Sabtu, 6 September 2025

Pesohor Itu Datang Membawa Pesan Tirakat

Hasan Aoni, Pendiri Omah Dongeng Marwah (ODM) Kudus. (Ist)

Seorang wartawan senior, Prie GS dari koran Suara Merdeka dan tabloid Cempaka mengunjungi sanggar Omah Dongeng Marwah (ODM) di Kudus. Hasan Aoni, pendiri ODM menulis catatan kehadiran tiba-tiba Mas Prie GS kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Hasan Aoni

SEORANG pesohor yang ketika belum seterkenal sekarang sering mengundang kami berkunjung ke rumahnya, tiba-tiba datang ke sanggar kami tanpa dinyana, sore, 17 Juni 2019, lalu. Ini kunjungan mengejutkan buat saya yang seharusnya mendampingi pesohor ini tampil di sebuah acara di salah satu pabrik rokok di Kudus.

Lebih dari 25 tahun lalu kami sering diskusi, dan saya melihat dia belum siapa-siapa waktu itu, tapi sudah lebih siapa dari teman-temannya. Sebagai mahasiswa yang kantongnya cekak, undangan pesohor kepada kami untuk datang ke rumahnya waktu itu serupa panggilan pesta. Lebih dari pesta pernikahan, karena tausiyahnya melebihi mutu mau’idhoh hasanah kiai di pesta-pesta nikah itu. Saya gunakan istilah “undangan” agar sebagai mahasiswa kami tidak melorot jadi penggemar daripada teman diskusi, meskipun untuk pesohor yang satu ini kami merasa begitu.

Wartawan senior, Prie GS (berpeci) dari koran Suara Merdeka dan tabloid Cempaka mengunjungi sanggar Omah Dongeng Marwah (ODM) di Kudus beberapa waktu lalu.(Ist)

Tapi, itulah sihirnya. Pesta yang seharusnya kami nikmati berubah sembilan puluh satu derajat. Untuk menyorongkan tangan mendekati kue-kue yang ada di dalam toples itu saja, sebagai orang yang sedang belajar jadi “Jawa”, rasanya kurang elok kalau teman lain belum mulai. Celakanya, lima teman saya semua Jawa tulen. Oke, orak popo, masih ada waktu menunggu sampai tuan rumah menyilahkan, begitu pikir saya menenangkan perut dan menghibur diri.

Tapi, alasan intelektuilnya, karena makan sambil diskusi mengganggu fokus dan melanggar adab santri. Antara takut dikira tidak intelektuil dan menahan rasa lapar bertumpuk jadi satu. Apa rumah pesohor ini sudah dipenuhi jin-jin sholeh, bikin kami berubah sopan dibanding watak asli kami tiap bertemu kue-kue itu di kampus? Saya melihat langit-langit rumah dan sekeliling ruang tamu. Berjejer buku-buku sastra di dalam rak kayu di belakang tempat dia duduk. Masih bisa saya baca judulnya sambil memiringkan kepala dari jarak dua meter. Lalu perhatian saya kembali tertumbuk pada toples-toples itu.

Anehnya, pesohor ini seperti wali, dia bisa menebak tepat maksud lirikan saya pada toples-toples itu daripada pada buku-buku di rak. Sikapnya setelah itu mewakili aspirasi perut kami. “Ayok, dicicipi dulu. Diminum tehnya. Opo malah puasa?” Ini yang ditunggu-tunggu. Waktu pesta dimulai, meskipun kalimat penutup menanyakan puasa bikin sedikit tercekat selera kami.

Mas Prie GS pesohor itu. Masih tak berbeda sore itu dengan dia di waktu lalu. Dia sangat sederhana, seperti ketika sebagai pesohor memilih ngglosor di gazebo glugu di depan sanggar omah dongeng kami. “Opo iki? Aku pengen niru iki,” selorohnya melihat kolam berisi ikan-ikan koi dan nila di bawah gazebo itu. Saya tahu dia sering melihat lebih dari itu di rumah-rumah orang berpunya setiap mendatangi acara. Ini pujian model lain kepada kami yang sudah salah membangun konstruksi kolamnya.

Kesederhanaan itulah kemewahan dia. Setelah berkali-kali bertemu dan mencermati hampir semua panggung yang dia buat atau dibuatkan, dari koran, radio sampai TV, jumlah penggemarnya makin bertambah saja. Dari remaja sampai dewasa, dari emak-emak sampai bapak-bapak, dari orang kota sampai orang desa. Dia pesohor seribu umat.

Di koran Suara Merdeka dan tabloid Cempaka dia mulai mengasah talentnya sebagai wartawan dan penulis, lalu jadi buku sangat laris untuk apapun yang ditulisnya. Buku-buku yang menarik dibaca selayak mendengar dia bicara. Melalui kartun gaya jenakanya dimulai, dan terus meningkatkan kelucuannya tidak hanya berhenti pada sketsa, tapi pada pilihan term dan diksinya saat bicara. Semua kelebihan itu membuktikan dia tidak menggunakan aji-aji apapun termasuk jin-jin itu sebagai khadamnya. Makin menyadari ternyata saya sudah su’udzon untuk orang sesholeh dia. Atau jangan-jangan malah jin-jin itu yang meminta dukungan dia agar bisa lebih jin dari jin.

Sepanjang cerita yang ditulisnya, dan cobalah bersabar membacanya sampai akhir, seharusnya untuk tulisan-tulisan dia yang menarik saya tidak perlu menyarankan sabar, kita akan mengenali pribadi pesohor paling mewakili kaum kecil. Tidak dari soal tubuhnya yang hanya sekitar 150 cm, tapi dari keadaan ekonomi dan segala gambaran kekurangan yang paling sengsara di dunia yang dicap pada dirinya. Dan kita patut curiga kalau soal ini, karena jangan-jangan dia sedang menyusun apa yang diteorikan sebagai “merendahkan diri untuk menaikkan mutu”. Kali ini saya yakin tidak su’udzon, karena pada prasangka yang tepat namanya husnudzon.

“Di ruang publik kadang orang tidak menyukai kita tampil sepenuhnya cerdas dan sholeh tanpa cacat sama sekali. Mereka butuh kita tampil bodoh, sederhana, lugu, supaya mereka bisa merasa kita bagiannya,” begitu kata dia kepada saya suatu ketika.

Perihal kesengsaraan ini juga tema obrolan kami sore itu. Di tangan dia penderitaan sangat mudah disulap jadi kisah yang sangat bermutu. Misalnya ketika memperhatikan anak saya yang tengah memetik gitar membawakan lagunya sendiri, ritual untuk menghormati tamu-tamu khusus yang datang di ODM, dia mencermati denting dawai yang mestinya bisa dibawakan lebih hebat dari kekuatan lirik dan nada.

Tapi, supaya nasehatnya mengena, dengan tangkas dia mengalihkan kesengsaraan sebagai tirakat. “Kamu sudah bagus. Tapi, soal petikan itu perlu belajar lagi pada ahlinya. Harus tirakat sampai benar-benar bisa,” katanya. Beda tipis antara tirakat dan sengsara. Tapi, memaknai tirakat sebagai belajar adalah semantik positif untuk apa yang sering diterima banyak orang sebagai azab. Dan bila orang-orang masih menganggapnya demikian, dia tidak ambil pusing, karena sejurus kemudian akan menyeret orang itu tanpa menyadari sedang dibawa pada sakau yang dikehendaki. Jurus silat jiwa paling hebat yang saya kenal. Tepat menembak situasi psikologis kawan bicara, dan sesunguhnya kita di hadapannya bukan hanya kawan, tetapi pasien yang perlu disembuhkan dari kekeliruan cara pandang akan dunia. Dia punya karomah itu, sedikit di bawah mukjizat.

Mungkin sepanjang hidup kita selalu dalam sengsara jika itu artinya tirakat belajar. Sebab, tidak ada yang sempurna sampai apa yang dikira sempurna terkoreksi oleh ketidakmutuan di tempat dan waktu yang berbeda. Demikian kesengsaraan sebenarnya pada Mas Prie GS sebagai manusia mungkin juga dialami untuk soal-soal yang tampaknya sepele, tapi mengganggu. Misal ketika teman-temannya terkejut soal tarif mengundang dia. Seolah dia sudah jadi artis yang tak bisa diundang dengan lillahi ta’ala. Tapi, dunia yang sempit ini mendengar juga, ada yang lebih kaget dari yang pertama. Ternyata ada kawan yang tak perlu bertarif setelah berjam-jam menonton dia berbusa-busa bicara dan melucu di forumnya.

Kelucuan yang sesungguhnya adalah membicarakan ini dan semua isu kehidupan dengan kacamata yang tak berubah. Lensa minus di optik Pasar Kliwon langganan saya, rupanya tak cukup untuk mata yang sudah harus dipasang lensa positif. Lensa yang baru itu disebut progresif, mengingatkan nasihat untuk pandangan kita hari ini.

Setipis perbedaan antara sengsara dan tirakat, setipis itu pula kita sering salah memandang dunia. Dan anehnya, meskipun tentang pesohor ini kita sedang membicarakan contoh-contoh, melalui pesohor ini pula kita belajar mengatasinya.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru