JAKARTA- Bertempat di ruang rapat pimpinan Komisi V DPR RI Kamis 27 Oktober 2016, Ketua Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni didampingi Prof.Ir Mukhtasor,Msc,Frans Padak Demon dan Heri Soba diterima Ketua Komisi V DPR RI Fary Franscis yang didampingi anggota DPR, Syahrulan Pua Sawa dan staf sekretariat Komisi V DPR RI.
Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih satu jam tersebut, Ferdi Tanoni menyampaikan kronologis petaka tumpahan minyak Montara 2009 yang hingga saat ini sudah lebih 7 tahun belum juga selesai. Sementara puluhan ribu rakyat korban terus mengalami penderitaan akibat dari petaka tersebut.
Selain itu, Tanoni yang juga adalah mantan agen Imigrasi Australia itu dalam pertemuan tersebut, menyampaikan bahwa berlarutnya penyelesaian petaka tumpahan minyak Montara 2009 ini dikarenakan Pemerintah Federal Australia melepaskan tanggung jawabnya sebagaimana yang tertuang dalam kesepakatan Indonesia-Australia tahun 1996 tentang penanggulangan tumpahan minyak di laut.
Sehubungan dengan hal tersebut, Tanoni atas nama rakyat korban di NTT meminta agar lembaga Politik DPR RI mengeluarkan dukungan politik yang tegas terhadap perilaku Pemerintah Federal Australia yang sangat tidak bersahabat itu.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, pertemuan dengan pimpinan Komisi V DPR RI tersebut disepakati bahwa perlu dan pentingnya sebuah pernyataan sikap dukungan politik dari Lembaga DPR RI maupun anggota DPR RI mengenai petaka tumpahan minyak Montara 2009 di Laut Timor ini segera direalisasi.
Tanoni menjelaskan bahwa, dukungan politik yang diminta ini bukan untuk mengintervensi gugatan para petani rumput laut yang diadvokasinya dan persidangannya yang telah berlangsung di Pengadilan Federal Australia sejak 22 Agustus 2016.
“Perkara yang sedang disidangkan di Pengadilan Federal Australia biarkanlah berjalan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di Australia,dan tidak boleh diintervensi,” tegasnya.
Namun, peraih tunggal Civil Justice Award Australian Lawyers Alliance 2013 ini menjelaskan bahwa gugatan para petani rumput laut tersebut hanyalah kurang lebih 10 % saja dari seluruh kerugian yang diderita rakyat NTT akibat dari petaka tersebut. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah Federal Australia menunjukkan itikad baiknya untuk turut bertanggung jawab menyelesaikan kasus ini. Karena kasus ini murni masalah kemanusiaan dan lingkungan dan tidak ada kaitan nya dengan politik dan diplomatik.
“Dan disinilah kami rakyat NTT membutuhkan sikap dan tindakan tegas dari Pemerintah Indonesia termasuk lambaga politik DPR RI terhadap Pemerintah Federal Australia untuk turut bertanggung jawab,” ujarnya. (Herman)