JAKARTA- Pemerintah resmi menaikkan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari 7,5% menjadi 10%. meski bertujuan memperkuat hilirisasi dan meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri dan petani sawit.
Mulai 17 Mei 2025, kebijakan baru pemerintah terkait tarif pungutan ekspor (PE) CPO resmi berlaku. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025. Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan pungutan ini bertujuan untuk mendorong hilirisasi industri kelapa sawit dalam negeri dan menambah pundi-pundi penerimaan negara. Namun, di balik semangat tersebut, industri sawit menghadapi tantangan berat.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyatakan bahwa kenaikan PE memang tidak secara langsung menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi beban ekspor jelas meningkat.
“Harga CPO dalam negeri akan tertekan, dan harga tandan buah segar (TBS) milik petani ikut terdampak. Di sisi lain, harga ekspor menjadi kurang kompetitif dibanding negara lain,” ujarnya, dikutip Bergelora.com Selasa (18 Mei 2025).
Menurut data GAPKI, dari total 29,5 juta ton ekspor minyak sawit Indonesia tahun 2024, mayoritas merupakan produk hilir seperti Refined Palm Oil (20,4 juta ton) dan Oleo Chemical (4,8 juta ton), sementara CPO hanya menyumbang sekitar 10%. Saat ini, ekspor minyak sawit juga dikenai beban tiga komponen sekaligus:
Domestic Market Obligation (DMO), Pungutan Ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK). Dengan PE naik menjadi 10%, beban ekspor yang sebelumnya mencapai sekitar US$ 221 per metrik ton dipastikan akan bertambah.
Dalam surat resmi kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani, GAPKI menilai kebijakan ini datang di waktu yang tidak tepat. Ketidak pastian global dan ancaman tarif masuk dari negara-negara mitra seperti Amerika Serikat dan Malaysia semakin memperlemah daya saing. AS tengah mempertimbangkan tarif bea masuk sebesar 32% untuk produk sawit Indonesia, sementara Malaysia hanya dikenai 24%.
Malaysia sendiri juga menerapkan bea keluar yang fluktuatif, dan pada Mei 2025 ditetapkan sebesar 10%.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Ketua Umum APKASINDO, Dr. Gulat Manurung, mengungkapkan bahwa harga CPO dalam negeri telah turun Rp1.500 – Rp2.000/kg dalam empat bulan terakhir, berdampak pada penurunan harga TBS sebesar Rp500 – Rp850/kg.
Ia memperkirakan bahwa kenaikan pungutan PE akan menekan harga TBS tambahan sebesar Rp300 – Rp325/kg.
“Semua beban sektor hilir pada akhirnya ditanggung oleh petani. Kami yang paling terdampak,” ujarnya, melalui sambungan telepon, Rabu (14 Mei 2025).
Lebih lanjut, Gulat juga menyinggung alokasi dana hasil pungutan ekspor yang kini turut digunakan untuk sektor lain seperti kakao dan kelapa. Ia menilai kebijakan ini tidak adil bagi petani sawit yang menjadi sumber utama dana pungutan. (Web Warouw)