JAKARTA- Perbedaan menyolok dirasakan oleh pasien yang ditangani oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Perbedaan dirasakan antara peserta BPJS yang berasal dari pejabat pemerintah dengan rakyat kecil, antara peserta yang membayar sendiri dengan yang dibayar oleh pemerintah lewat Penerima Bantuan Iuran (PBI) menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Demikian Pengurus Nasional Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Tutut Herlina di Jakarta kepada Bergelora.com, Selasa (21/10).
“Tidak benar terjadi gotong royong seperti yang dijanjikan oleh SJSN (Sistim Jaminan Sosial Nasional-red) selama ini. Yang berduit apalagi pejabat bisa saja dapat pelayanan bagus. Tapi kalau yang PBI dan tidak mengerti, tidak akan mendapatkan yang dijanjikan,” tegasnya.
Sebelumnya, seorang pejabat Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Son Diamar yang beberapa waktu lalu menderita sakit menepis buruknya pelayanan dari BPJS. Ia menderita sakit jantung dan sempat dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta.
“Saya pernah jadi pasien dari bulan April sampai Mei lalu dan menggunakan BPJS. Sebelum Januari 2014 (saya bisa dapat fasilitas-red)VVIP (very-very improtant person-red) ke luar negeri pun boleh. Tapi karena ada BPJS, fasilitas VVIP dicabut. Saya dioperasi pasangrings hanya teken Rp 51 juta, gratis pak,” ujarnya kepada Bergelora.com.
Mulanya ia mengeluhkan pencabutan Jaminan Kesehatan bagi pejabat yang menghentikan pelayanan kesehatan di luar negeri.
“Tapi setelah ngobrol di ruang tunggu berjam-jam dengan rakyat, barulah tahu. BPJS itu menolong ‘orang kecil’ rakyat banyak,” ujarnya.
Ia kemudian menceritakan kesaksian menemui beberapa pasien peserta BPJS yang mampu membayar iuran sendiri.
“Ada ibu-ibu bilang, dia mau dibedah jantung, kalau bayar sendiri Rp 120 juta, tapi dengan BPJS gratis. Suaminya cuci darah 2 kali seminggu, Rp 800 ribu tiap kali. Tapi dengan BPJS gratis.. Ada juga nelayan. Sebelumnya, ia pasang rings jantung habis 1 mobil kijang. Tapi setelah BPJS kelas 2 bayar Rp 45.500/bulan, bulan lalu dibedah Rp 150 juta hanya teken gratis,” ujarnya.
Ia mengatakan dengan BPSJ dari pensiunan Jenderal sampai rakyat jelata bisa menikmati pengobatan gratis.
“Memang yang rugi adalah dokter karena dibayar murah dan RS swasta yang komersial terpukul. Yang rugi juga adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menurun kualitas (pelayanannya-red). Sebelum ada BPJS mereka lebih luxury,” ujarnya.
Orang Miskin
Berbeda seperti langit dan bumi dengan yang dialami oleh keluarga Mulyono, pensiunan Pegawai Jawatan Kereta Api (PJKA) di Wlingi, Blitar, Jawa Timur. Pengajuan kepesertaan untuk bayi Mayangsari (4 bulan) ditolak oleh BPJS.
“Alasan petugas karena bayi belum punya KTP dan nomor induk kependudukan di dalam kartu keluarga. Maka bayi Mayangsari harus dirawat sebagai pasien umum dan bayar sendiri,” ujar kakeknya, Mulyono.
Padahal menurutnya oleh petugas BPJS, 9 anggota keluarganya yang lain diwajibkan masuk menjadi anggota BPJS sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) walaupun yang sakit hanya anak bayinya.
“Bayi Mayangsari adalah anak dari pasangan Wenty dan Hermanto warga dusun Klepon RT 002/RW 003, Desa Sidodadi, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Bayi yang menderita paru-paru, tipus dan muntaber ini sudah ditinggal ayahnya sejak usia 2 bulan, sehingga menjadi tanggungan Mulyono, orang tua Wenty,” demikian Arief Witanto dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR ) Jawa Timur kepada Bergelora.com.
Sementara itu Sumarmiasih, seorang pasien penderita Cystoma Ovarii setelah 5 bulan dirawat tanpa tindakan medis di Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang, Jawa Timur, akhirnya memilih pulang ke rumahnya di Dusun Karanganyar Barat RT 003/RW 010, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sebelum dirawat di RS Syaiful Anwar ia mendapatkan rawat jalan dari RSUD Wlingi, Kabupaten Blitar.
“Dokter di Syaiful Anwar menyatakan bahwa tidak bisa melakukan operasi tersebut karena kondisi pasien mengkhawatirkan. Kenapa tidak dari awal saja dikatakan kalau tim medis RS Syaiful Anwar Malang tidak bisa menanganinya,” ujar Winarto, suaminya kepada Bergelora.com
Ia menjelaskan, setelah dirinya melengkapi semua syarat-syarat kepesertaan yang diminta oleh BPJS bukannya istri mendapatkan penanganan, malahan rumah sakit menyatakan lepas tangan. Akhirnya atas bantuan orang, dengan ongkos Rp 20.000 Winarto membawa istrinya pulang kampung.
“Untuk apa cuma numpang makan dan minum di ruma sakit gak ditangani. Leih baik pulang sambil tunggu panggilan yang kuasa di sisi anak-anak,” ujar Sumarmiasih kepada Bergelora dengan nafas tersengal-sengal.
Menurut Arief Witanto, masyarakat desa biasanya tidak tahu menahu tentang BPJS karena tidak ada sosialisasi yang lengkap. Pada saat masuk rumah sakit, karena tidak mampu diminta untuk melengkapi dokumen untuk menjadi peserta BPJS.
“Namun setelah menjadi peserta, ternyata BPJS itu tidak membayar rumah sakit semua kebutuhan tindakan medis. Sehingga bagi pasien miskin, pembiayaan dibebankan ke rumah sakit. Hampir semua rumah sakit bankrut karena BPJS tidak bayar penuh. Akhirnya terjadi pembiaran pasien seperti Sumarmiasih ini,” jelasnya. (Dendy Rulianto)