JAKARTA- Survei Indikator Politik Indonesia mencatat sebanyak 66,9 responden menyatakan tidak percaya Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan pemalsuan ijazah.
Data tersebut ditemukan Indikator ketika mensurvei tingkat kepercayaan publik atas kinerja lembaga negara dan pemberantasan korupsi yang turut mengusut kasus dugaan ijazah palsu Jokowi.
Dari survei yang dilakukan 75,9 persen responden survei mengaku mengetahui kasus dugaan ijazah Jokowi.
“Jadi yang tidak percaya Pak Jokowi memalsukan ijazah itu 66,9 persen dari semua responden,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, Selasa (27/5).
“Mayoritas pada dasarnya yakin Pak Jokowi tidak memalsukan ijazah, tapi ada sekitar 19 persen masyarakat yang percaya Pak Jokowi memalsukan ijazah,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan responden kasus ini dalam kategori basis partai menunjukkan ada 78,8 persen basis Partai Gerindra yang tidak percaya Jokowi telah memalsukan ijazah.
Lalu, di basis partai PDIP menunjukkan data sebesar 25,6 persen percaya Presiden ke-7 Indonesia itu telah memalsukan ijazah.
Sebelumnya Bareskrim Polri juga menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli. Polri juga sudah menyatakan menghentikan kasus laporan soal dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI itu.
Berikut rincian hasil survei Indikator.
Percaya Jokowi Memalsukan Ijazah
Sangat Percaya
Semua responden: 4,8%
Khusus yang tahu kasus dugaan ijazah palsu Jokowi: 5,0%
Percaya
Semua responden: 14,3%
Khusus yang tahu kasus dugaan ijazah palsu Jokowi: 13,7%
Kurang Percaya
Semua responden: 23,8%
Khusus yang tahu kasus dugaan ijazah palsu Jokowi: 24,7%
Tidak Percaya Sama Sekali
Semua responden: 43,1%
Khusus yang tahu kasus dugaan ijazah palsu Jokowi: 45,0%
Tidak Tahu/Tidak menjawab
Semua responden: 14,1%
Khusus yang tahu kasus dugaan ijazah palsu Jokowi: 11,6%
Bareskrim Hentikan Penyelidikan
Sebelumnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri secara resmi penghentian penyelidikan atas laporan dugaan penggunaan ijazah palsu oleh mantan Presiden Joko Widodo. Keputusan tersebut diumumkan setelah tim penyidik tidak menemukan unsur tindak pidana dalam perkara tersebut, yang dilaporkan oleh sekelompok masyarakat sipil.
Pernyataan penghentian penyelidikan kasus ijazah Jokowi ini disampaikan langsung oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Djuhandhani Rahardjo Puro dalam konferensi pers yang digelar pada Kamis, 22 Mei 2025.
“Sehingga perkara ini dihentikan penyelidikannya,” ujar Djuhandhani.
Laporan dugaan pemalsuan ijazah yang ditujukan kepada Jokowi dilayangkan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang diwakili oleh Eggi Sudjana. Laporan tersebut merujuk pada sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk Pasal 263, 264, dan 266, serta Pasal 68 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tuduhan yang diajukan berkisar pada dugaan pemalsuan dan penggunaan dokumen akademik yang tidak sah.
Namun setelah melakukan penyelidikan secara menyeluruh, termasuk memeriksa 39 orang saksi dan melakukan penelusuran di 13 lokasi berbeda di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti Rektorat, Fakultas Kehutanan, perpustakaan, dan arsip universitas, hasilnya penyidik tidak menemukan adanya indikasi terjadinya pelanggaran hukum.
Sebagai bagian dari proses klarifikasi, tim kuasa hukum Joko Widodo telah menyerahkan langsung dokumen ijazah asli kepada penyidik untuk dilakukan analisis forensik. Uji laboratorium kemudian dilakukan dengan membandingkan ijazah Jokowi dengan tiga dokumen sejenis milik teman-teman seangkatannya di Fakultas Kehutanan UGM.
Pengujian meliputi bahan kertas, sistem pengaman, teknik cetak, hingga tinta tanda tangan dan stempel resmi. Hasil uji forensik menyimpulkan bahwa seluruh unsur pada ijazah Jokowi identik dengan dokumen pembanding, bahkan map ijazahnya pun disebut sama dan telah mengalami penuaan yang wajar sebagaimana milik para pembanding.
Landasan Hukum Penghentian Penyidikan
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, penghentian suatu proses penyidikan oleh pihak kepolisian dituangkan dalam bentuk Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau yang lebih dikenal dengan singkatan SP3. Dasar hukum penerbitan SP3 secara eksplisit diatur dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan:
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Dengan demikian, terdapat tiga alasan utama yang secara hukum dapat menjadi dasar diterbitkannya SP3 oleh penyidik, yaitu:
1. Tidak cukupnya bukti untuk melanjutkan perkara ke tahap penyidikan lanjutan atau penuntutan;
2. Fakta-fakta yang ditemukan menunjukkan bahwa peristiwa yang diselidiki sebenarnya bukan merupakan tindak pidana;
3. Penyidikan tidak dapat dilanjutkan karena alasan hukum lainnya, misalnya kadaluarsa atau subjek hukum telah meninggal dunia. (Web Warouw)