JAKARTA- Langkah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengambil prakarsa yang seolah-olah menyelamatkan kemajemukan, secara normatif dapat dibenarkan, meskipun secara prinsip dapat saja dipersoalkan. Tetapi TNI bukanlah satu-satunya tempat bergantung, karena TNI adalah alat pertahanan. tugas utama merawat kemajemukan adalah tugas pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah. Karena itu Jokowi harus memimpin pemulihan kemajemukan yang terkoyak ini secara lebih komprehensif dan berkelanjutan. Demikian Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (2/12)
“Namun hal ini dapat dimaklumi karena elemen pemerintah dan partai politik gagal mengambil peran nyata mengatasi persoalan,” ujarnya.
Berbagai kecemasan dan ketegangan sosial menurutnya justru telah efektif digunakan oleh TNI sebagai cara untuk memupuk supremasi TNI di hadapan rakyat, bahwa seolah-olah TNI yang paling mampu mengatasi persoalan.
“sehingga memupuk legitimasi untuk TNI mengambil peran sosial politik lebih dari sekadar alat pertahanan,” jelasnya.
Langkah-langkah ini menurutnya adalah satu paket dengan keinginan TNI hadir dalam mengatasi berbagai aksi yang mengganggu keamanan dan terorisme yang merupakan domain institusi Polri.
Hendardi menjelaskan, ancaman terhadap kemajemukan bukan datang tiba-tiba tetapi dampak dari pengabaian para penyelenggara negara merumuskan kebijakan dan memberikan keteladanan yang kondusif bagi menguatnya keberagaman.
“Kita membutuhkan persatuan dan kesatuan yang genuine dan kokoh bukan sekedar seremonial persatuan dan kesatuan sebagaimana diprakarsai TNI 30/11 kemarin,” ujarnya.
Kamuflase prakarsa aksi semacam itu sesungguhnya menurutnya hanyalah obat penawar generik yang tidak akan memperkokoh kemajemukan sesungguhnya.
“Kerja merawat kemajemukan harus dimulai dari penegakan hukum atas mereka yang mengancam kemajemukan itu sendiri,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa tugas utama merawat kemajemukan adalah tugas pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah. Karena itu Jokowi harus memimpin pemulihan kemajemukan yang terkoyak ini secara lebih komprehensif dan berkelanjutan.
“Dan tidak membiarkan merebaknya bentuk dan prakarsa kelompok-kelompok tertentu mengibarkan persatuan dan kesatuan seremonial dan imitasi yang hanya menguras energi serta membuat bingung publik,” tegasnya. (Enrico N. Abdielli)