau negara ketiga. Bukan pula North vs South, negara Utara lawan negara Selatan. Lebih kepada ada “utara” di kalangan “selatan” demikian juga sebaliknya.

Wabah pandemic Covid-19 menjadi ajang terbuka di dunia, bahwa bagaimanapun, di negara manapun ada yang kaya dan yang miskin jauh lebih merana, tidak jelas bagaimana mau hidup saat krisis melanda. Tidak bisa mengandalkan etika atau charity, bantuan hati nurani. Disini negara dibutuhkan, bukan negara yang orientasinya kapitalistik tentunya. Justru negara yang menekankan commenwealth, persemakmuran, berkeadilan-SOSIAL. Bukan semata keadilan individual.

Bayangkan jika dalam pandemik Corona ini, negara-pemerintahnya cuci tangan. Tiap orang diharap ngurus dirinya sendiri, tanpa bantuan apapun. Maka saat lockdown terjadi, yang miskin yang hidupnya sebagai pekerja prekariat, zero hours contract, kerja serabutan akan kehilangan kerja karena ekonomi menurun. Social distancing terjadi, akan paling merana, kelaparan juga. Adapun yang kaya jelas bisa terus survive.

Adapun di kalangan gerakan feminisme, jika saja dialog dengan Arief bisa dilanjutkan bukan saja  soal pembagian kerja secara seksual melainkan bisa jadi kami berdebat soal Everyday Sexism hingga Intersectionality dimana multiple opresi yang dialami perempuan saling tumpang tindih mulai dari kelas sosial, agama, preferensi orientasi seksual, ras, etnisitas dan seterusnya bisa berada dan dialami.

Saat saya pulang dari Scotlandia, tahu Arief sudah lama sakit, saya berniat membezuk, catching up, mampir ke Salatiga bersama kakak saya Damairia, berkunjung ke rumah ekologis Arief dan Mbak Leila, sayang pas tidak ada, sedang keluar kota. Namun kenangan, pertemuan, diskusi, debat, ledekan serta teladan yang sudah diberikan, ditunjukkan Arief Budiman sudah jauh lebih cukup. Selamat jalan Arief nan Budiman, panjang sudah jalanmu, bebaslah dari sakitmu sejak 23 April 2020 lalu. Salam merdeka dari Edinburgh nan jauh.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru