JAKARTA- Dalam suatu hubungan bisnis yang didasarkan adanya suatu perjanjian bisnis tertentu tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa antara para pihak yang berkepentingan, baik mengenai bagaimana cara melaksanakan klausula-klausula dalam perjanjian, apa isi perjanjiannya sendiri atau hal-hal lainnya. Jika terjadi perselisihan maka telah ada pula beberapa cara yang dapat dipilih untuk menyelesaikannya baik melalui negosiasi, mediasi, pengadilan atau arbitrase. Demikitan Director Executive Lembaga Kajian Hukum dan Bisnis, Maria Tanusuwiryo kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (2/3).
Ia menjelaskan bahwa Putusan Peninjauan Kembali itu bernomor 238 PK/PDT/2014 dan diketuk pada 29 Oktober 2014 terkait sengketa PT CTPI berisi, membatalkan dan menyatakan tidak sah keputusan RUPSLB dan menghukum PT Berkah Karya Bersama untuk mengembalikan keadaan CTPI seperti keadaan semula sebelum RUPSLB.
“Penyelesaian sengketa kepemilikan PT CTPI yang dilakukan PT Berkah Karya Bersama melalui lembaga arbitrasi memang berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Namun terhadap putusan arbitrasenya, pihak Siti Hardiyanti dapat mengajukan permohonan pembatalan karena putusan arbitrase yang menyatakan 75 % milik PT Berkah tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana tersebut dalam Pasal 70 UU No. 30/1999,” ujarnya.
Apalagi menurutnya dalam Pasal 70 Undang-undang Arbitrase tersebut tidak bersifat limitatif, telah diakui dan menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung. Dalam Putusan MARI No. 03/Arb.BTU2005 tanggal 17 Mei 2005, yang dalam halaman 20-nya menyatakan : “Bahwa kata “antara lain” tersebut memungkinkan Pemohon untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas alasan diluar yang tertera dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999; seperti halnya alasan kompetensi absolut yang dikemukakan oleh Pemohon.
“Dan permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalannya oleh pihak Siti Hardiyanti Rukmana dengan adanya putusan PK Mahkamah Agung yang menyatakan pengambilan Saham PT CTPI sebesar 75 persen oleh PT Berkah Karya Bersama dinyatakan melawan hukum atau illegal karena menyelengarakan RUPS illegal. sehingga menghadirkan dokumen palsu untuk memindahkan 75 persen Saham PT CTPI, secara melawan Hukum,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa Putusan PK Mahkamah Agung yang meyatakan pihak Harry Tanoe dari PT Berkah Karya Bersama telah melawan hukum diabaikan oleh arbiter dalam putusan yang telah dijatuhkan oleh para arbiter. Maka putusan arbiter akan di Batalkan Pengadilan negeri. Dalam pertimbangannya, pengadilan bisa mempergunakan Putusan PK MA sebagai unsur-unsur dalam Pasal 70 tersebut atau alasan-alasan di luar itu untuk menerima permohonan pembatalan Penetapan Putusan arbitrase yang menyatakan Kepemilikan 75 persen Saham PT CTPI oleh PT Berkah Karya Bersama serta membatalkan kewajiban Siti Hardiyanti Rukmana sebesar 510 milyar.
“Dengan posisi yang kurang menguntungkan bagi PT Berkah Karya Bersama sebagai bagian dari MNC Group Tbk. Tentu saja Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia tidak boleh mwmbiarkan. Karena Dengan berpindahnya Saham PT CTPI Kepada pihak Siti Hardiyanti Rukmana maka aset PT MNC Group Tbk akan berkurang dan investor Pemegang Saham MNC Group akan mengalami kerugian besar,” katanya.
Ia meminta, sebaiknya Otoritas Jasa Keuangan Dan Bursa Efek Indonesia menghentikan Perdagangan Saham MNC Group dengan Kode Saham MNCN .Untuk menghindari kerugian investor dan membangun kepercayaan investor asing terhadap perlindungan investor oleh OJK (Web Warouw)