Sabtu, 21 Juni 2025

Penyesalan Negara Atas Pelanggaran HAM Berat, Jokowi Lanjutkan Bakti Pancasila Bagi NKRI 

Oleh: Toga Tambunan *

PRESIDEN Joko Widodo mengakui pelanggaran hak azasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan menyesalkannya, kemarin tanggal 11 Januari 2022.

Diantara peristiwa pelanggaran HAM yang berat, yang diakui dan disesalkan itu, peristiwa 1965 – 1966, di urutan ke satu, dalam konteks waktu kejadian. Setelah 56 tahun berlalu baru, diakui dan disesalkan terjadinya secara denotasi kenegaraan.

Pengakuan dan penyesalan terjadinya pelanggaraan HAM yang berat itu bukanlah rumusan Presiden Jokowi pribadi melainkan rumusan 12 anggota tim Pelaksana PPHAM / Kepres 17/2022 yang diketuai Makarim Wibisono dan Menkopulhukam Mahfud M.D mengetuai tim Pengarah didampingi Menko PMK beranggota Menhukam, Menkeu, Mensos dan Kepala Staf Presiden.

Peristiwa 65/66 yang dikatagorikan salah sebagai pelanggaran, sesungguhnya berkonotasi kejahatan, dibuktikan adanya banyak kuburan massal dari para pendukung Presiden Soekarno, sudah terjadi 56 tahun berselang yang berkelindan terhadap ekses beragam pidana dan perdata yang mengiringinya kemudian.

Pernyataan Presiden Menyesali 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat:

Mengingat opini di bergelora.com, pada 21 Desember 2022 bertajuk : “Sabarlah, Kerja PPHAM Belum Tuntas” tertulis diantaranya sbb:

“PM Belanda Mark Rutte, mengajarkan pengalamannya bahwa semestinya pemerintahan yang bijaksana wajib meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan rezim pemerintahan sebelumnya dari negaranya. Toh nanti akan juga minta maaf. Negarawan peminta maaf itu, namanya akan dicatat tinta emas, dimuliakan selamanya. Gus Dur yang hanya berniatkan negara & pemerintahannya minta maaf yang dicegat itu, betapa agung dan harum semerbak nama beliau.

Kalaupun terhalang meminta maaf, paling tidak bukankah saatnya negara & pemerintah RI mengakui rezim terdahulu: rezim Soeharto melakukan pelanggaran ham berat atas warga RI?

Para korban pelanggaran (formulasi tepat: kejahatan) ham berat masa lalu, bersabarlah, PPHAM belum tuntas bekerja, dan barangkali belum bertaraf negarawan PM Mark Rutte itu. Namun kita berharap semoga semua personil PPHAM itu, berpandangan negarawan PM Mark Rutte itu.”

Padamu Kepres 17/2022 itu, utamanya digagas pembahasan rekomendasi pemulihan bagi korban, tidak eksplisit digagas pengakuan dan penyesalan kenegaraan.

Saya selaku seorang penyintas peristiwa
65/66 ini, senang menyambut pengakuan dan penyesalan kenegaraan itu. Meski tanpa permintaan maaf kenegaraan atau pengakuan bersalah kenegaraan.

Kita semua penyintas 65/66 hendaknya bersedia senang menyambut pengakuan dan rasa sesal kenegaraan itu, tanpa eforia.

Memang pengakuan dan rasa sesal kenegaraan itu belum menuntaskan kebenaran secara politik dan hukum atas peristiwa 65/66 itu yang menyebabkan dihempaskannya ke kamp tahanan dan pulau pencengkram ratusan ribu pendukung Presiden Soekarno yang sah ketika itu sebagai tapol penanggung pecut-nista kerja paksa.

Bukankah penjahat Nazi diadili setelah kuasanya ditekuk kalah? Narasi penguasa tertinggi adalah rasnya Aria teragung di dunia, runtuh, bukankah setelah energi kerajaan Hitler musnah?

Narasi stigma atheis, pemberontak, jahat terhadap para pendukung Bung Karno di sembur rezim orba Soeharto ke seluruh dusun Indonesia secara struktural bahwa Bung Karno sendiri kudeta Presiden Soekarno, yang menarasikan wewenang kuasanya hoaks sepadan Hitler dan tafsir Pancasila olahannya dipaksakan sebagai pedoman politik tertinggi.

Dengan pengakuan rasa sesal kenegaraan oleh Presiden Joko Widodo ini, energi stigma itu dilemahkan ke titik rendah. Barangsiapa penyintas 65/66, tanpa euforia, sudah selayaknya tampil kentara dengan atribut penyintas 65/66.

Dengan pengakuan dan rasa sesal kenegaraan itu, terbuka kesempatan bagi perorangan maupun komunitas penyintas 65/66 semakin tampil nyata mengekspresikan tegas agenda Pancasila 1 Juni 1945, yang Berdikari dalam bakti pengabdian menjalin kerukunan nasional, keaktifan serius membangun negara dan bangsa yang selama ini telah dilakukan, kian dapat gairah dilanjutkan dengan tidak pinjam nama orang lain, tapi jelas dengan nama pribadinya sendiri.

Bekasi, 12 Januari 2022.

* Penulis Toga Tambunan, pengamat sosial politik

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru