Oleh: Nezar Patria*
SAYA selalu terpukau oleh Asep Salmin saat kami dulu bertemu di kelompok diskusi mahasiswa di pertengahan 1990an. Dia bisa menjelaskan dengan baik apa yang terjadi di Rusia pada saat revolusi menjatuhkan Tsar di awal Abad 20. Asep begitu piawai bercerita setting ekonomi Rusia, kehidupan sosial serta budaya masyarakatnya pada masa Tsar berkuasa. Saya takjub karena Asep tak pernah ke Rusia, dia tinggal di Depok, dan semua pengetahuannya soal negeri di Eropa Timur itu diperolehnya dari studi sebagai mahasiswa jurusan Sastra Rusia di Universitas Indonesia.
Kawan-kawan memanggilnya Jagoan, saya tak tahu asal usul nama itu, mungkin karena dia jago dalam soal menjelaskan hal-hal rumit tentang politik menjadi narasi sederhana. Dia mengaku tak fasih bicara Rusia, hanya lancar membaca teks saja. Sejumlah kawan bercanda, mestinya sebagai keturunan Arab-Betawi, dia lebih pantas mengambil sastra Arab. Asep tertawa. Dia memang suka menentang arus.
Di tahun 1995-1998, di saat para mahasiswa mulai bergerak dalam arus gerakan mahasiswa pro-demokrasi, Asep tidak menjadi aktivis kampus. Dia memilih membantu sebuah yayasan yang melakukan pendidikan buat buruh di kawasan industri seputar Jabotabek. Dengan ketrampilannya menjelaskan hal-hal rumit menjadi sederhana, Asep mampu mendorong para buruh asuhannya belajar dan membangun organisasi mereka sendiri, sesuatu yang terlarang di zaman Orde Baru, yang hanya mengizinkan satu organisasi buat kaum pekerja, organisasi yang tunduk di bawah kendali rezim.
Anak asuh Asep kelak banyak yang berhasil dan tampil sebagai pemimpin di berbagai serikat buruh, dan Asep sendiri tetap sebagai mentor dan kawan berdiskusi mereka. Saya ingat bagaimana tangannya tak bisa diam melinting kertas atau bungkus rokok sampai sekecil-kecilnya sementara mulutnya terus berbicara mengulas teori dan juga strategi organisasi. Dia memiliki kesabaran tinggi, selalu bersimpati terhadap lawan bicara, dan selalu siap mendengar keluhan. Saya ingat kata-kata khas dia kalau lagi menghardik, “Duilee, gue bilang juga apee …”.
Sesekali dia mengambil inhaler asma di sakunya, menyemprotkan ke mulut, dan mengambil nafas sebentar, sebelum melanjutkan berbicara. Dia memang penderita asma berat, dan ini kerap membuat kawan-kawannya khawatir. Dalam masa-masa zaman bergerak itu dia keluar masuk perkampungan buruh, pergi dari satu kota ke kota lain, rapat hingga larut malam, tapi paginya sudah bergerak lagi. Semangat zaman mungkin membuat dia tak pernah merasa lelah, dan memang demikianlah yang terjadi di masa sentimen anti-kediktatoran begitu masif dan menjadi energi generasi muda masa itu.
Setelah reformasi 1998, saya lama sekali tak bertemu dengan Asep, dan terakhir kami berjumpa di acara silaturahmi Idul Fitri tahun lalu. Dia mengatakan kini membuka usaha percetakan kecil untuk bertahan hidup dan masih sesekali memberi pelatihan buat organisasi buruh. Wajahnya tampak segar dan kini ada jenggot lebat di dagunya. Dia masih seperti dulu, rajin tampil berbaju koko, dan saya melihatnya kian kental sebagai seorang Arab-Betawi.
Saya belajar darinya tentang arti militansi dan keteguhan hati. Separuh hidupnya dia baktikan buat perjuangan kaum yang terpinggirkan, dan dia tetap mencintai apa yang pernah dilakukannya sampai akhir. Ya sampai akhir. Menjelang azan subuh hari ini, Asep Salmin aka Jagoan meninggal dengan tenang di rumahnya. Seluruh kawan terkejut, banyak yang tak percaya, mengapa Asep begitu cepat pergi.
Seperti kelahiran, kematian hanya datang sekali, namun hidup adalah urusan yang harus dilakoni setiap hari, dan segala hal baik dan buruk yang kita lakukan pada akhirnya akan menjadi catatan, akan menjadi kenangan. Asep telah memberikan segala yang terbaik dari hidupnya untuk perjuangan keadilan, untuk kemanusiaan. Dia tak tergantikan. Kawan-kawannya akan terus mengenangnya sebagai Jagoan. Al Fatihah.
*Tulisan di ambil dari FB Penulis Nezar Patria, sahabat seperjuangan, saat ini.menjabat Direktur Kelembagaan PT Pos Indonesia (Persero). judul dari redaksi.