JAKARTA- Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konsitutisi menyesali putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN ) tentang pengangkatan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi dalam Mahkamah Konstitusi adalah keliru.
“Putusan ini justru tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan perbaikan kerja Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini diajukan ketika pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida tidak disertai dengan proses yang transparan dan partisipatif, yang secara jelas melanggar Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi,” demikian Erwin Natosmal Oemar dari Indonesia Legal Roundtable kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (15/7).
Ia mengingatkan bahwa hasil putusan PTTUN ini berkaitan dengan independensi MK ke depannya, terutama dalam masa pilpres. Perlu menjadi perhatian kita bersama bahwa beberapa hakum MK punya afiliasi dengan parpol dan capres tertentu. Putusan ini tidak bisa dilihat sebagai kepentingan Penggugat saja (Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK), tapi harus dilihat sebagai kepentingan publik, karena putusan PTTUN ini berdampak bagi publik secara luas, dan merupakan preseden yang buruk.
“Dalam pertimbangannya, Hakim PTTUN membedakan konsep kepentingan dengan legal standing para penggugat. Hal ini jelas tidak berdasar, karena menurut teori dan beberapa literatur yang ada, legal standing dan kepentingan penggugat adalah satu kesatuan dan tidak bisa dianggap terpisah. Dalam pertimbangannya, hakim mengakui legal standing para penggugat, tapi tidak menemukan kepentingan Penggugat terhadap Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Patrialis Akbar sebagai Hakim MK,” ujarnya.
Pemisahan antara legal standing dengan kepentingan ini menurutnya berimplikasi pada gugatan-gugatan kepada PTUN ke depannya oleh masyarakat sipil, seolah-olah jika tidak ada kepentingan langsung, tidak bisa mengajukan gugatan ke PTUN. Padahal dapat terjadi masyarakat dirugikan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif, tapi bisa dimentahkan hanya karena tidak punya kepentingan langsung.
Kasasi
Sementara itu, Jeremiah Limbong dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menegaskan bahwa sikap koalisi sudah jelas, sebagai Penggugat putusan PTTUN ini akan dibawa ke tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, dan pendaftarannya akan dilakukan dalam minggu ini.
“Ada kekhawatiran putusan PTTUN ini merefleksikan demokrasi yang semakin mundur, karena ada upaya pembungkaman partisipasi publik,” tegasnya.
Bahrain dari YLBHI juga mengatakan bahwa partisipasi publik menjadi terganggu akibat putusan PTTUN. Peran publik itu jelas untuk mengawasi penyelenggaraan negara, kalau aksesnya ditutup karena dianggap tidak memiliki kepentingan langsung, potensi pembungkaman publik menjadi besar.
“Konsep partisipasi publik sebenarnya diatur pula dalam hukum pidana. Seorang yang menyaksikan atau mengetahui dugaan tindak pidana dapat melapor kepada aparat penegak hukum sebagai bentuk partisipasi publik, dan konsep yang sama juga berlaku dalam konteks ini. Jika ruang partisipasinya justru ditutup, lalu di mana fungsi partisipasi dan pengawasan oleh publik?” ujarnya.
Menurutnya putusan ini bisa jadi kemunduran demokrasi, apalagi dalam momentum pilpres ini, ada upaya-upaya untuk melindungi kepentingan tertentu. Beberapa Hakim MK misalnya, diketahui memiliki afiliasi dan merupakan perwakilan parpol.
“Politik transaksional menjadi sangat rawan terjadi manakala MK tidak disterilkan dari kepentingan-kepentingan Parpol atau kelompok tertentu, dan putusan PTTUN ini tidak merefleksikan keinginan untuk membersihkan MK dengan serius,” jelasnya.
PTTUN Keliru
YLBHI, Elsam, ILR, ICW, PIL-NET, PuKAT UGM, LBH Jakarta yang tergabung dalamKoalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi atas Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 telah dilakukan pada 12 Agustus 2013 dan dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur pada 24 Desember 2014. Melalui Putusan Nomor 139/G/2013/PTUN-JKT, Majelis Hakim PTUN memutuskan bahwa Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida menjadi Hakim Konstitusi, bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam pertimbangannya, PTUN menyebutkan bahwa ada inkonsistensi penerapan asas transparan dan partisipatif dalam pemilihan Hakim Konstitusi. Pada 2008 misalnya, masyarakat sipil melalui Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMUK), diminta untuk berpartisipasi dalam pemilihan Hakim Konstitusi, namun hal yang sama tidak dilakukan pada pemilihan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati. Menurut Pengadilan, hal tersebut memiliki kekurangan yuridis karena tidak memenuhi Pasal 19 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Tergugat I (Presiden) dan Tergugat II Intervensi (Patrialis Akbar) kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Melalui Putusan Nomor 55/B/2014/PT.TUN.JKT, PTTUN pada pokoknya, mengabulkan permohonan banding para Tergugat, dan membatalkan Putusan PTUN Nomor 139/G/2013/PTUN-JKT. Hal ini tentu perlu dikritisi, terutama karena terdapat pertimbangan Pengadilan yang bertentangan satu sama lain, dan tidak memperhatikan dengan cermat hal-hal yang termaktub dalam Pertimbangan Putusan PTUN.
Pada intinya, terdapat 4 (empat) hal dalam pertimbangan Hakim PTTUN yaitu, (1) PTTUN mengakui legal standing badan hukum ICW dan YLBHI sebagai penggugat; (2) PTTUN menganggap ICW dan YLBHI sebagai penggugagt tidak memiliki kepentingan pribadi, karena kepentingan para penggugat belum dapat dibedakan dari kepentingan pihak lain; (3) Penggugat tidak mengalami kerugian langsung dari objek sangketa (Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida menjadi Hakim Konstitusi); (4) Undang-Undang MK tidak mengatur hak gugat Organisasi Masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Atas hal tersebut, Koalisi menganggap bahwa Hakim PTTU telah keliru memberikan putusan terhadap permohonan banding Tergugat. Hal ini dikarenakan:
1. Hakim membedakan antara kepentingan penggugat dengan legal standing penggugat. Hal ini keliru karena bicara tentang legal standing, secara langsung juga berbicara tentang kepentingan penggugat atas objek sangketa ini. Jika PTTUN telah mengakui legal standing penggugat, mempertanyakan kepentingan penggugat menjadi bertentangan dengan pertimbangan PTTUN terhadap legal standing pengugat. Hal ini menunjukkan PTTUN tidak sepenuhnya paham tentang hubungan langsung legal standing dengan kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan atas objek sangketa.
2. Terkait dengan kerugian langsung yang tidak diderita oleh Penggugat, hakim telah keliru memberikan pertimbangan. Hal ini sudah lama menjadi perdebatan, namun telah pula ada yurisprudensi yang menguatkan legal standing Organisiasi Masyarakat dalam mengajukan gugatan di PTUN. Putusan yang memenangkan Walhi dalam gugatan melawan Presiden RI pada 1994 menunjukkan bahwa dapat terjadi kepentingan yang digugat ke PTUN bukan kepentingan pribadi organisasi masyarakat, melainkan mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak. Artinya, manifestasi kepentingan organisasi masyarakat dapat dilihat dari kerugian yang diderita oleh masyarakat umum, bukan semata kerugian organisasi masyarakat.
3. Ketika hakim PTTUN berpikiran sempit bahwa peran serta masyarakat harus diatur secara tegas dalam undang-undang, dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung hakim PTTUN yang memutuskan perkara ini membenarkan praktik korupsi yang terjadi di Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana kita ketahui, karamnya MK karena ulah Akil Mochtar beberapa waktu, disebabkan buruknya transparansi dan partisipasi publik dalam proses seleksi. Artinya, jika logika ini dipertahankan: tidak adanya partisipasi publik dalam proses seleksi, maka hakim yang memutus perkara ini menggangap bahwa kasus korupsi di MK beberapa lalu adalah kasus pidana biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan publik. Cara berpikir semacam ini secara tidak langsung melegitimasi ruang koruptif praktik -praktik pemerintahan dan seleksi jabatan publik di masa mendatang.
Berdasarkan hal tersebut, maka Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa putusan PTTUN adalah keliru dan tidak berdasar. Untuk itu, kami akan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi dilakukan untuk memperjuangkan kepastian hukum dan konsistensi negara dalam menyelenggarakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dan memberikan jaminan atas partisipasi masyarakat sipil dalam penyelenggaraan negara maupun pemilihan Pejabat Publik atau Penyelenggara Negara. (Enrico N. Abdielli)