Oleh: Dr. Maruly H. Utama *
PENUNJUKAN Kaesang Pangarep jadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Senin (25/9) mengingatkan kembali pada penggalan sejarah perjuangan PRD dan kebangkitan PDI 1996.
Mewakili anak muda yang berontak terhadap hegemoni partai berkuasa. Diabaikan, direndahkan hingga dicampakan dihadapi dengan suka cita
Crack Down 27 Juli adalah pukulan keras bagi gerakan prodem, utamanya PRD (Partai Rakyat Demokratik). Kantor PDI yang diserang PRD yang diburu. Tidak hanya di Jakarta, daerah-daerah yang memiliki cabang PRD diobrak abrik lalu kader-kadernya ditangkap. Kemudian diinterogasi sambil disiksa berhari-hari. Setelah menderita dilepas begitu saja dengan dikenakan wajib lapor. Tetapi ada juga yang ditangkap berlanjut ke pengadilan. Diadili untuk dijebloskan ke dalam penjara.
Penjara tidak membuat jera, PRD tetap melawan. Sebagai sekutu politik, jangankan melakukan pembelaan, secangkir teh pahit pun tidak pernah dikirim PDI/P untuk kader PRD yang dipenjara. Itu kata Pramudya Ananta Toer, budayawan jebolan Pulau Buru bergumam. PRD menyembuhkan luka-lukanya sendiri.
Regim Orde Baru terguling. Melalui Kongres Bali 1998 PDI berganti nama menjadi PDI Perjuangan. Menang Pemilu 1999, kemenangan yang disebabkan kemarahan rakyat selama 32 tahun dilampiaskan dengan mencoblos PDIP, bukan karena kemenangan yang diperoleh atas kerja-kerja politik partai.
Sama dengan kemenangan PDIP pada Pemilu 2014 dan 2019. Bukan kemenangan karena programatik partai, tapi faktor Jokowi yang memberikan sumbangan politik elektoral terbesar pada PDIP.
Sebagai partai, PDIP gagal dalam mengagregasi kepentingan rakyat. Klaim sebagai partai wong cilik adalah dusta sebagaimana klaim palsu sebagai partai kiri.
Saat Gusdur berkuasa, PDIP bersekutu dengan kekuatan politik poros tengah untuk menjatuhkannya. Hal ini pernah disampaikan Gusdur saat wawancara pada acara Kick Andy tahun2008. Walaupun sudah ditikam dari belakang hingga tersungkur, Gusdur tetap memaafkan walau tidak melupakan.
Sejarah Megawati ketika menjadi Presiden ke 5 adalah sejarah pengkhianatan. Sehingga lekuasaan yang dimilikinya tidak memberi manfaat bagi rakyat dan kadernya yang jadi korban 27 Juli. Memilih bermain aman untuk tidak menyeret aparat militer yang menyerbu kantor PDI demi menjaga hubungan baik dengan militer agar mengamankan kekuasaan hasil rampasan dari tangan Gusdur.
Ketika Megawati menjabat Presiden, pasukan militer yang telah ditarik dari Aceh oleh Gusdur didatangkan kembali, Aceh berulang menjadi DOM – Daerah Operasi Militer. Upaya dialog yang dirintis oleh Gusdur diamputasi oleh operasi militer.
Sama dengan Papua, Theys Hiyo Eluay, Ketua PDP – Presidium Dewan Papua yang didirikan Gusdur sebagai perwujudan status otonomi istimewa Propinsi Papua tewas secara misterius ketika Megawati menjabat Presiden menggelar operasi militer.
Satu-satunya warisan pemerintahan PDIP – Megawati yang selalu diingat rakyat adalah kebijakannya dalam menjual satelit Indosat. Melihat reputasi ini wajar jika PDIP – Megawati – bisa digocek dua kali oleh SBY saat Pemilu 2004 dan 2009.
Rekam jejak perkawanan secara politik juga harus dikritisi, Prabowo adalah korban muslihat, bukan siasat. Jika PDIP – Megawati mengingkari perjanjian Batu Tulis maka Anies Baswedan mengingkari komitmen Mata Najwa.
Tidak ada iktiyar PDIP – Megawati yang bisa dijadikan teladan. Arogansi kekuasaan dipertontonkan dengan vulgar. Saat Budiman Sudjatmiko membawa ide Persatuan Nasional bersama Prabowo dijawab dengan surat pemecatan. PKetika Prabowo ingin bertemu untuk bicara soal koalisi dan persatuan nasional PDIP – Megawati malah melengos.
Situasi berubah dengan cepat. Partai Demokrat yang sama-sama menjadi korban muslihat coba membuka komunikasi dengan PDIP. Sudah menyapa dengan rendah hati, tapi PDIP malah memerintahkan untuk jalan jongkok dengan tangan dikepala supaya mudah untuk dipalak.
Daripada berteman tetapi menjadi subordinat, Partai Demokrat lebih memilih sekutu yang setara. Deklarasi dukungan tanpa syarat yang diberikan untuk Prabowo begitu meriah pada tanggal 21 September kemarin, seperti deklarasi Partai Demokrat pada Pemilu 2009 di Bandung.
Persiapan untuk menang memang harus diawali dengan acara yang semeriah mungkin. Terkesan elitis, tapi memang itu yang dibutuhkan untuk menopang kepemimpinan stratejik. Semua ngadegdeg melihat Partai Demokrat mengura-urakan Prabowo.
Yang bulu kuduknya merinding karena was-was, bingung dan cemas langsung menggonggong seperti guguk menyerang kebijakan food estate Presiden Jokowi. Sementara yang keluar keringat dingin karena gugup, gelisah dan risau buru-buru ngajak bertemu dengan membuka peluang Ganjar Cawapres Prabowo.
Jangan tertipu Jenderal! Orang yang berubah karena kesadaran pasti orang baik. Tapi orang yang berubah karena terdesak situasi pasti muslihat. SBY sudah menyanyikan lagu ‘Kamu Tidak Sendirian’ nya Tipe – X. Itu lagu solidaritas sebagaimana salam komando untuk menumbuhkan semangat dan kebersamaan.
Jangan menyakiti SBY, caranya: meneguhkan hati untuk memilih Budiman Sudjatmiko sebagai Cawapres.
Pemilu 2024 jangan dilihat hanya sebagai momentum Pemilihan Presiden semata. Lebih dari itu, Pilpres 2024 harus jadi momentum Persatuan Nasional untuk mengucapkan selamat tinggal pada hamhimhum penculikan aktivis. Budiman memiliki legitimasi moral yang kuat untuk bicara penculikan aktivis sekaligus memberikan jalan keluar penyelesaiannya.
Perilaku banteng berbeda dengan kuda, lebih mirip dengan sapi. Ditarik dia nyeruduk, didorong dia nyepak. Sulit untuk menjinakannya kecuali jika tanduknya dipotong.
Dan Kaesang Pangarep putra Presiden Jokowi yang Senin (25/9) dinobatkan jadi Ketua PSI (Partai Solidaritas Indonesia) semakin memperpanjang mimpi buruk PDIP-Megawati. Selamat tinggal populisme palsu!
*Penulis, Dr. Maruly H. Utama
DPP Prabu – Dewan Pimpinan Pusat Prabowo Budiman Bersatu