Minggu, 20 April 2025

OBITUARI – Ode Buat Kawan Gepeng On The Day You Left

Oleh: Yoppie Christian

“Standing on the shoulders of Giants” adalah adagium karya Isaac Newton dalam suratnya untuk Robert Hooke pada tahun 1675, dimaknai sebagai tahapan dimana seorang pembelajar menggali dari para pemikir utama sebelumnya untuk menciptakan kemajuan di dunia pemikirian.

Dalam porsi paling receh, seorang pembelajar kelas keledai macam saya mengalami momentum ini ketika memasuki perkuliahan di sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah.

Hampir setiap mahasiswa mengalami momentum “diracuni” oleh para senior, di mana kepalanya dibuka secara paksa oleh para senior sialan dengan jargon dan istilah-istilah dahsyat tentang dunia yang semakin brengsek ini dan apa artinya menjadi mahasiswa.

Pada pertengahan 90an, saya mahasiswa culun, masuk studi Sosiologi FISIPOL yang entah apa saya ngga tahu, baru mentas dari status pelajar yang tidak punya pengetahuan apapun soal isu sosial politik sekitar saya.

Hampir tiap malam, saya terjebak di kamar-kamar senior yang isinya konstelasi politik, isu-isu sosial, ide pergerakan rakyat, nama Soe Hok Gie dan Marx sesekali disebut dan segala sumpah serapah yang mengindikasikan negara dan bangsa ini tidak baik-baik saja.

Era bergerak, sebutan pada tahun-tahun ini yang kemudian berujung Reformasi dan rubuhnya kekuasaan Soeharto setelah 32 tahun.

Gepeng adalah salah satu tukang racun yang saya ingat, saat yang lain sibuk cari gebetan di kampus baru, saya malah dicekoki dengan isu pergerakan, antimiliterisme, anti Dwifungsi ABRI, dan pengorganisiran rakyat.

Tahun itu saya kenal Tegaklima (Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa) yang berbasis di Jogja, sibuk dengan selebaran politik yang saya baca sambil melongo dan kagum.

Dari perkenalan ini masuklah saya dan (diajak) Gepeng dalam jaring-jaring pergerakan bawah tanah yang lain, yang lebih kompleks dan bergagasan megah.

Sebagai info, di kampus saya sebelum awal perkuliahan ada namanya Latihan Dasar Kemiliteran (LDK), maklum…bawa nama Jenderal di almamaternya.

Saya menolak ikut dan memilih ekspedisi pantai selatan. Ketika yang lain asik cari komunitas tongkrongan, saya malah rajin bolak-balik Sendowo-Purwokerto untuk ikut kursus politik bersama SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) Jogja, menyelinap di antara lorong-lorong sepi, menjauhi intel orde baru, berkeliaran di bawah tanah dengan ide meruntuhkan kekuasan.

Ketika akhirnya terpaksa ikut LDK di tahun berikutnya, saya ikut tapi menolak potong cepak macam tentara (yang saya benci mati-matian). Ikut LDK di pagi hari, tapi sore sampai malam bergabung dengan demontrasi menolak militerisme dalam kampus dalam Front Mahasiswa Merah Putih (FMPP).

Sambil kuliah (sesekali) saya dan Gepeng mendistribusikan Majalah Independen dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang subversif kala itu untuk dana pergerakan.

Dahsyat dan naif kan? Inilah beberapa hasil racun Gepeng sialan ini.

Tahun 1996, Maret kalau tidak salah, SMID Purwokerto didirikan dengan Gepeng sebagai Ketua dan Pengky sebagai Sekjen, berisikan beberapa mahasiswa resah dengan darah muda yang meluap tentang perubahan.

Kami masih bolak-balik ikut demo, termasuk di kota-kota lain di Jawa, dari satu selebaran ke selebaran yang lain. Sekali waktu saya diajak Gepeng ke Tebet, rumah sewaan kawan-kawan SMID, di mana pertama kali ketemu muka dengan pemuda pendiam, kutu buku dan beraura cerdas, Budiman Sujatmiko yang kala itu adalah Ketua Presidium Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).

Di kali lain diajak ke Solo, ikut digebuk tentara, dan melihat langsung Wiji Thukul dengan sandal bannya.

Anggota-anggota SMID Purwokerto menjadi bagian dari gerakan pro-demokrasi lain yang berbasis mahasiswa, petani, buruh maupun seniman.

Gepeng adalah satu di antara person yang bersemangat, menggebu untuk selalu menolak militerisme dan rejim Soeharto. Semangat ini menular ke person-person lain. Meski diakui, di tingkat kampus gerakan ini tidak dengan mudah diterima.

Gerakan pro-demokrasi dengan ide kerakyatan, anti Dwifungsi ABRI, terorganisasi secara nasional, dan frontal berhadapan dengan kekuatan politik nasional tidak begitu saja mendapat dukungan.

Namun SMID Purwokerto tetap berjalan, bersemangat, bahkan berani berdemo hanya oleh dua orang bermodal megaphone, ketua dan sekjennya kala itu, gendeng!

Namun, usia SMID Purwokerto tak panjang, Maret 1996 deklarasi namun 27 Juli 1996 yang dikenal dengan Peristiwa Kudatuli melumpuhkan gerakan ini di Purwokerto.

Putut Arintoko, salah seorang anggota SMID Purwokerto ikut tertangkap dan dipenjara di Jakarta sebagai buntut insiden dan tuduhan asal-asalah rejim Orba kepada PRD dan organ-organnya.

SMID Purwokerto tercerai berai menghindari kejaran tentara. Namun satu peristiwa bersejarah SMID nasional sempat diwujudkan di Purwokerto yakni menyelenggarakan Kongres Nasional SMID di Gunung Cendana, lokasi yang dikenal oleh kebanyakan anggota SMID Purwokerto karena sering digunakan sebagai lokasi pelatihan dasar kepecintaalaman. Kebetulan kebanyakan anggota SMID Purwokerto memiliki basis pecinta alam di tiap fakultas.

Kongres ini dilakukan secara tersembunyi, kucing-kucingan dengan aparat dan intel, dilakukan di bawah tenda dan derai hujan di antara pohon-pohon pinus, menghasilkan ketua baru SMID yakni Andi Arief dan Nezar Patria sebagai sekjennya.

Meskipun kemudian hari diketahui, ternyata info ini bocor juga oleh aparat karena ada orang susupan di dalam tubuh SMID.

Pasca kejadian Kudatuli, SMID Purwokerto tidak dibangun lagi namun lahir dalam bentuk dan nama lain dengan semangat yang sama, menolak penindasan rejim orde baru ataupun rejim reformasi dan menolak ketidakadilan terhadap rakyat. Keren!

Itu cerita keren anak mudanya di masa bergerak kala itu. Namun secara personal, saya kenal Gepeng sebagai orang yang gak bisa diatur dan berkemauan kuat.

Kadang ide konyol pun dilaksanakan dan jadi. Meski kemudian pada titik tertentu berubah menjadi yang lain. Ide dan keyakinan atas idenya menjadi tipikal Gepeng, termasuk menjadi pengusaha berbasis lingkungan dan seni. Terlihat dari karya terakhirnya yang masih dilakukan di sekitaran Borobudur Magelang, Haluhai.

Selain itu, karena dianugerahi muka yang lumayanlah,–dibandingkan saya dan otak bengal, kisah percintaannya terdengar seperti sinetron.

Ya saya tahu karena beberapa tahun kami tinggal di rumah yang sama. Tapi sebagai sesama laki-laki, rahasia itu tetap dijaga, tahu sama tahu aja lah.

Setelah itu kami berpisah, sama-sama mengadu nasib yang gak ada hubungannya dengan pergerakan pro-demokrasi.

Perkembangannya tak diketahui, sesekali bertemu tidak sengaja karena saya tinggal di Jogja yang tidak jauh dari Magelang.

Selebihnya, media sosial adalah penyampai kabar. Ternyata dia masih berpolitik, dan artinya berbeda sikap dengan saya. Namun sebagai teman, tak ada yang berubah, bercandanya masih sama, sembrononya mungkin masih sama, sehingga tetap ada niatan untuk suatu waktu bertemu, minum kopi atau minum bir bersama.

Sayangnya, hal itu tak pernah terjadi. Tanggal 10 Maret 2022 Gepeng alias Albertus Novianto Eko Purnomo berpulang, jantungnya berhenti berdetak. Rasa kehilangan tetap ada, rasa sesal karena tidak sempat mewujudkan rencana masih menggantung. Tapi doa terbaik tetap kusampaikan, semoga dia tenang di alam barunya, dimanapun dan apapun itu.

Sebagai kawan, ingatan tentang hal baik tentang Gepeng selalu ada, maka tak ragu saya katakan, ia orang yang baik, dan semoga tempat terbaik untuknya.

Kami akan selalu mengingatmu peng! Hasta la vista siempre!

Penulis, Yoppie Christian, mantan pengurus SMID Purwokerto

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru