JAKARTA- Keputusan Presiden Joko Widodo sangat jelas kilang Blok Masela dibangun onshore (darat), tidak ada kombinasi darat dan laut (offshore) seperti yang direncanakan saat ini. Sebab, sangat wajar kalau ada kekhawatiran kilang blok Masela ini secara halus mau dikembalikan ke laut, sehingga rakyat Maluku tidak mendapat maksimal. Hanya zaman kolonial yang mengambil kekayaan tanpa memikirkan rakyat pemilik kekayaan alam. Demikian Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina di Jakarta, Kamis (31/8/2023), menanggapi pernyataan Dirut Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu (30/8/2023).
Dalam rapat itu, Nicke mengatakan, kalau secara teknis eksplorasi gas akan dilakukan di tengah laut (offshore), sementara produksi dan penyimpanan gas secara floating di tengah laut, dan terminal LNG di daratan (onshore), termasuk fasilitas CCUS.
“Sampai saat ini kami meyakini ini cara yang paling cepat dan efektif yang bisa mengakomodir semua aspirasi yang ada,” katanya.
Engelina mengatakan, mereka mengakomodir aspirasi siapa, sebab sejak awal masyarakat Maluku hanya mengetahui Presiden Joko Widodo memutuskan pembangunan kilang di darat. Bahkan, ketika mereka membahas akuisisi dan pada saat penandatanganan MOU antara Inpex, Petronas, Pertamina, perwakilan dari Maluku sama sekali tidak diikutsertakan.
“Mereka lupa kalau ada rakyat dan ada pemerintah juga di Maluku. Kalau maksudnya aspirasi sesama investor yang diakomodir, ya silakan saja. Tetapi, yang terbaik untuk Maluku tetap sesuai keputusan Presiden. Jangan telikung begitu saja. Itu yang sesuai dengan aspirasi Maluku,” jelas Engelina.
Puteri perintis Pertamina, JM Pattiasina ini mengatakan, siapa yang bisa memastikan, kalau pada akhirnya, seluruhnya dibawa ke laut. Masa jabatan pengambil keputusan saat ini itu sangat terbatas, ESDM maupun Pertamina.
“Tetapi ini, bicara tentang sumber daya alam yang berdampak pada generasi berikutnya,” jelas Engelina.
Menurut Engelina, masyarakat hanya mengetahui kilang Masela dibangun di darat, sesuai keputusan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016. Namun, bukan rahasia lagi, kalau keputusan itu banyak yang tidak suka, terutama investor bersama sejumlah elite yang memihak keinginan investor.
“Keputusan memindahkan kilang Blok Masela sangat tepat, sehingga masyarakat mendapat manfaat ekonomi dan bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan,” tutur Engelina.
Engelina menjelaskan, baginya sangat sederhana untuk melihat cara pengelolaan gas Blok Masela ini, kalau tidak ada industri yang dibangun di Maluku, maka Maluku akan tetap menjadi korban dari kekayaan alamnya sendiri. Kalau soal teknis, banyak ahlinya yang sangat memahami secara teknis.
Tetapi, Engelina hanya mau melihat dampaknya untuk Maluku, karena gas Masela itu ada di Maluku.
“Mereka harus jelaskan dari awal, berapa gas jatah domestik dan memastikan siapa yang memanfaatkan gas domestik itu. Kalau tidak ada persiapan membangun industri, seperti industri petrokimia, bukan hanya upstream tetapi sampai midstream hingga downstream, bagaimana untuk memastikan pemanfaatan gas itu. Jangan hanya mereka akomodir kebutuhan pasar luar negeri, tetapi dalam negeri bagaimana? Maluku bagaimana? Ini yang tidak ada penjelasannya,” jelas Engelina.
Engelina mengingatkan, ketika pengembangan gas Blok Masela tidak diikuti dengan pembangunan industri atau hilirisasi yang selalu ditekankan Presiden Jokowi, maka pada akhirnya gas untuk domestik juga tidak terserap dan akhirnya dijual lagi ke luar negeri.
“Apa bedanya dengan praktik kolonial kalau ini yang terjadi. Gas dari Maluku dijual ke luar negeri, kemudian kita impor produk akhir dari luar negeri. Orang Maluku juga membeli produk akhir dari gas, sementara masyarakat Maluku dapat apa dari praktik seperti itu,” katanya.
Diolah di Maluku
Semestinya, kata Engelina, gas dari Maluku diolah di Maluku, setelah jadi produk akhir baru dikirim ke luar negeri atau ke berbagai tempat. Hanya saja, banyak yang berpikir terbalik, gas dijual murah ke luar negeri, tetapi dibeli dengan harga tinggi setelah gas diolah menjadi berbagai produk akhir.
“Mereka harus pikirkan dari awal industri apa yang dibangun di Maluku, karena hal itu berkaitan erat dengan pemanfaatan gas. Tidak boleh gas dari Maluku diolah atau membangun industri di tempat lain, karena Maluku juga berhak untuk menikmati multiplier effect dari keberadaan gas Blok Masela, baik dari sisi pendapatan pemerintah daerah, maupun dari dampak ekonomi bagi masyarakat luas, termasuk lapangan kerja,” tegasnya.(*)