JAKARTA – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengusulkan adanya Undang-Undang Kebebasan Beragama. Menurut Pigai, UU itu perlu dibuat untuk memperbolehkan warga memeluk kepercayaan di luar agama-agama yang telah diakui negara.
“Misalnya mereka yang percaya di luar agama resmi. Kami malah menginginkan untuk ke depan harus ada undang-undang kebebasan beragama. Ini sikap kementerian ya,” kata Pigai di kantor Kementerian HAM, Kuningan, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Pigai mengatakan, UU Kebebasan Beragama berbeda dengan UU Perlindungan Umat Beragama.
Pasalnya, kata dia, UU Perlindungan Umat Beragama terkesan memaksa warga negara memilih salah satu agama yang diakui negara.
“Negara tidak boleh mengakui dan menjustifikasi adanya ketidakadilan dalam beragama. Karena itu harus menghadirkan, harus ada undang-undang yang memproteksi. Itu tidak boleh,” ujar Pigai.
Ia pun menegaskan, rencana membentuk UU Kebebasan Beragama masih sekadar wacana sehingga ia membuka diskusi bagi mereka yang pro dan kontra.
“Untuk silakan ada yang mau protes tidak apa-apa. Ada yang tidak protes tidak apa-apa. Tapi kan boleh dong namanya juga demokrasi,” ucap Pigai.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pada 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa negara wajib melindungi dan menjamin pemenuhan hak warga negaranya untuk memeluk suatu kepercayaan di luar enam agama yang berkembang di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Hakim MK Saldi Isra saat membacakan putusan permohonan uji materi pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Saldi menuturkan, ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan pengakuan konstitusi terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi siapapun.
Sedangkan Pasal 29 UUD 1945 merupakan penegasan atas peran yang harus dilakukan oleh negara untuk menjamin tiap-tiap penduduk agar merdeka dalam memeluk agama dan keyakinan yang dianutnya.
Di sisi lain, menurut Saldi, hak dasar untuk menganut agama, mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik. Artinya, hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu hak dalam kelompok hak-hak sipil dan politik yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hak-hak alamiah.
“Dengan demikian, dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, negara dibentuk justru untuk melindungi, menghormati dan menjamin pemenuhan hak-hak tersebut,” ucapnya.
“Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian negara,” kata Saldi. (Web Warouw)