JAKARTA- Sejarah munculnya pilkada langsung adalah akibat kekecewaan politik transaksional di DPRD. Namun ketika hendak dikembalikan dari Pilkada langsung ke pemilihan dalam DPRD karena alasan politik transaksional, sesungguhnya hanya persoalan “periuk” bukan persoalan esensi demokrasinya. Maka jika pemilihan langsung tidak ada maka lebih baik lagi partai politik tidak perlu ada. Hal ini disampaikan oleh Pengacara Pemilu dan Konstitusi, Hermawanto kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (11/9).
“Politik transaksional semuanya buruk, cuma siapa yg menerima dana politik haram itu. Maka mengembalikan pilkada ke DPRD bukan solusi,” ujarnya.
Menurutnya, partai politik faham tentang demokrasi. Tetapi dorongan, hasrat dan nafsu finansial telah mengkaburkan substansi demokrasi dan melupakan sistem demokrasi yang telah melahirkan institusi partai politik.
“Maka jika pemilihan langsung tidak ada maka lebih baik lagi partai politik tidak ada,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi politik, Institute For Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng mengatakan ada kepentingan Neoliberalisme dibalik isu pilkada langsung yang telah membelah elite politik menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan.
“Kelompok pendukung liberalisasi politik, sejalan dengan agenda IMF, World Bank, USAID, AUSAID, dan seluruh kekuatan asing pendukung reformasi neoliberal yang berada dibalik otonomi daerah dan Pilkada langsung,” ujarnya.
Dipihak lain menurutnya adalah pendukung Pilkada tidak langsung yang dilakukan lewat DPRD.
“Kelompok ini anti liberalisasi politik, sejalan dengan Pancasila, UUD 1945 Asli, demokrasi perwakilan, dan seluruh kekuataan nasionalis pro-konstitusi kemerdekaan 17 Agustus 1945,” ujarnya.
Single Legitimacy
Sementara itu Ketua Presidium Petisi 28, Haris Rusly Moti menegaskan bahwa sistem demokrasi perwakilan yang sesuai sila ke 4 Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan itu dicerminkan melalui pemilihan wakil rakyat di DPR-RI dan DPR-D secara langsung, umum, bebas, rahasia dan jurdil.
“Bung Karno dan para pendiri bangsa kita memilih menganut demokrasi single legitimacy, yaitu hanya wakil rakyat di DPR RI dan DPR-D yang dipilih langsung oleh rakyat. Untuk pimpinan di lembaga eksekutif danyudikatif dipilih oleh wakil rakyat berdasarkan musyawarah dan mufakat,” jelasnya.
Sehingga menurutnya Indonesia menyelenggarakan Pemilu hanya sekali setiap lima tahun, yaitu Pemilu untuk memilih wakil rakyat.
“Jadi, jika kita mau menang Pilkada di suatu daerah tertentu, maka kita harus berjuang memenangkan Pileg di daerah tersebut, itu juga praktik berdemokrasi lho,” ujarnya.
Haris Rusli Moti membenarkan bahwa, di zaman Orde Baru, Pilkada lewat DPR-D itu jadi distorsi, hanya jadi ornamen demokrasi, karena Kepala Daerah yang dicalonkan harus mendapatkan restu Pak Harto.
“Jadi beda, Pilkada DPR-D yang akan dipraktekkan saat ini dengan di zaman Orba. Apalagi dibantu oleh kemerdekaan kontrol media massa dan media sosial,” katanya.
Bila masalahnya pada oligarki Parpol korup, di Pilkada langsung pun harus beli tiket untuk mendapatkan kursi ke Ketum Parpol. Pilkada oleh DPR-D juga kendalanya di moral pimpinan Parpol dan wakil rakyat yang mata duitan.
“Namun, dengan Pilkada oleh DPR-D, kita kurangi konflik sosial, hemat duit yang habis puluhan triliun tiap tahun untuk digunakan bangun industri pertanian, infrastruktur dan kesejahteraan rakyat,” jelasnya.
Menurutnya, mendesign sistem negara itu harus berdasarkan pada sejarah, geopolitik, budaya, filosofi dan tantangan yang akan dihadapi ke depan. Sistem negara tak bisa didesign berdasarkan pertimbangan teori demokrasi semata.
“Tak tepat juga medesign sistem negara berdasarkan pada trauma politik. Bangsa kita memang sedang menghadapi trauma akut terhadap Orla dan Orba,” (Web Warouw).