Oleh: Jeirry Sumampow
Pada umumnya kata ‘pahlawan’ dimaknai sebagai mereka yang telah dan terus berjuang, mempertaruhkan jiwa dan raga untuk kepentingan orang banyak. Pahlawan adalah mereka yang rela berkorban bagi orang lain tanpa menuntut balas. Bagi bangsa Indonesia, istilah pahlawan melekat erat dengan para tokoh yang mendedikasikan dirinya, berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa para pahlawan maka 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Harus diakui bahwa, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang merdeka adalah buah kerja keras para pahlawan yang berjuang melawan para penjajah dikala itu. Para pahlawan telah mewujudkan kemerdekaan, dengan komitmen menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideology pemersatu bangsa dan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi yang mengatur kehidupan bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan 1945.
Tanpa terasa, 71 tahun sudah kita hidup sebagai bangsa yang merdeka. Akan tetapi, dalam perjalanan sebagai bangsa yang merdeka, kita diperhadapkan dengan berbagai tantangan. Globalisasi memberi dampak pada, memudarnya komitmen bersama yang diwariskan para pahlawan, dalam mengamalkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Migrasi manusia yang marak terjadi di berbagai tempat meciptakan kehidupan yang kian kompleks dalam keberagamannya (suku, budaya, adat istiadat, bahasa, agama, gaya hidup, status sosial dll). Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan kesadaran akan pentingnya hidup rukun dan damai serta dibutuhkan kemampuan dalam mengelola keberagaman yang kaya itu, sehingga meminimalisir terjadinya berbagai gesekan atau benturan yang tidak perlu, karena alasan perbedaan. Kita patut bersyukur, karena pengalaman mengelola keberagaman itu, telah diwariskan oleh para pahlawan yang telah berjuang mempersatukan masyarakat Indonesia, sebagai bangsa yang merdeka, dan memiliki semangat kesatuan yang tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Meski demikian kesadaran untuk terus mewujudkan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD1945 harus terus dipelihara, sebagai bentuk komitmen kita dalam mewujudkan cita-cita para Pahlawan pendiri bangsa ini.
Kesadaran inilah, yang kemudian membangkitkan semangat Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) dan alumni TEMBANG 2015 (Temu Kebangsaan Orang Muda) menggagas sebuah gerakan bertema “OPTIMISME INDONESIA UNTUK DUNIA” yang didukung oleh LDNU (Lembaga Dakwah NU), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Komisi Kepemudaan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia), AKUR (Adat Karuhun Urang), Gusdurian, Maarif Institute, FMKI (Forum Masyarakat Khatolik Indonesia), JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia), PA GMNI (Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan ICRP (Indonesian Conference in Religion and Peace).
Hari ini, berlokasi di Jl. Jendral Sudirman (Depan Menara BNI) Jakarta Pusat, Pukul 06.00-11.00, kami mengadakan serangkaian kegiatan yang dimulai dengan Upacara bersama dan Merayakan kebersamaan dengan musik dan tari. Dengan melibatkan berbagai kalangan yang dengan sukarela ingin menunjukan spirit kesatuan di tengah kepelbagaian. Disamping itu pada kesempatan ini para tokoh akan menyampaikan pidato singkat untuk merefleksikan makna Hari pahlawan dalam konteks kekinian, dan tentu mengacu pada tema Optimisme Indonesia Untuk dunia dengan Sub Tema; Patriotisme Memperahankan, Indonesia Sebagai Negara Bhineka Tunggal Ika. Acara ini melibatkan anggota jaringan penggerak, komunitas lintas iman, mahasiswa, pelajar, LSM, masyarakat umum dan media.
Kegiatan ini ditujukan bukan sekedar sebuah seremonial atau peringatan saja, namun diharapkan mampu membangun spirit patriotism dalam mempertahankan Indonesia sebagai Negara Bhinneka Tunggal Ika. Serta dapat menjadi virus positif yang terus didengungkan di tengah masyarakat dalam menghadapi tantangan global, termasuk diantaranya upaya melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa yang dibangun atas kesepakatan yang menjadikan keberagaman sebagai kekuatan jatidiri bangsa.
*Penulis adalah Juru Bicara Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI)