Selasa, 1 Juli 2025

Pengelolaan LNG Nasional Sudah Kacau Balau Oleh UU Migas, Tanggung Jawab Siapa?

Oleh: Dr. Kurtubi *

JAKARTA- Kasus pembelian LNG yang terjadi di era Dirut Pertamina Ibu Karen Agustiawan dinilai bermasalah. Kasusnya sedang ditangani KPK. Belum dijelaskan oleh Karen Agustiawan beli LNG dari mana dan untuk apa LNG nya? Apakah untuk dipakai sendiri oleh Pertamina atau untuk dijual ke pemakai LNG yang lain baik di dalam negeri atau untuk tujuan di re-ekspor?

Lalu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ikut diperiksa, apakah terkait dengan pembelian LNG semasa Bu Karen menjadi Dirut? Padahal Ahok jadi Komisaris Utama di era Dirutnya, Nicke Widiawati sekarang ini.

Salah satu pencerminan pengelolaan LNG Nasional yang sebenarnya sudah lama simpang siur kacau balau (Ore Gade dalam bahasa Sasak di NTB).

Untuk diketahui bahwa di era sebelum UU No.8/1971 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Migas No.22/2001, kewenangan untuk mengembangkan cadangan gas besar milk negara yang ditemukan oleh kontraktor PSC adalah Pertamina.

Dikembangkan untuk menjadi LNG dengan membangun pabrik LNG tanpa pakai dana APBN di Arun, Aceh dan Badak, Bontang, Kalimantan Timur. Kemudian LNG dijual ke Jepang, Korea, Taiwan.

Hasil penjualannya menjadi sumber pemasukan yang signifikan bagi Negara dalam APBN. Ini berjalan dengan baik sejak awal 1970-an sampai 1990-an.

Tetapi setelah UU Migas No. 22/2001 mencabut Kuasa Pertambangan (KP) dari Pertamina dan dipindahkan ke Pemerintah/Kementerian ESDM yang sebenarnya tidak eligible (tidak memenuhi syarat) untuk memegang KP.
Inilah awal yang menjadi penyebab hancurnya industri migas dan hancurnya Industri LNG Nasional saat ini !!!

Karena kesimpangsiuran dan kekacauan (ore gade) dalam pengelolaan migas dan LNG Nasional. Sistem yang diciptakan oleh UU Migas ini ruwet ribet tidak disukai investor.

Pertamina Diobrak-abrik

Belasan pasal dari UU Migas No. 22/2001 telah dicabut MK, termasuk membubarkan BP Migas yang diganti nama menjadi SKK Migas. Tetapi tetap lembaga pemerintah yang menandatangani Kontrak ” B to G” dengan investor yang melanggar Konstitusi.

Kemudian Pertamina diobrak-abrik sebagai National Oil Company yang begerak secara terintegrasi hulu hilir berskala besar dalam struktur natural monopoly sebagai bentuk perusahaan yang paling efisien, sesuai dengan teori ilmu ekonomi. Mengalahkan effisiensi dari perusahaan dalam pasar persaingan bebas.

Dengan KP ditangan pemerintah, kewenangan membangun Pabrik LNG, mengoperasikan Pabrik LNG dan menjual LNG keluar negeri berpindah ke tangan Kementerian ESDM. Padahal Kementerian ESDM sebagaimana pemerintah diseluruh dunia, tidak eligible untuk membangun Pabrik LNG, mengoperasikan pabrik LNG dan menjual LNG. Sehingga harus menunjuk pihak ketiga untuk mengembangkan cadangan besar milik negara yang ditemukan oleh kontraktor PSC yang berkontrak “B to B” dengan Pertamina.

Tolong Dicatat bahwa yang telah terbukti berhasil membangun Pabrik LNG tanpa pakai dana APBN dan sukses besar menjual LNG adalah Pertamina. LNG dijual ke Jepang, Korea dan Taiwan dg formula harga jual yang Win-Win, menguntungkan negara.

Namun setelah UU Migas yang disahkan semasa Presiden Megawati Sukarnoputri dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, pemerintah dalam mengembangkan cadangan gas besar harus menunjuk pihak ketiga!

Kerugian Di Tangguh dan Masela

Contoh, cadangan gas besar di Maluku Tenggara diserahkan kepada Perusahaan INPEX. Cadangan gas besar di Papua diserahkan kepada British Petroleum (BP). Apa hasilnya? Rakyat sudah tahu!

Pertama, pabrik LNG Masela di Maluku setelah belasan tahun di bangun hingga hari ini belum selesai. Sampai-sampai Pertamina saking butuhnya LNG, akhirnya berikhtiar untuk membeli LNG dari Mozambiq dengan menggunakan kontrak jangka panjang pada saat Dirutnya Ibu Karen. Beberapa tahun kemudian dibatalkan secara sepihak oleh Pertamina dibawah Dirut Ibu Nicke. Belakangan menjadi masalah karena harus bayar denda.

Kedua, Pabrik LNG Tangguh di Papua yang dibangun oleh BP sudah selesai, namun LNG nya dijual murah ke Fujian, China. Karena menggunakan Formula harga jual yang salah untuk kontrak jual beli jangka panjang.

Sebagai catatan,–formula dengan menggunakan model regresi yang sangat sederhana, Y = a + bX; dimana Y adalah harga jual LNG ke Fujian, X adalah harga Crude oil dengan constraint X yang harus lebih kecil atau sama dengan $38/ bbls. Pada saat kontrak ditandatangani X = $17/bbls.

Dalam teori ekonomi energi yang paling primitif, dalam jangka panjang harga migas harus naik setiap tahun minimal sebesar tingkat suku bunga. Agar pemilik SDA yang non renewable ini tidak dirugikan kapanpun dijual.

Studi-studi Petroleum Econometric Modeling menunjukkan bahwa antara minyak dan gas terbukti ber-cointegrasi dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek bisa saja harga minyak dan gas turun sehingga terjadi “buyer market” tetapi keseimbangan baru pasti akan terjadi dengan naiknya demand atau supply yang menurun.

Artinya, harga gas selalu berfluktuasi dan bercointegrasi mengikuti harga crude. Sehingga Pemerintah yang menyetujui formula harga jual jangka panjang dimana constraint variable bebas (X) menggunakan harga crude oil yang sangat rendah hanya $38/bbl adalah merupakan langkah kebijakan yang salah.

Meskipun Kondisi pasar LNG waktu itu sedang “buyer market” yang bersifat sesaat, karena harga crude yang rendah untuk jangka pendek. Kemudian harga crude pasti naik lagi. Fakta statistik menunjukkan hal yang sama dengan teori, dimana harga crude naik merayap sampai menembus diatas $100/bbls.

Setelah penjualan LNG Tangguh ke Fujian berjalan bertahun-tahun dengan harga super murah yang dinikmati oleh buyer di Fujian, kemudian harga crude naik merayap menembus $100/bbls. Setelah didesak, akhirnya, pihak buyer setuju untuk mengoreksi formula harga jual yang sangat merugikan Indonesia.

Pasalnya, LNG yang dibangun dan dijual oleh Pertamina ke Jepang, Korea dan Taiwan dihargai sekitar $14/ mmbtu. Sedangkan LNG Tangguh yang dijual ke Fujian dihargai pada level harga konstant selama bertahun-tahun sekitar $4/mmbtu.

Saya tidak tahu apakah penganugerahan gelar kehormatan berupa Doktor Honoris Causa pada Presiden RI ke 5 Megawati Soekarnoputri dari Normal Univetsity di Fujian ini ada kaitannya dengan kontrak jual beli jangka panjang LNG Indonesia – Tiongkok yang terbukti sangat merugikan Indonesia.

Houston, 24 Juni 2022

* Penulis, Dr. Kurtubi, alumnus Sekolah Pertambangan Colorado, Institut Perminyakan Perancis dan Universitas Indonesia.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru