Satu lagi seorang patriot berpulang. Iganitius Damianus Pranowo, pelopor dan perintis gerakan buruh dibawah kediktaktoran Orde Baru Soeharto dan Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), organisasi buruh progresif nasional pertama ditahun 1990-an diluar SPSI. Tulisan dibawah diambil dari facebook penulis. Judul dari redaksi untuk mengenang semua perjuangannya. (Redaksi)
Oleh: Lilik Hastuti Setyowatiningsih
KABAR duka datang berduyun. Telah meninggal dunia kawan kita Ignatius Damianus Pranowo alias Wowo, pada Minggu, 4 Juli pukul 01.00 di RS Medika Bekasi. Rencana jenazah akan dimakamkan pada hari ini di TPU Pedurenan.
Selamat jalan Wowo. Kaget sekaget-kagetnya.
Bertemu terakhir masih suasana lebaran bulan lalu. Kau pulang buru-buru, dengan alasan ada perlu.
Semua kawan menahan-nahan, “Alaaaah Woo… jarang-jarang ketemu ini.” Dan kamu muter pamit sambil tos kepalan tangan ke kawan-kawanmu, semua menahan dan kau akhirnya tak jadi pulang dan kita bisa poto bersama. Kali ini, tak ada yang biasa menahan, Wo…
Kami mengenalmu jauhhh di masa-masa berat, sejak awal pendirian PRD (Partai Rakyat Demokratik), masa-masa di mana nyaris tiap bulan kita ketemu dalam aksi. Kau di PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia) Semarang, kemudian jadi Sekjen PPBI Pusat dengan ketua Dita Sari.
Kita kerap digebuk bersama, tertangkap bersama, nginap di Polres bersama-sama. Paling kuingat, waktu aksi buruh PT Sritex di Sukoharjo, keluar Polres kita bertemu dan tertawa bersama-sama. Tertawa mengingat aneka ragam cara kawan-kawan menyelamatkan diri, ada yang lompat ke parit, ada yang masuk perkampungan warga dan langsung menyahut handuk dan pura-pura menimba di sumur. Tertawa, cara alamiah kita sembuhkan nyeri-nyeri gebukan dan tendangan, tentu.
Paska 27 Juli 1996, kau tertangkap bersama sejumlah pengurus PRD lainnya dan dipenjara di Cipinang. Keluar dari situ, apakah kau pergi, Wo? Tidak. Kau bergabung lagi bersama kami, di tengah situasi-situasi paling berat. kawan-kawan diculik dan tak kembali. Sementara PRD harus gerak cepat ikut Pemilu 1999 dengan nomor urut 16, setelah sebelumnya kocar-kacir dan bergerilya di bawah tanah.
Seingatku, kau keluar dari penjara seiring dengan amnesti dari pemerintah Habibie tahun 1999.
Bergabung kembali setelah keluar dari penjara, tentu pilihan tidak mudah. Kau memilihnya. Begitupun hampir semua kawan lainnya. Lalu kita dipersatukan di Departemen Bacaan PRD, tinggal di safe house kecil yang jauh dari hingar bingar, menyusun Majalah Pembebasan, menyusun materi-materi bacaan dan pendidikan. Rapat, rapat dan rapat.
Kau kawan yang amat setia Wo. Aku ingat suatu hari aku nyaris pingsan di sekretariat di Depok, dan kamu, termasuk kalian semua menggotongku ke RS, di tengah sorotan aneh warga, sekumpulan anak-anak yang nyaris tak pernah keluar rumah. Kelaparan bersama di sekretariat, kerap sekali Wo. Tapi selalu ada jalan keluar. Toh kita tak jadi mati hanya karena kelaparan.
Kami suka membullymu Wo, tentu. Itu hiburan kita. Saling membully. Kamu ngeyelan, suka debat berpanjang-panjang. Rapat denganmu pasti bisa tak kelar selama berjam-jam.
Suatu hari, rapat di Rumah Wilson, kau masih kokoh dengan argumenmu. Hari sudah hampir menjelang pagi. Aku lupa entah usul siapa, yang memberimu obat batuk (kau memang suka batuk-batuk, dulu kau sempat kena TBC lama sekali), dan akhirnya, rapat berakhir cepat, karena kau akhirnya terkapar ketiduran.
Sejumlah perdebatan, bullyan, semua atas dasar rasa sayang dan percaya kita antar sesama kawan. Kau tentu tahu itu.
Wo, tak tahan aku nangis nulis ini, Wo. Masa muda kita, kita penuhi dengan berlaksa cerita. Sungguh kemewahan melewati masa-masa Orde Baru dengan segenap kegilaan, hingga masa PRD ikut Pemilu, hingga proses berikutnya.
Perdebatan. Perpecahan. Semuanya. Tapi satu hal, tak membuat hati dan kepala kita jauh. Kita telah dipersatukan seperti dalam satu aliran darah.
Selamat jalan kawanku, Wowo. Maturnuwun untuk semuanya. Rest in Power.