Rabu, 14 Mei 2025

Pelatihan Vokasi Terobosan Peningkatan Daya Saing SDM*

Oleh: M. Hanif Dhakiri**

Era persaingan tak terhindarkan lagi. Suka tak suka, mau tak mau, Indonesia harus memperkuat daya saing semua bidang, termasuk SDM (sumber daya manusia). Kita harus memastikan Indonesia tak sekedar jadi konsumen atau penonton. Indonesia harus menjadi pemain, menjadi pemenang di era persaingan global yang sedemikian sengit.

 

Dunia memang mengalami revolusi dramatik di berbagai bidang. Ekonomi industri yang bergeser ke ekonomi berbasis pengetahuan _(knowledge-based economy)_ mengharuskan tenaga kerja tak sekedar bermodalkan tenaga dan kerja. Ia harus dilengkapi dengan karakter, kompetensi dan inovasi (kreativitas). Inilah yang disebut human capital. Di negeri ini, problem ketimpangan sosial hampir sepertiganya disumbang oleh kesenjangan ketrampilan. SDM dan masalah ketenagakerjaan tak bisa lagi dianggap isu pinggiran. 

Mayoritas Lulusan SD-SMP 

Masalahnya, angkatan kerja kita penuh tantangan. Betapa tidak! Sekitar 60-an persen dari 125 jutaan angkatan kerja nasional adalah lulusan SD-SMP. Lulusan SD-SMP artinya ada yang lulus SD, ada yang tidak lulus SD, ada yang lulus SMP, dan ada pula yang tidak lulus SMP. Sudah begitu, kompetensi mereka juga rendah. Sebuah tantangan besar yang memerlukan terobosan.

Dalam kaitan ini, Presiden Jokowi sudah memberikan arahan jelas dan tegas: perkuat karakter, perkuat kompetensi dan perkuat inovasi dengan langkah fokus dan massif. Pendidikan karakter, pendidikan vokasi, dan pelatihan vokasi lalu digenjot habis-habisan oleh pemerintah. Ruang bagi berkembangnya kreativitas dan inovasi juga terus diperluas.

Jika pendidikan vokasi kita maknai secara kelembagaan sebagai sekolah menengah kejuruan (SMK), Politeknik, atau program Diploma 1, 2, dan 3 di Perguruan Tinggi, maka harus dilihat apakah 60-an persen angkatan kerja nasional yang hanya lulusan SD-SMP itu bisa dapat akses ke sana atau tidak. Harap diketahui, yang disebut angkatan kerja adalah penduduk yang memasuki usia kerja (15-65 tahun), baik yang bekerja maupun yang menganggur. Secara pasti, mereka tidak lagi berada di jalur pendidikan formal.

Pendek kata, 60-an persen angkatan kerja yang hanya lulusan SD-SMP itu tidak bisa masuk ke jalur pendidikan vokasi (pendidikan formal kejuruan). Mau masuk SMK, mereka ketuaan. Mau masuk Politeknik atau program Diploma di Perguruan Tinggi, mereka tidak punya ijazah SMA. Mau masuk ke pasar kerja formal, mereka tidak punya ketrampilan (kompetensi). Mau berwirausaha, selain tidak punya ketrampilan usaha, mereka juga tidak punya modal. 

Pilihan yang tersedia bagi mereka begitu terbatas. Sebagian masuk ke industri padat karya dengan jabatan di level paling bawah, tidak punya jalur karier dalam pekerjaan, dan tentu saja kondisi kerja maupun kesejahteraan yang relatif rendah. Sebagian lain masuk ke sektor informal dengan keadaan yang kurang lebih sama. Data menunjukkan, pekerja kita yang _less-educated_ dan _less-skilled_ mencapai 19.5 juta orang (pekerja kasar), sedangkan pengangguran yang _less-educated_ dan _less-skilled_ sekitar 4.5 juta orang. 

Tantangan lainnya: Indonesia sedang menghadapi bonus demografi. Sampai dengan tahun 2030, kita akan memiliki angkatan kerja usia produktif hingga mencapai 70-an persen. Mereka ini sebagiannya adalah anak-anak dari orang tua yang menjadi bagian 60-an persen angkatan kerja lulusan SD-SMP itu. Kira-kira, jika orang tuanya terjebak dalam pekerjaan tak berkualitas di industri padat karya atau di sektor informal, lalu bagaimana masa depan anak-anak mereka? Inilah cermin bonus demografi kita. Jika tak benar penanganannya, bukan bonus atau berkah yang kita dapat, melainkan bencana berupa pengangguran kalangan muda (youth unemployment)_ dan rentetan masalah sosialnya.

Pelatihan Vokasi

Lalu, apa pilihan yang harus diciptakan agar 60-an persen angkatan kerja lulusan SD-SMP itu dapat tumbuh dan berkembang di era persaingan ini? 

Selain peningkatan daya saing, salah satu poin Nawacita Jokowi-JK adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Kita bisa maknai ini bukan sekedar membangun Indonesia dari desa (perspektif horisontal, struktur teritorial), tetapi juga membangun Indonesia dari bawah (perspektif vertikal, struktur sosial). Artinya, kita membangun dari mereka yang _the less-educated_ dan _the less-skilled_, yakni 60-an persen angkatan kerja nasional yang hanya lulusan SD-SMP itu. 

Dengan pemikiran dan pertimbangan itu, maka strategi pembangunan SDM yang dapat menjadi terobosan nasional adalah pelatihan vokasi/kejuruan (vocational training). Pelatihan vokasi bisa diakses oleh siapa saja, tak peduli umur maupun lulusan apa. Siapa saja yang memerlukan ketrampilan atau peningkatan jenis ketrampilan dapat mengakses pelatihan vokasi. Tentu saja kualitas pelatihan vokasinya harus baik. Dus, kunci terobosannya adalah penguatan akses dan mutu pelatihan vokasi. Semua warga negara yang memasuki usia kerja, harus bisa mendapat akses pelatihan vokasi yang bermutu, dimana saja dan kapan saja.

Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian/Lembaga terkait, terus menggenjot penguatan akses dan mutu pelatihan vokasi. Balai-balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah pusat maupun daerah direorientasi, direvitalisasi dan direbranding. Tujuannya, sesuai arahan Presiden, agar produksi SDM di sana lebih fokus, massif dan _match_ dengan kebutuhan industri. Kewirausahaan juga terus digenjot, baik melalui pelatihan, pendampingan, inkubasi bisnis, bantuan permodalan, hingga _packaging_ produk dan pemasaran. 

Namun penting digarisbawahi bahwa keberhasilan pelatihan vokasi tidak semata bergantung pada upaya pemerintah. Lebih penting lagi adalah keterlibatan swasta atau dunia usaha, serta serikat pekerja dan masyarakat pada umumnya.

Pemerintah dapat berperan membuat kebijakan yang mendorong keterlibatan industri dalam investasi SDM lewat pelatihan vokasi. Menyiapkan instrumen _reward_ and _punishment_ bagi perusahaan yang berkontribusi atau tak berkontribusi dalam program ini. Diantaranya melalui insentif dan disintentif pajak. Perusahan yang berkontribusi diberikan insentif pajak, yang tidak mau kontribusi diberikan disintensif pajak.

Pemerintah juga dapat berperan melalui kebijakan politik anggaran yang lebih berpihak pada pelatihan vokasi, bukan semata pendidikan formal. Anggaran fungsi pendidikan yang 20 persen itu masih lebih banyak diarahkan untuk pendidikan formal (termasuk pendidikan vokasi di SMK, Politeknik dan Program Diploma Universitas). Pendidikan vokasi sangat penting, tetapi ia memiliki keterbatasan yang menghambat akses 60-an persen angkatan kerja yang hanya lulusan SD-SMP itu. Karenanya, dari sisi anggaran, pelatihan vokasi _(vocational training)_ harus digenjot sama kerasnya dengan pendidikan vokasi _(vocational education).

Dibandingkan negara-negara lain, anggaran kita untuk pelatihan kerja masih relatif rendah. Alokasinya masih kurang dari 0.1 persen PDB nasional. Sementara kalau kita pakai standar OECD (Organization of Economic Cooperation dan Development), reratanya mencapai 0.6 persen PDB. Jadi, Indonesia masih jauh tertinggal. Di daerah problemnya juga sama. Alokasi anggaran daerah untuk pelatihan kerja masih sangat minimal, dan bahkan banyak yang bergantung dari anggaran pusat. Dengan keadaan ini, tentu saja produksi SDM _skilled_ tidak bisa massif. Sudah saatnya, 20 persen anggaran fungsi pendidikan di pusat dan daerah dibelah secara lebih berimbang, untuk pendidikan formal (termasuk pendidikan vokasi) dan untuk pelatihan vokasi di semua sektor.

Pelibatan Swasta

Selain pemerintah, peranan swasta, dunia usaha atau industri sangat penting. Termasuk dalam hal ini adalah peran dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Pelatihan vokasi bukan semata kepentingan pemerintah, tapi juga kebutuhan industri untuk mendapatkan tenaga kerja terlatih. Di Jerman, 70-an persen investasi SDM adalah kontribusi swasta. Mereka terlibat dalam pendanaan _dual system_ pendidikan dan pelatihan vokasi melalui mekanisme pencadangan anggaran pelatihan kerja. Industri juga terlibat, bahkan menentukan, kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi, serta sertifikasi profesinya.

Pengalaman Jerman, begitu siswa menyelesaikan pendidikan dasar 10 tahun (setara dengan naik kelas 2 SMA di Indonesia), siswa bisa memilih melanjutkan ke universitas atau bekerja. Kalau memilih lanjut ke universitas, siswa harus menambah dua tahun sekolah (kira-kira seperti lulus SMA di Indonesia). Kalau memilih kerja, maka siswa menjalani kontrak magang dengan perusahaan untuk kurun waktu tertentu sesuai program. Pemagangannya dibiayai oleh dana cadangan pelatihan kerja yang diiur perusahaan ke badan kas sosial (suatu badan publik seperti BPJS).

Serikat pekerja juga berperan penting mendorong dan memastikan anggota-anggotanya mendapatkan pelatihan vokasi yang berkualitas. Mereka juga berperan mengokohkan sistem _tripartism_ yang menjadi “ruh” bagi berlangsungnya _dual system_ pendidikan dan pelatihan vokasi secara berkelanjutan. 

Tentu saja tak mudah mengadaptasi pengalaman Jerman atau negara lain ke Indonesia. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa keberhasilan pelatihan vokasi adalah buah kerja sama sinergis pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, serikat pekerja dan masyarakat pada umumnya. Jika pihak-pihak ini berkomitmen kuat dan berupaya serius menggenjot pelatihan vokasi, saya percaya daya saing SDM Indonesia akan dapat memenangi persaingan, dan industri kita akan bertumbuh-kembang dengan tenaga kerja yang lebih berkualitas.

Survei _McKinsey Global Institute_ menyebutkan Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 di dunia. Syaratnya, kita harus memiliki 113 juta tenaga kerja terlatih hingga 2030. Menurut data BPS 2015, indonesia hari ini masih di posisi 16 dan baru memiliki 57 juta tenaga kerja terlatih. Terdapat kekurangan sekitar 56 juta _skilled workers_. Dengan demikian, kita memerlukan percepatan produksi tenaga kerja terlatih sekitar 3.8 juta per tahun hingga 2030. Sertifikasi profesi, yang juga menyimpan persoalan tersendiri, tentu harus menjadi bagian dari proses produksi human capital Indonesia.

Dengan komitmen dan kerja sama semua pihak dalam pelatihan vokasi, saya yakin kekurangan tenaga kerja terlatih yang melanda negeri ini dapat segera diatasi. Potensi Indonesia luar biasa besar, namun pada akhirnya, semua kembali kepada kita sebagai bangsa: apakah kita mau atau tidak mau. Jika mau, maka tak ada yang bisa menghentikan kemenangan Indonesia di era persaingan global dewasa ini.

*Tulisan ini diambil Bergelora.com dari http://kemnaker.go.id

**Menteri Ketenagakerjaan RI 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru