Oleh: Dr. H. R Furqon Haitami *
JAKARTA- Sejalan dengan di sahkannya Undang-Undang No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran Pemerintah berencana membuat jenjang baru tapi lebih pas kasta baru dalam pendidikan dokter di Indonesia. Bernama spesialis Dokter Layanan Primer, program ini menurut pemerintah bertujuan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan primer di Indonesia. Niat yang mulia tetapi sangat terburu-buru tanpa kajian yang sempurna.
Mestinya sebelum program itu dilaksanakan, dikaji lebih dulu persoalan utama pelayanan kesehatan primer di Indonesia. Jangan langsung terburu-buru memfonis dokter Indonesia tidak kompeten sehingga harus disekolahkan lagi melalui pendidikan formal. Menurut saya kesimpulan tersebut hanya menjiplak dari luar sana yang belum tentu sesuai dengan keadaan di Indonesia. Salah satu alasan mengapa dibentuk Program Pendidikan Formal dokter layanan primer ini diantaranya adalah kurang kompetennya dokter di layanan primer yang dibuktikan dengan masih tingginya angka rujukan pasien dari fasilitas layanan primer (FKTP / Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama : Puskesmas, Klinik Pratama, Dokter Praktik Mandiri) ke FKTL/ Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan : Rumah Sakit.
Â
Tetapi dari analisa di lapangan tingginya rujukan tersebut sebagian besar bukan disebabkan karena tidak kompetennya dokter tapi disebabkan oleh karena kurangnya sarana dan prasarana di Faskes pertama terutama Puskesmas, tidak tersedianya dokter umum sehingga rujukan dilakukan oleh tenaga paramedis dan tenaga kesehatan lain, dan masih banyak tenaga paramedis dan tenaga kesehatan lain yang merujuk pasiennya langsung ke rumah sakit (FKTL) tanpa melalui dokter umum di faskes layanan primer (FKTP). Kami yang bertugas di layanan primer tidak juga bisa dipungkiri memang masih ada beberapa dokter saja yang kompetensinya rendah itu dikerenakan keluaran Fakultas Kedokteran yang akreditasinya rendah. Namun jangan hanya sebagian sangat kecil ini dijadikan dasar untuk pelaksanaan Program Pendidikan Formal Spesialis Layanan Primer, sehingga seluruh dokter Indonesia dianggap tidak kompeten dan harus disekolahkan lagi melalui pendidikan formal selama 2 atau 3 tahun. Alangkah eloknya apabila Fakultas yang akreditasinya masih rendah ditingkatkan akreditasinya apabila masih tetap kurang baik sebaiknya ditutup sj, sehingga tidak ada lagi dokter yang tidak kompeten.
Sebenarnya para dokter umum yang berpraktik di layanan primer/ Puskesmas/Klinik / praktik mandiri selama ini telah melaksanakan layanan primer sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. Yang sesuai bahkan sejalan dengan definisi Dokter Layanan Primer, yaitu dokter yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip ilmu kedokteran keluarga, ditunjang dengan ilmu kedokteran komunitas dan ilmu kesehatan masyarakat serta mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan primer.
Atau apabila ada kekurangan kompetensi dari SKDI tersebut bisa ditambahkan melalui Continuing Professional Development (CPD) terstruktur yang dilaksanakan oleh PDUI dan IDI. Atau bila perlu diperbaiki lagi SKDInya bukan dengan melalui Pendidikan Formal selama 2 atau 3 tahun lagi.
Bawa Bencana
Apabila Pendidikan Formal tersebut tetap dilaksanakan hal ini dirasakan sangat menzalimi para dokter dan calon dokter juga sangat memberatkan terutama dirasakan oleh orang tua yang membiayai pendidikannya karena sudah pasti akan memakan waktu yang panjang dan biaya sangat mahal.
Penulis juga khawatir apabila sudah menyandang Spesialis Layanan Primer dokter tersebut tidak mau ke pelosok sehingga tujuan yang baik justru akan membawa bencana karena kesehatan masyarakat di peloksos tetap tidak berubah.
Pada Undang-Undang No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran terebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI membuat suatu Program Dokter Layanan Primer (DLP) dimana Dokter Umum setelah menempuh Pendidikan Kedokteran Dasar (Basic Medical Education / BME) 5 tahun dan Internship 1 tahun harus menempuh Pendidikan Spesialis DLP (pendidikan setara spesialis tapi bukan spesialis itu yang disebut dengan spesialis layanan primer) 2-3 tahun lamanya. Sehingga total Dokter Umum akan menempuh pendidikannya selama 8-9 tahun untuk berpraktik sebagai dokter.
Menurut saya kuncinya adalah perbaikan kualitas lulusan Fakultas Kedokteran di kampuas-kampus di Indonesia. Bukan menambah lagi jenjang pendidikan yang biayanya juga tidak sedikit. Menurut informasi, bisa mencapai 300 juta rupiah. Bisa dibayangkan betapa beratnya proses yang harus dilalui seorang dokter.
Tentu saja pendidikan dokter bukan main-main, dan di situlah kuncinya: Perbaikan kualitas lulusan fakultas kedokteran.
Bila melihat dari jumlah Fakultas Kedokteran penghasil dokter umum, hampir 50 % Fakultas Kedokteran di Indonesia tidak berakreditasi A sesuai syarat. Bahkan ada Fakultas Kedokteran yang sudah 9 kali diakreditasi, namun belum meningkat juga jangankan ke tingkat A ke tingkat B pun tidak. Ini adalah persoalan serius yang pemerintah abaikan. Pemerintah harusnya tegas menutup fakultas kedokteran abal-abal.
Sementara itu dalam Muktamar Ikatan Dokter Indonesia yang ke 29 yang diadakan pada tanggal 17-22 Nopember 2015 di Medan, seluruh perwakilan dokter dari seluruh Indonesia secara mufakat menolak konsep Pendidikan Dokter Layanan Primer yang dipandang akan memberatkan calon dokter dan juga dipandang merendahkan serta meragukan kompetensi dokter yang saat ini melayani masyarakat di layanan primer, padahal mereka telah melalui proses Uji Kompetensi untuk proses sertifikasi dan masa Intership dokter yang juga diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran.
Hasil kesepakatan yang diputuskan dalam forum pengambilan keputusan tertinggi di organisasi IDI tersebut (Muktamar IDI tahun 2015) menegaskan bahwa perhimpunan dokter spesialis layanan primer Indonesia (yang sudah terbentuk oleh beberapa orang dokter) tidak diakui sebagai perhimpunan dokter dibawah IDI.
Petisi Dokter
Untuk itu dalam Rapat Koordinasi Nasional PDUI pada tanggal 7 Januari 2016 di Jakarta yang dihadiri komisariat Cabang dan Komisariat PDUI dari seluruh Indonesia, telah dihasilkan sebuah PETISI sebagai berikut :
“Kami segenap Pengurus Pusat dan Pengurus Cabang Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) menyatakan sikap :
1. Menolak Pendidikan Formal Dokter Layanan Primer dan Mendorong peningkatan kompetensi dokter umum melalui Continuing Professional Development (CPD) terstruktur yang dilaksanakan oleh PDUI dan IDI.
2. Dokter Umum berwenang Melaksanakan Layanan Kedokteran Primer seutuhnya dan berhak atas Perlindungan Profesi berdasarkan standar pendidikan dokter, standar kompetensi dan standar pelayanan tanpa harus melalui Pendidikan Formal Dokter Layanan Primer.
3. Mendesak Pemerintah untuk Menghentikan Sosialisasi tentang Program Pendidikan spesialis Dokter Layanan Primer.
4. PDUI bersama IDI akan melakukan advokasi penolakan dokter layanan primer di seluruh cabang dan komisariat di seluruh Indonesia serta akan melakukan aksi nasional sebagai jalan terakhir bila aspirasi dokter Indonesia tersebut tidak dipenuhi.”
Dokter umum di Indonesia saat ini sebagian besar telah kompeten dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Dari segi Pendidikanpun para dokter selama ini telah sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 dan telah melaksanakan sesuai dengan definisi Dokter Layanan Primer, yaitu dokter yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip ilmu kedokteran keluarga, ditunjang dengan ilmu kedokteran komunitas dan ilmu kesehatan masyarakat serta mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan primer.
Kalaupun masih ada kekurangan maka kekurangan tersebut cukup dengan mengikuti peningkatan kompetensi dokter umum melalui Continuing Professional Development (CPD) terstruktur yang dilaksanakan oleh PDUI dan IDI. tidak perlu sekolah sampai 2-3 tahun lamanya sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu.
Oleh karena itu Pendidikan Formal Dokter Layanan Primer ini tidak perlu dilaksanakan. Tapi sebaiknya Pemerintah melengkapi kebutuhan sarana dan prasarana di FKTP terutama Puskesmas. Selanjutnya memeratakan penyebaran dokter sampai ke plosok.
*Penulis bekerja di Puskesmas DTP Labuan dan Klinik Al-Furqon Labuan, Banten.