Diberitakan, Presiden Joko Widodo telah merestui rencana Menteri BUMN, Erick Thohir untuk melakukan Go Public 10-15 BUMN. Untuk klaster Energi, Minyak dan Gas IPO akan dilakukan pada PT Pertamina International Shipping, PT Pertamina Geothermal Energi, PT Pertamina Hulu Indonesia, PT Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan PT Pertamina Hilir. Kebijakan ini sebenarnya bertentangan dengan Konstitusi dan merugikan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Dr. Kurtubi, anggota DPRRI Fraksi Nasdem Periode 2014 – 2019, Alumnus Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole, Prancis dan Universitas Indonesia menuliskan alasannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Dr. Kurtubi
LANGKAH menjual, meski sebagian dari kepemilikan saham milik negara di Pertamina melalui initial public offering (IPO), merupakan langkah yang salah, melanggar konstitusi dan merugikan negara. Sehingga Serikat Pekerja Pertamina sebagai pihak yang mempunyai legal standing yang kuat, telah mengajukan perkara Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas rencana IPO Pertamina dengan: Perkara No.61/PUU-XVIII/2020. Hingga saat ini masih dalam proses perkara Judicial Review. Belum ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi.
Saya heran, kok Meneg BUMN sudah mengumumkan, seolah-olah perkara Judicial Review sudah diputuskan dan dimenangkan oleh KemBUMN. Padahal perkara atau proses Judicial Review di MK sedang berjalan dan belum ada keputusan.
Untuk diketahui, bahwa Undang-Undang BUMN No,19/2003 melarang BUMN PT Persero yang terkait dengan sumber daya alam (SDA) untuk diprivatisasi atau IPO.
Yang boleh diprivatisasi atau IPO adalah anak Perusahaan BUMN. Celah ini yang dimanfaatkan untuk memprivatisasi lewat IPO Pertamina dengan cara atau taktik merubah organisasi Pertamina. Menempatkan kegiatan usaha core business Pertamina yang terdiri atas Usaha Hulu (mencari dan memproduksikan migas) dan Usaha Hilir (mengolah minyak mentah menjadi BBM, menyalurkan dan menjual BBM ke seluruh Indonesia),– diubah menjadi kegiatan Anak Perusahaan (Subholding).
Dengan diubahnya status pengelolaan kekayaan alam migas yang berada di perut bumi menjadi kegiatan anak petusahaan yang di IPO sehingga penguasaan SDA migas diperut bumi tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Negara atau Pertamina harus berbagi baik dalam pengendalian perusahaan maupun dalam berbagi keuntungan atau deviden dengan shareholders.
Demikian juga dengan privatisasi sektor hilir yang merupakan cabang produksi penting bagi negara yaitu memproduksikan dan menjual BBM dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Dengan diciptakannya ana-anak perusahaan yang berbeda-beda atas Usaha Hulu, Usaha Hilir, Usaha Kilang, Usaha Niaga, Usaha Transportasi migas maka prinsip perusahaan Minyak yang terintegrasi dari hulu ke hilir menjadi hilang dan diganti dengan perusahaan-perusahaan dengan struktur unbundling yang tidak efisien dan merugikan negara dan rakyat.
Selain penciptaan anak-anak Perusahaan yang terpisah berakibat lenyapnya Status Natural Monopoly Pertamina sebagai struktur perusahaan atau industri yang paling efisien, lebih efisien dari struktur perusahaan pasar persaingan dan hanya dilakukan oleh perusahaan negara untuk dapat mencapai tujuan pengelolaan SDA Migas dan BBM yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Langkah yang diambil untuk meng-IPO-kan Pertamina dapat dilihat sebagai kelanjutan dari keinginan IMF dalam ‘memaksa’ Pemerintah RI mengganti UU No. 8/1971 dengan UU Migas No. 22/2001 sewaktu terjadi krisis moneter tshun 1998. ( Kurtubi)
Sebelumnya, saya sudah sarankan, jika IPO Pertamina bertujuan agar Pengelolaan Pertamina menjadi lebih transparan dan akuntabel,– maka tidak perlu dengan langkah kebijakan yang melanggar Konstitusi dan merugikan negara dengan memprivatisasi atau IPO menjual saham Pertamina.
Seharusnya, tujuan itu bisa dicapai dengan jalan,– NON-LISTED PUBLIC COMPANY,–yaitu IPO dengan tidak menjual 1 lembar sahampun ke publik. Tetapi Pertamina tetap berkewajiban melaporkan kegiatan-kegiatan usahanya dan laporan Keuangannya ke pasar modal sebagai layaknya Perusahaan Go Public biasa.
Sedangkan bila tujuan IPO adalah untuk memperoleh DANA untuk pengembangan usaha, BUKAN juga dengan Go-public lewat IPO. Melainkan bisa dilakukan dengan MENGEMBALIKAN KUASA PERTAMBANGAN (KP) dari ESDM kembali ke Perusahaan Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang.
Lewat KP di tangan Perusahaan Negara, maka kepercayaan industri migas dunia dan kepercayaan lembaga keuangan dunia terhadap Pertamina menjadi sangat besar. Sehingga Pertamina bisa memperoleh sumber dana besar dengan bunga MURAH tanpa MEMBUTUHKAN GOVERNMENT GUARANTEE. Ini fakta pengalaman waktu Pertamina membutuhkan dana besar miliaran dollar untuk membangun kilang LNG Arun, Aceh tanpa pakai dana APBN 1 sen pun. Kepercayaan yang sama kembali diperoleh Pertamina waktu menbangun Kilang LNG Badak di Bontang, Kalimantan Timur.
Sementara kalau KP di tangan Kementerian ESDM atau BP MIGAS atau SKK MIGAS) tidak ada sama sekali manfaat finansial bagi negara. Karena ESDM atau BPMIGAS atau SKK MIGAS tidak ELIGIBLE untuk melakukan aksi bisnis, seperti membangun kilang, menjual migas dan lain sebagainya.