Kamis, 12 September 2024

Pdt. Naim Stifan Ateek: Jalan Damai Palestina Merdeka

Oleh: Pdt. Martinus Ursia

BARANGKALI nama pendeta Naim Stifan Ateek tidak terlalu dikenal oleh gerakan demokratik Indonesia. Publik kita lebih mengenal George Habash seorang pejuang perlawanan revolusioner seangkatan dengan Yasser Arafat. Habash percaya Palestina merdeka melalui gerakan bersenjata, tidak melalui basa-basi diplomatik.

Habash bijaksana, tenang, bicaranya irit tapi pesanya radikal. Menolak otonomi Palestina yg diusung Arafat, tapi berjuang Palestina 100% merdeka !

Persamaan Habash dan Naim Ateek adalah sama sama lahir besar di Palestina, sama-sama pemeluk Kristen dan sama-sama terusir dari rumah dan tanahnya tahun 1948.

Naim Ateek seorang Pendeta di Gereja Anglikan dan pengajar teologi di Seminari Baptis, di kota Nazaret.

Berikut penuturan Naim Stifan Ateek, yg disarikan dari buku berjudul Semata-mata Keadilan, terbitan BPK, 2017.

Saya orang Palestina. Saya baru berusia 11 tahun pada tahun 1948, ketika kaum Zionis menduduki kota asal saya Beisan.Kami tidak memiliki tentara untuk melindungi kami, tidak ada pertempuran, tidak ada perlawanan tidak ada pembunuhan, kota kami begitu saja diambil diduduki oleh tentara zionis pada hari Rabu 12 Mei 1948.

Ayah saya merantau meninggalkan kota asalnya yaitu kota Nablus pada tahun 1920. Lalu menetap di kota Beisan. Ayah saya seorang tukang emas, dia merintis dan menumbuhkan usahanya sendiri. Kota Beisan terletak kira-kira 30 km di selatan danau Galilea, penduduk kota itu sekitar 6000 orang semua adalah orang Palestina. Kebanyakan beragama Islam dan sebagian Kristen.

Hubungan antar kelompok agama terjalin sangat baik di kota kami, dan Beisan sering juga didatangi oleh suku suku Baduy, dimana kebanyakan datang untuk belanja dan berdagang.

Bisnis ayah saya berhasil baik, dalam beberapa tahun ia mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah di jalan utama kota Beisan. Kemudian beliau membangun rumah lagi dimana rumah kedua dan rumah ketiga diperuntukkan untuk menampung beberapa utusan Injil Churc Missionary Society atau CMS dari Inggris.

Ayah saya dibesarkan sebagai seorang Kristen ortodoks Timur, dia telah memutuskan sungguh-sungguh hidup dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus sejak masa mudanya. Rumah kami menjadi rumah tempat orang Kristen berkumpul menelaah Alkitab, sekolah minggu,dan pengaruh misionaris dari CMS membuat ayahnya juga membangun sebuah gereja Anglikan di kota Beisan. Karena seorang pendeta yang tinggal di Nazaret datang hanya 1 bulan sekali maka ayah saya menjadi pembicara awam yang menolong jemaat di kota Beisan.

Ketika tentara Zionis menduduki kota kami, kehidupan kami yang sederhana, bersahaja, dan bahagia menjadi kacau, beberapa anggota masyarakat baik yang Islam maupun yang Kristen lari meninggalkan kota Beisan, karena tentara Yahudi mulai menteror orang-orang di kota, beberapa di antara penduduk kota yang pergi bahkan meninggalkan kunci rumahnya meminta kami menjaga rumah mereka selama mereka mengungsi, mereka ingin menjauh tinggal bersama kerabatnya di tempat yang aman selama beberapa hari atau beberapa minggu.

Banyak teman-teman dan tetangga Kami berbicara kepada ayah saya untuk segera meninggalkan kota Beisan, mereka berkata: orang Yahudi akan membunuhmu selamatkan dirimu dan keluargamu. Ayah saya selalu berkilah, tidak ada tempat tujuan untuk keluargaku yang jumlahnya banyak, kami akan tinggal di rumah kami, jika kami harus mati biarlah kami mati bersama-sama di sini.

Kota kami diduduki pada tanggal 12 Mei 1948, dan negara Israel diproklamasikan dua hari kemudian. Kami hidup di bawah pendudukan itu selama 14 hari, pada tanggal 26 Mei gubernur militer mengumpulkan semua pemuka kota di markas militer, dengan sangat gampang dan dingin dia mengatakan: bahwa kota Beisan harus dikosongkan penduduknya dalam waktu beberapa jam kedepan.

Saya ingat jelas, ayah pulang dari markas tentara untuk mengabarkan berita buruk bagi kami, dengan kesedihan yang luar biasa ia berkata: kita tidak diberi pilihan apa-apa, kita harus pergi. Dan kami kemudian berkemas-kemas, dan mulai mengumpulkan barang yang bisa dibawa. Pergi meninggalkan kota kami, rumah kami, kebun, hewan, persaudaraan
Beisan tempat yang begitu bersejarah bagi hidup kami, harus begitu saja ditinggalkan.

Barang secukupnya dibawa, tidak boleh berlebihan. Kakak saya memiliki radio Philips kecil, dia sangat bangga dengan radio itu, dan harus menyembunyikannya dengan sangat berhati-hati, karena tentara Israel tidak memperbolehkan Kami membawa radio. Dia membungkus radio itu di selimut yang tebal, dan pada akhirnya dapat dibawa keluar bersama-sama berapa pakaian di tas kami.

Sebelum berangkat masyarakat dikumpulkan di alun-alun kota. Tentara Zionis memisahkan kami menjadi dua kelompok, kelompok Islam dan kelompok Kristen. kelompok Islam dikirim ke seberang sungai Yordan, negara trans-yordan sekarang negara Yordania. Sementara kelompok Kristen diangkut dengan bus ke pinggiran kota Nazaret.

Di kota Nazareth kami hidup di kamp pengusian dgn berpindah-pindah. Pada usia ke 57 tahun, ayah saya harus memulai segalanya dari awal lagi, dengan apa adanya. Saya yakin bahwa beliau menemukan penghiburan dalam kata-kata pemazmur: mengapa engkau tertekan hai jiwaku? dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? berharaplah kepada Allah, sebab aku bersyukur lagi kepadaNya penolongku dan Allahku .

Kehidupan di Nazaret selama berbulan-bulan merupakan saat yang sangat sulit bagi kami. Pengungsi Palestina membanjiri kota itu karena melarikan diri, dan karena diusir dari kampung halaman kami, tempat kami dilahirkan. Keluarga kami mengungsi ke beberapa teman yang memberikan dua kamar bagi kami di rumah mereka.Keluarga besar kami 17 orang jumlahnya, tinggal selama beberapa minggu dirumah kenalan, pada akhirnya dipindah ke gedung sekolah dasar gereja menjelang musim panas. Walaupun kami pengungsi, kami juga bekerja untuk gereja dan organisasi organisasi pelayanan mengumpulkan pakaian dan makanan bagi pengungsi lainnya.

Pada akhirnya tentara Yahudi menduduki seluruh kota Nazaret, tanpa perlawanan, tanpa pertempuran apapun. Secara umum keluarga kami masih beruntung, daripada sebagian besar keluarga lainnya. Tidak ada seorang pun dari kami yang terbunuh, kami tinggal di kamp pengusian, rumah kenalan, dan gedung sekolah. Kami pun dapat membawa beberapa harta, seperti emas milik ayah saya, dan ayah saya memiliki daya kerja yang tinggi, kemudian mulai kembali membuka usaha emasnya.

Luka yang diakibatkan oleh peperangan tidak bersifat fisik saja, penderitaan psikologis sangat menekan daerah-daerah perang. Perbatasan ditutup, banyak keluarga terpisah, akibat penutupan kota, anak tak dapat bertemu dengan orang tuanya, suami tidak dapat bertemu dengan istrinya, saudara-saudara tidak dapat bertemu dengan kerabat lainnya. Ketakutan, ketidakpastian, kekuatiran, kemarahan, dan kegetiran, menjadi bagian kehidupan masyarakat Palestina.

Di bekas kota kami Beisan, tidak ada ada orang Arab Palestina yang tinggal di kota itu. Semuanya sudah ditinggali oleh orang-orang Yahudi.
Pada suatu kesempatan ayah saya saya minta izin untuk masuk ke kota Beisan, dan diperbolehkan oleh tentara. Itu terjadi sekitar 10 tahun setelah kami menetap di kota Nazaret. Rumah kami masih berdiri bagus tapi gereja sudah rusak parah. Waktu kami ingin masuk ke dalam rumah tersebut, rumah yang dibangun oleh ayah saya, orang Yahudi penghuni rumah itu dengan tegas menolak, ini bukan rumah kalian ini milik kami !

Sepulang dari kota Beisan, ayah saya saya mengalami serangan stroke, dia menjadi lumpuh. Tentu kunjungan ke kota Beisan, sangat Traumatis bagi ayah saya.

Pada tanggal 10 Juli 1959, saya berpamitan dengan ayah saya untuk melanjutkan studi saya ke Amerika Serikat. ayah saya tahu bahwa saya pergi untuk belajar teologi dan menjadi seorang pendeta, sebagaimana sudah saya harapkan sejak kecil, hal itu membuat ayah saya bahagia. Satu tahun kemudian pada tanggal 4 September 1960 ayah saya meninggal, beberapa minggu kemudian ibu mengirimkan kepada saya sebuah catatan yang ditemukan beliau dalam alkitab ayah. Catatan itu ditujukan kepada saya: untuk anakku Naim bacalah Mazmur 37 ayat 5 serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-nya dan ia akan bertindak.

Inilah warisan terindah untuk saya, dan surat wasiat ayah yang terakhir adalah sesuatu yang sangat berharga dan bermakna, sejak saat itu ayat ini menjadi favorit saya.

Enam tahun kemudian ibu saya datang ke California untuk menghadiri wisuda saya. Sesudah wisuda, saya kembali ke Nazaret, melayani di tengah-tengah bangsa saya, kemudian saya ditahbiskan sebagai pendeta gereja anglikan dan tetap percaya bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina melalui cara dan jalan damai.

*Penulis Martinus Ursia, Pendeta Gereja Baptis Indonesia

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru