Sabtu, 24 Mei 2025

PLTN Di Alaska: Dari PLT Bayu Momot-Meco Menuju Energi Nuklir

Rencana membangun PLTN di Alaska semakin mengemuka. Hal ini memberikan dorongan bagi Indonesia untuk mempercepat membangun PLTN Generasi Terbaru berikut Industri PLTN nya setelah memperoleh ijin/lisensi dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir National. Untuk kemungkinan juga menjual PLTN Indonesia ke Alaska dan negara-negara lain. Dr Kurtubi, Alumnus CSM, IFP, dan UI serta Anggota Dewan Pakar HIMNI – Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia menuliskan dari Alaska untuk pembaca. (Redaksi)

Oleh: Dr. Kurtubi

ALASKA merupakan Negara Bagian di Amerika Serikat (AS) yang sangat unik. Wilayah ini dibeli dari Rusia oleh AS dengan harga US$7.2 juta atau 2 Cent$/acre. Pembelian tersebut terjadi pada tahun 1867 melalui negosiasi oleh Menlu AS William Seward

Secara geografis Alaska terletak diujung utara benua Amerika berdekatan dengan Antarktika Kutub Utara yg sangat dingin.
Bulan Juni 2021 ini di Alaska sedang musim panas (summer) dimana siang harinya sangat panjang dan malam harinya sangat pendek. Tengah malamnya terang benderang. Sehingga Alaska dikenal juga dengan julukan “Alaska is Land of the Midnight Night Sun”.

Penduduk Alaska sekitar 700.000 orang, sangat heterogen, terdiri dari berbagai etnis group, agama dan warna kulit. Sebuah masjid baru saat ini sedang dibangun di Anchorage.

Jadwal waktu sholat terdengar aneh bagi muslim yang tinggal di wilayah tropis sekitar katulistiwa. Misalnya, waktu sholat Maghrib bulan Juni jatuh pada jam 23.50 tengah malam; Isya jam 0.55 pagi dini hari; Subuh jam 03.10 pagi, hanya sekitar 3 jam setelah waktu Isya.
Di musim dingin, siang harinya sangat pendek matahari kelihatan sekitar 4 jam.

Kondisi alam seperti inilah yang menyebabkan pengembangan Energi Terbarukan khususnya Energi Surya dan Energi Bayu punya Capacity Factor dan keekonomian yang rendah. Pemasangan panel tenaga surya (rooftop panel) hanya dilakukan di rumah/bangunan yg sangat terbatas. Sejauh ini PLTS tidak masuk hitungan dalam energy mix (bauran energi) Alaska. Sedangkan Energi Bayu sedikit lebih baik karena tiupan angin bisa terjadi dalam 24 jam .

Namun dari fakta dilapangan, di saat musim panas saat ini, terlihat bahwa kincir angin PLT Bayu yg ada di Anchorage dalam posisi momot meco ( bahasa Sasak Lombok, = diam tidak bergerak sama sekali, tidak dapat menghasilkan listrik).

Pengembagan energi surya dan energi bayu sulit untuk untuk bisa menggantikan/mengurangi peran energi fosil yan selama ini mendominasi sekitar 70% dari bauran energi di Alaska.

Struktur bauran energi yang mirip dengan Indonesia. Karena Alaska merupakan negara bagian AS penghasil migas dan batu bara yang cukup significant karena sekitar 44.2 % bauran energi Alaska berasal dari Gas; 14.8 % dari minyak dan 11.3 % dari batubara.

Wilayah Alaska juga banyak terdapat pegunungan dan sungai. Sehingga peran tenaga hidro sebagai sumber energi bersih, cukup significant dalam bauran energi Alaska yaitu sekitar 26.7%

Alaska merupakan wilayah yang terdampak langsung oleh kenaikan suhu bumi. Gleicer/ gunung es nya mencair semakin cepat. Namun sejauh ini Alaska masih sulit untuk mengurangi Gas Rumah Kaca kalau hanya mengandalkan Energi Terbarukan saja seperti hidro, energi surya dan energi bayu. Kalau Energi hidro jelas feasible secara ekonomi.

Tapi pengembangan Energi Surya dan Bayu punya tantangan besar karena selain bersifat intermitten juga sangat terbatas. Solusi yang secara ekonomi feasible bagi Alaska untuk mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca adalah dengan opsi membangun PLTN.

Tentunya PLTN dengan Teknologi terbaru, yaitu Generasi IV, yang jauh lebih effisien dan lebih aman dari Generasi sebelumnya. Tentu berikut kepastian Investor yang bersedia membangun dengan teknologi yang mutakhir tersebut.

