JAKARTA – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri menegaskan, PDI-P merupakan parpol yang sah dan tidak boleh diperlakukan secara sembarangan. Pesan itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto pada peringatan Peristiwa 27 Januari 1996 (Peristiwa Kudatuli) di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2024).
“Ibu Megawati Soekarnoputri berpesan kepada kita semua bahwa kita (PDI-P) adalah partai yang sah, dan kita juga warga negara yang sah yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Karena itulah kita tidak bisa diperlakukan sembarangan, seakan-akan kita bukan warga negara Indonesia, seakan-akan kita bukan pemilik republik ini, saudara-saudara sekalian,” ujar Hasto.
Hasto pun menyinggung bahwa Megawati sebagai saksi sejarah dari Peristiwa Kudatuli yang terus memperjuangkan konstitusi dan demokrasi.
Sehingga, menurutnya, kader PDI-P harus terus turun ke bawah untuk mengingatkan semangat dari perlawanan dalam Peristiwa Kudatuli.
“Dengan memperingati Kudatuli ini kita terus turun ke bawah, kita terus gelorakan semangat perjuangan ini sekaligus mengingatkan kalau yang namanya watak kekuasaan,” kata Hasto.
“Pada dasarnya kekuasaan itu muncul bukan melekat pada diri si aktor, kekuasaan itu pada dasarnya muncul dari suatu kekuatan kolektif rakyat, kekuatan ide dari rakyat yang mendambakan kemerdekaan yang sejati, yang mendambakan hak perserikatan dan berkumpul yang mendambakan hak bersuara sehingga suara-suara kebebasan tidak dibungkam termasuk oleh rezim otoriter yang mengklaim dirinya kok boleh berpihak kepada rakyat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hasto menyinggung soal pelajaran demokrasi dari Peristiwa Kudatuli. Menurutnya, demokrasi merupakan sistem yang berdasarkan kekuasaan rakyat yang harus terus diperjuangkan.
“Karena kekuasaan bisa lupa ketika jatuh pada kenikmatan dari kekuasaan itu sendiri,” tegasnya.
“Percayalah bahwa kekuasaan, setebal apa pun tembok kekuasaan itu dibangun, Kudatuli mengajarkan kekuatan arus bawah tidak bisa dibungkam. Kekuasaan arus bawah mampu melawan berbagai tembok-tembok kekuasaan yang lupa diri makna sejatinya kekuasaan untuk rakyat untuk kepemimpinan Indonesia bagi dunia,” jelasnya.
Kepada Bergelora.com, Megawati Soekarnoputri pernah menjadi Presiden RI ke 5 setelah menjatuhkan Presiden RI KH Abdurrachman Wahid pada tahun 2001 kemudian kalah dalam Pemilu langsung pertama pada tahun 2004, digantikan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Selama berkuasa Megawati tidak pernah menghiraukan tuntutan penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat dalam peristiwa 27 Juli 1996.
Bahkan menurut beberapa sumber Megawati tidak mau peristiwa yang menewaskan banyak kader PDI diungkap kembali.
Mengkerdilkan 27 Juli
Saksi sejarah dan aktivis PDI, Jacobus Kamarlo Mayong Padang mengatakan 27 JULI menjadi semakin kerdil, lewat begitu saja dan seakan tak bermakna. Yang rutin memperingatinya hanya FKK 124 korban anekdot Polri.
“Orang berdiam dalam rumahnya di Jalan Diponogoro 58, diserang dengan batu dan senjata sampai banyak yang meninggal. Setelah penghuni tak berdaya, mereka pun diangkut lalu ditahan dan selanjutnya diadili dan diputuskan bersalah,” ujarnya dalam artikel yang berjudul “27 Juli 1996, Peristiwa Besar Yang Dikerdilkan”
Bahkan Jacobus mempertanyakan Megawati yang sempat berkuasa mengapa tidak mengungkap peristiwa tersebut.
“Skrg PDIP besar2kan lg 27 Juli padahal PDIP 3x berkuasa, koq tidak diurus?” demikian pesannya lewat Whatsapp kepada redaksi Bergelora.com
Senada dengan itu, aktivis 98 Muhammad Ikhyar Velayati justru mempertanyakan peran PDIP saat berkuasa dalam penyelesaian tragedi 27 Juli.
Ia meminta agar PDIP jangan menjadikan kasus 27 Juli sebagai komoditas politik, hanya goreng sana goreng sini.
PDIP Tak Punya Hak Moral Lagi
Justru menurutnya rakyat dan korban 27 Juli harus menagih janji elit PDIP penyelesaian kasus ini, karena sudah pernah diberikan mandat oleh rakyat sebagai pemenang pemilu dan pernah dua kali kadernya menjadi presiden, tapi hingga detik ini tidak ada satupun kebijakan, regulasi bahkan kompensasi yang diberikan oleh PDIP saat berkuasa.
Menurut Ikhyar, saat ini PDIP tidak punya hak moral lagi bicara kasus tragedi 27 Juli, apalagi membebankan tanggung jawab penyelesaian kasus tersebut kepada Presiden Jokowi.
“Mereka (PDIP) tidak punya hak moral lagi untuk bicara tragedi 27 Juli, saat Megawati menjadi Presiden dan wakil Presiden 1999-2004 serta PDIP menjadi pemenang Pemilu saja kasus ini dianggap angin lalu, padahal darah korban 27 Juli yang meninggal maupun yang masih hidup masih menyengat tercium hingga ke Istana. Sekarang kok mau buang badan dan membebankan tanggung jawabnya ke Presiden Jokowi,” sindir ikhyar kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini. (Web Warouw)