JAKARTA- Ahli hukum tatanegara, Yusril Ihza Mahendra menjawab tuduhan WALHI dan Eggy Sudjana soal kepemilikan lahan Yusril di Ibukota Negara baru, Penajam.
“Jadi ada yang digembar-gemborkan WALHI dan dikutip Eggy Sudjana itu cuma isapan jempol dan rumors yang tidak jelas juntrungannya. Saya maklum saja. Namanya juga orang cari perhatian publik, apa saja diumbar ke permukaan, apakah itu pembodohan atau tidak, yang penting sudah jadi berita menarik bagi mereka,” tegas Yusril dalam rilis yang diterima Bergelora.com di Jakarta, Rabu (27/1).
Yusril.menjelaskan bahwa data yang mereka ungkap bahwa dirinyamenjadi pemegang saham dan komisaris perusahaan itu, adalah data lama tanpa melihat perubahannya.
“Padahal saham sudah saya jual dan saya bukan lagi komisaris pada perusahaan tersebut. Silahkan anda check di database Dirjen AHU Kemenhumkan, apakah saya masih pemegang saham dan komisaris PT Mandiri Sejahtera Energindo yang disebut-sebut WALHI dan Eggy Sudjana itu,”
Yusril kemudian menyampaikan kronologi tentang hal yang dituduhkan Eggy Sudjana dan WALHI tersebut.
“Saya mendapatkan saham 20 persen dan diangkat jadi komisaris perusahaan tersebut (PT Mandiri Sejahtera Energindo) sebagai pembayaran jasa hukum mengangani kasusnya karena mereka dalam kesulitan membayar jasa hukum secara tunai. Tetapi belakangan sahamnya saya jual lagi karena tumpang tindih perizinan dan pinjam pakai kawasan hutan yang tak kunjung selesai sehingga tambang itu tidak pernah dapat dikerjakan oleh perusahaan tersebut,” jelasnya.
IUP tersebut menurutnya sudah ada belasan tahun yang lalu, jauh sebelum ada kabar daerah itu akan dijadikan IKN. Ketika akan dijadikan IKN, tidak pernah ada pembicaraan apapun dari maupun dengan Pemerintah mengenai nasib IUP di kawasan tersebut setelah nantinya dijadikan ibu kota.
“IUP nya di atas lahan 160 ha. Hal ini tidak pernah diungkap ke publik, sehingga orang bertanya-tanya ada berapa ribu atau puluhan ribu “lahan milik Yusril” di kawasan IKN seperti lahan HGU atau HTI. Apakah Yusril sudah jadi orang kaya baru sehingga mampu menandingi para konglomerat seperti Sukanto Tanoto, Hashim Djojohadikusumo dan lain-lain?,” katanya.
Yusril mengingatkan IUP sejatinya bukan kepemikikan atas tanah, melainkan hanya izin menambang (IUP) di atas tanah yang bukan miliknya. Bisa tanah dikuasai negara, bisa juga tanah milik orang lain.
Karena itu jika akan mulai kerja, harus ada pinjam pakai dengan Kemhut LH kalau itu kawasan hutan, pembebasan lahan kalau lahan itu milik orang lain dsb. Sampaj hari ini, baik pinjam pakai hutan dengan Kemenhut LH maupun pembebasan lahan dengan penduduk setempat di lahan yang diterbitkan IUPnya itu belum selesai.
“Kalau begini urusannya, apakah perusahaan pemegang IUP yang dulu saya punya saham, adalah pemilik lahan 160 ha itu? Jelas tidak samasekali. Orang yang belajar hukum seperti aktivis WALHI dan Eggy Sudjana mestinya mengerti masalah ini. Lain halnya kalau mereka tidak pernah belajar hukum pertanahan, jadi hanya omong doang alias “omdo”, atau memang “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu” untuk menyesatkan opini publik,” tegas Yusril.
Yusril menegaskan, jadi IUP tambang bukan berarti memiliki tanah seperti HGU untuk kebun, Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan sebagainya.
“Nah sekarang dengan kawasan itu diputuskan menjadi kawasan IKN, maka IUP sudah pasti akan dicabut atau didiamkan sampaj IUPnya berakhir, karena tidak mungkin ada kegiatan menambang di kawasan IKN,” jelasnya.
Ia melanjutkan, lantas apakah pemegang IUP mendapat kompensasi atas lahan tambangnya karena dijadikan IKN? Tidak samasekali karena lahan itu bukan milik pemegang IUP.
“Jadi keuntungan apa yang saya dapat dengan dijadikannya kawasan itu sebagai IKN? Tidak ada samasekali, malah rugi karena sudah capek ngurusin perkara IUPnya, ketika selesai, kawasan itu dijadikan IKN sehingga tidak bisa menambang di sana,” katanya. (Web Warouw)
.
.