Pengalaman Alaska yang rencananya akan dibangun PLTN Pertama, diluar PLTN untuk militer, dengan Toshiba type 4S pada tahun 2009 di kawasan Galina dipinggir Sungai Yukon ternyata tidak bisa terwujud sampai hari ini.

PLTN Toshiba type 4S tidak jadi diajukan perijinannya ke US Nuclear Regulatory Commission oleh Toshiba yang kemudian mengundurkan diri.

Belum jelas benar apakah hal tersebut terjadi karena Toshiba dan Pemerintah Negara Bagian Alaska belum memperoleh kesepakatan, atau karena faktor lain,– yang pasti hingga hari ini, di Alaska belum juga dibangun PLTN Pertama,–diluar PLTN untuk militer yang sudah tidak beroperasi lagi.

Mirip dengan Indonesia, PLTN Pertama di Semenanjung Muria gagal dibangun akibat dampak kecelakaan PLTN Fukushima ditahun 2011.

Solusi yang rational dan scientific untuk mengurangi Emisi
Gas Rumah Kaca dengan membangun PLTN tidak mudah untuk segera diterapkan. Karena terkait dengan politik pemerintahan masing-masing negara dibidang energi.

Pemerintahan Amerika Serikat dibawah Partai Demokrat, termasuk Presiden Obama misalnya, telah menyadari dan mengakui terjadinya perubahan iklim sebagai akibat kenaikan suhu bumi secara global. Sehingga dimasa Presiden Obama, AS menjadi bagian dan pendukung Paris Agreement on Climate Change.

Pemerintahan Partai Demokrat mendorong pembangunan pembangkit Energi Bersih Energi Baru dan Terbarukan (EBT), dan mengurangi Energi Fossil. Tetapi ketika pemerintahan di AS berganti ke Partai Republik, Presiden Trump kita ketahui telah mengambil kebijakan untuk keluar dari kesepakatan Paris Agreement sehinga AS merasa tidak terikat untuk menerapkan kebijakan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca.

Kini dibawah Presiden Biden dari Demokrat, AS kembali menjadi bagian dari masyarakat dunia untuk harus mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca.

Sebenarnya Alaska sudah menyadari sejak lama untuk perlunya membangun PLTN diluar PLTN untuk keperluan militer yang saat ini sudah tidak berfungsi. Seperti wacana yang berkembang dikalangan Akademisi Universitas Alaska di Fairbanks sejak tahun 1980an. Tapi hingga kini belum juga terwujud. Jalan panjang yang ditempuh oleh Alaska utk mewujudkan PLTN Pertama masih butuh waktu.

Dalam periode pemerintahan Presiden Biden, rencana pembangunan PLTN Pertama di Alaska ini punya peluang memperoleh dukungan dari Pemerintah Federal. Demikian juga dengan Indonesia yang sudah meratifikasi Paris Agreement on climate change menjadi UU No.16/2016.

Sekarang dengan adanya kemajuan Teknologi PLTN yang paling mutakhir (Generasi IV), sudah jauh lebih aman, lebih efisien dan lebih murah dari Teknologi PLTN sebelumnya.
Bahkan kini PLTN Berbasis Thorium Generasi IV Type MSR (molten salt reactor) misalnya, menjamin bahwa kecelakaan seperti yang terjadi di PLTN Fukushima, tidak akan terjadi.

Energi Nuklir yang bersih Non-Intermitten alias stabil menyala 24 jam, adalah merupakan jawaban yang logis dan scientific tidak hanya untuk mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca, tapi juga sekaligus mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi.

Kesimpulan

Karena PLT Bayu lebih banyak momot-meco di Alaska, sementara PLT Surya terhambat oleh minimnya sinar matahari, dan tidak terlaksananya rencana Toshiba untuk membangun PLTN type 4S non-militer Pertama di Alaska,–maka besar kemungkinan Alaska dengan dorongan demand yang kuat, pada akhirnya akan membangun PLTN yang paling tepat dari segi teknologi, kapasitas, keamanan dan biaya.

Sehingga Kebijakan Energi di Alaska pada akhirnya akan sejalan dengan Trend Dunia untuk mengurangi kenaikan suhu bumi dengan mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca.

Bahkan bila Indonesia bisa lebih cepat membangun PLTN GEN IV Pertama berbasis Thorium, dan sekaligus mendorong lahirnya Industri Nuklir di Indonesia. Bukan mustahil Indonesia akan mampu mengekspor PLTN GEN IV type MSR yang sudah jelas investornya, baik ke Alaska maupun ke negara-negara lain.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru