Oleh: dr. Zulkifli S Ekomei *
HARI ini, rakyat khususnya pengguna dan penikmat medsos dan pesan digital sedang menikmati hiburan dari para kontestan capres-cawapres pilihan partai politik. Seolah-olah tak ada kesibukan lain untuk mempertahankan kehidupan di negara yang sedang tidak baik-baik saja di setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak bisa dipungkiri, semua kontestan memiliki hubungan atau paling tidak, pernah berhubungan dengan rejim yang dipimpin oleh sosok yang terindikasi bermasalah dengan kejiwaan dan kepribadiannya. Sulit dipastikan akan ada perubahan atau menghentikan rejim bermasalah ini.
Inilah beberapa hal yang mengindikasikan bahwa seseorang bermasalah dengan kejiwaan dan kepribadiannya, atau megalomania (salah satu jenis delusi yang bisa menjadi tanda dari beberapa jenis gangguan mental).
Seseorang yang mengalami delusi megalomania akan menganggap dirinya lebih besar dan lebih penting daripada orang lain, antara lain:
- Waham Kebesaran. Penderita mempercayai sesuatu yang keliru, meski yang dipercayainya tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam hal waham kebesaran, penderita merasa menjadi orang paling berkuasa, orang lain tak bisa menandingi kekuasaannya, misalnya, kalau raja yang sebenarnya naik 1 kereta kencana, maka dia memerlukan 8 kereta kencana untuk memperkuat delusinya;
- Waham Curiga. Penderita mencurigai orang-orang terdekatnya sebagai pihak yang membahayakan keselamatannya, bahkan jiwanya. Maka, penderita dengan mudah mengganti orang-orang dekatnya dengan orang-orang diyakini aman buat dirinya;
- Idenya Melompat-lompat. Lagi-lagi, selain si penderita sering melontarkan ide-ide yang tidak masuk akal dan sulit direalisasikan, juga tidak berusaha merealisasikan idenya. Ketika idenya belum selesai, ia melontarkan ide lain. Inilah yang membuat penderita terkesan inkonsisten, bahkan kerap dijumpai, antara satu ungkapan dengan ungkapan yang lain bertolak belakang.
Dari ketiga indikasi tersebut sudah bisa dipastikan bahwa penderita tidak akan pernah merasa bersalah, dan yang mengkuatirkan ialah masalah kejiwaan dan kepribadian ini bisa menimpa orang-orang dekat yang ada di sekelilingnya, khususnya orang-orang yang berempati pada penderita, sehingga terciptalah lingkungan yang tidak sehat secara psikis.
Mengingat para capres dan cawapres ini punya keterkaitan dengan seseorang yang diindikasikan mempunyai masalah dengan kejiwaan dan kepribadiannya, maka tidak mengherankan tatkala mereka ada di satu panggung, mereka saling serang, saling ejek, seolah-olah lupa bahwa dulu pernah satu barisan, pernah saling bantu. Mereka lupa diri, bahkan tidak mengenal dirinya.
Nah, kondisi dan situasi ini justru menarik sebagai tontonan belaka, lebih tepatnya tontonan tanpa tuntunan. Mereka seperti badut sirkus yang targetnya hanya untuk menghibur penonton dan sekedar meraih tepuk tangan dari penonton meski pertunjukan sudah usai. Jangan berharap mereka akan memaparkan apa yang akan dikerjakan (program) terkait masa depan bangsa dan negara jika kelak berkuasa. Sebab, yang mereka pikirkan hanyalah apa yang hendak diperoleh dengan kekuasaannya, bagaimana mereka menikmati lalu dielu-elukan rakyat bak artis yang tengah banyak penggemar.
Layaknya sebuah pertunjukkan, mereka tunduk pada penulis skenario, sutradara dan produsernya sehingga bisa dipakai terus pada hajatan berikutnya.
Pilpres langsung sudah tak bermakna bagi masa depan bangsa dan negara ini. Nyaris tidak ada yang memiliki solusi bagaimana cara mengatasi permasalahan bangsa dan negara, oleh karena hakikatnya mereka adalah bagian dari masalah.
Inilah dampak negatif yang nyata dari pemilihan presiden secara langsung berdasar UUD Baru atau UUD NRI hasil empat kali amandemen (1999-2002), atau kerap disebut UUD 2002 alias “UUD Palsu”.
Selamat menonton para badut di panggung UUD 2002.
Kampung Melayu, 11 Januari 2024.
*Penulis dr. Zulkifli S Ekomei, pengamat politik