JAKARTA- Meskipun Presiden Joko Widodo sempat mengutarakan dalam berbagai pidatonya bahwa konflik agraria adalah masalah besar yang ia temui di setiap provinsi. Namun, konflik agraria belum mendapat prioritas untuk diselesaikan. Dibutuhkan kelembagaan atau unit khusus penyelesaian konflik yang bersifat adhoc di bawah presiden secara langsung, dengan menggunakan pendekatan transitional justice yang mengutamakan pemulihan dan pemenuhan hak-hak masyarakat korban konflik agraria. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (8/1).
“Tugas utama dari lembaga tersebut adalah melakukan konsolidasi data-data konflik agraria yang terjadi di masa lalu hingga kini, membuka pengaduan dari masyarakat secara kolektif, melakukan eksaminasi atas kasus-kasus konflik yang masuk, mengeluarkan rekomendasi penyelesaian dan mendorong pelaksanaan penyelesaian sesuai rekomendasi penyelesaian,” ujarnya.
Mengingat lembaga ini hanya bersifat adhoc, maka lembaga khusus ini juga menurutnya harus mendorong proses persiapan pembentukan peradilan agraria sebagai kamar tersendiri dalam lingkungan peradilan umum.
“Ke depan, proses penyelesaian konflik agraria yang baru dapat diselesaikan melalui peradilan agraria tersebut,” ujarnya.
Ego Sektoral
Dalam Catatan Akhir Tahun 2015 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) disebutkan Kehadiran Kementerian ATR/BPNRI yang seharusnya bisa menjadi leading-sector bagi proses penyelesaian konflik agraria ternyata tidak dapat dilakukan oleh kementerian ini. Ego sektoral juga masih kental terjadi dengan kementerian/lembaga lain yang terkait KLHK, Kemendagri, BUMN, Perhutani, dan sebagainya.
“Mandegnya penyelesaian konflik agraria di Indonesia dikarenakan tidak adanya kanal penyelesaian konflik yang efektif dan mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat sebagai pihak yang kerap dirugikan,” ujar Iwan Nurdin.
Memang selama ini usaha-usaha penyelesaian konflik agraria memang telah dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga negara (Kementerian ATR/BPN, KLHK, Komnas HAM, Ombusman hingga DPR RI), tetapi sangat sedikit sekali konflik agraria yang tuntas diselesaikan, hingga akumulasi konflik semakin meningkat.
“Di tengah minimnya kanal yang efektif, konflik agraria sering berujung di meja pengadilan dan diselesaikan dengan pendekatan yang formalistik. Dampaknya masyarakat kerap kehilangan hak haknya atas tanah,” ujarnya.
KPA menilai, kebijakan agraria nasional di Bawah Kepemimpinan Jokowi-JK Tahun 2015 berlalu tanpa tanda-tanda bahwa reforma agraria menjadi prioritas alih-alih dijalankan. Jika pemerintah berkomitmen kuat, tahun ini pemerintah seharusnya telah menyiapkan dengan baik sekaligus mengundangkan peraturan pelaksanaan reforma agraria. Sayangnya sampai di penghujung tahun, Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria yang dijanjikan belum juga diterbitkan.
“Bahkan, kami melihat pembahasan draft Perpres ini dilakukan secara tertutup di Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan RI (ATR/BPN-RI),” ujarnya
Beberapa kebijakan agraria selama tahun 2015 telah diterbitkan oleh pemerintahan Jokowi-JK melalui kementerian ATR ataupun melalui paket ekonomi dalam merespon perlambatan ekonomi. Secara garis besar, paradigma yang digunakan oleh pemerintah sepanjang tahun 2015 dalam kebijakan agraria tidak berubah dibandingkan era sebelumnya.
“Pendeknya, tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk merombak struktur agraria nasional yang selama bercirikan penguasaan mayoritas SDA oleh segelintir pihak baik perusahaan maupun perorangan, sementara mayoritas warga negara khususnya petani, nelayan dan masyarakat adat tidak bertanah,” tegasnya
252 Konflik
KPA mencatat, Sepanjang tahun 2015, sedikitnya telah terjadi 252 kejadian konflik agraria di tanah-air, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK).
“Sesungguhnya tahun 2015 adalah tahun paling krusial sebagai tahun pembuktian awal, apakah pemerintahan Jokowi-JK serius hendak menjalankan reforma agraria untuk mengatasi krisis agraria sesuai janjinya dalam “Nawa Cita”. Ataukah, reforma agraria kembali menjadi gagasan dan janji politik tanpa implementasi sebagaimana rezim yang lalu,” ujarnya.
Sepanjang 2015, konflik agraria telah mengakibatkan korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak aparat 39 orang, dianiaya/mengalami luka-luka sebanyak 124 orang dan mengalami kriminalisasi/ditahan sebanyak 278 orang. Meski dari sisi jumlah korban kekerasan dan kriminalisasi memang menurun dibandingkan 2014, namun masih adanya konflik agraria yang mengakibatkan hilangnya nyawa warga serta korban kekerasan fisik akibat tembakan peluru dan kasus-kasus penganiayaan menunjukkan bahwa pola-pola dan pendekatanpenanganan konflik agraria di bawah kepemimpinan Jokowi-JK masih belum berubah.
Dari sisi pelaku kekerasan, sepanjang 2015 didominasi oleh pihak perusahaan sebanyak 35 kasus, polisi sebanyak 21 kasus, TNI sebanyak 16 kasus, pemerintah 10 kasus, preman 8 kasus dan warga 3 kasus. Di tahun sebelumnya, polisi mendominasi tindakan kekerasan (34 kasus). Sementara TNI justru mengalami kenaikan signifikan sebagai pelaku kekerasan dalam penanganan konflik agraria, dari 5 kasus (2014) menjadi 16 kasus di tahun ini. (Web Warouw)