Derek Manangka, Wartawan Senior mantan Harian Sore Sinar Harapan, sempat menulis dalam CATATAN TENGAH, Selasa 21 Mei 2018 yang diunggah dalam akun facebooknya dan dimuat Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Derek Manangka
Dari kiri ke kanan Agus Harymurti Yudhoyono (Putra SBY), Puan Maharani (Putri Megawati Soekarnoputri), Yeni Wahid (Putri Abdurrahmawan Wahid/Gus Dur) dan Ilham Bintang (Putra BJ Habibie).
SEMALAM, saya dikirimi sahabat di WA, foto ‘Empat Anak Bekas Presiden Pasca Reformasi’, seperti yang dilampirkan di bagian bawah artikel ini.
Dari kiri ke kanan Agus Harymurti Yudhoyono (Putra SBY), Puan Maharani (Putri Megawati Soekarnoputri), Yeni Wahid (Putri Abdurrahmawan Wahid/Gus Dur) dan Ilham Bintang (Putra BJ Habibie).
Foto itu tanpa teks. Kepada si pengirim, melalui telpon saya bertanya : “Apa maksudnya ini Mid?”
Mid adalah pangggilan akrabku kepada Hamid Basyaib, seorang bekas wartawan harian Islam “Republika”, si pengirim foto tersebut.
“Silahkan tafsirkan sendiri”, jawabnya enteng.
“Wartawan Senior koq gak bisa membaca peta situasi melalui foto”, sindirnya, sambil memutus sambungan.
Merasa ‘malu’ dengan sindirian itu, saya hubungi Mohammad Yamin, sahabatnya.
Hamid dan Yamin merupakan aktifis 1998 dan bersahabat kental. Setidaknya selama 20 tahun terakhir ini, Hamid dan Yamin sudah seperti kembaran.
Keduanya alumni UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta.
Sebagai alumni UII, sebuah sekolah tinggi pertama milik pribumi – bukan oleh non-pribumi (penjajah Belanda) yang didirikan di Jakarta lebih dari 70 tahun lalu oleh Soekarno, pandangan Hamid dan Yamin adalah nasionalis.
Sesuai sejarah, UII merupakan perguruan tinggi nasional yang mengajarkan dan mengedepankan filosofi “religious nasionalis” atau “nasionalis religious”.
Itu sebabnya dosen-dosen awal dari UII semuanya direkrut dari merekan yang berpaham nasionalis dan religious.
UII akhirnya berdomisili di Yogyakarta, itu disebabkan oleh faktor sejarah.
Ketika prasasti UII baru ditandatangani Presiden Soerkarno di Jakarta, tak lama kemudian ibukota NKRI terpaksa pindah ke Yogyakarta.
Bahwasanya belakangan UII mulai berubah ‘warna’, bergeser dari apa yang dialami Hamid dan Yamin, hal ini merupakan sebuah perkembangan ataupun fenomenal.
Tapi untuk melihat bagaimana sebetulnya “doktrin sejati UII”, bisa diukur dari pandangan-pandangan Prof. Machfud MD.
Machfud yang mejabat Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur, saat ini dikenal sebagai aktifis/advokat pembela pluralisme dan nasionalisme.
Hamid dan Yamin kemudian tercatat sebagai ‘anak didik’ Taufiq Kiemas, politisi PDIP, yang terakhir menjabat Ketua MPR-RI (1999 – 20013). Dan juga dikenal pejuang nasionlis dan pluralisme.
Dalam kenyataan hidup, kami bertiga menjadi sahabat karena “Faktor Taufiq Kiemas”.
Almarhum Taufiq Kiemas bagi kami adalah guru tentang nasionalisme dan pluralisme.
Bang TK, demikian kami menyapanya, merupakan kakak atau abang yang tidak sedarah, tetapi memperlakukan kami seperti adik kandungnya sendiri.
Tak satupun dari kami bertiga yang tidak pernah menerima hadiah dari Bang TK – sebagai sebuah simbol tentang kedekatan hubungan kami.
Dan yang melekat di jiwa kami adalah keinginannya melihat Indonesia sebuah negara besar sebagaimana dicita-citakan oleh Proklamator Bung Karno.
Keluarga besar itu harus dari berbagai suku.
Oleh sebab itu, saya tiba-tiba seperti disadarkan oleh Hamid bahwa Puan Maharani, yang ada di dalam foto tersebut adalah keluarga kami. Keluarga Indonesia !
Dia putri kesayangan abang kami, Bang TK yang sudah almarhum.
Sayapun mengakui, selama 4 tahun Puan Maharani menjadi Menteri, anggota Kabinet Presiden Joko Widodo, saya tak pernah menghubunginya.
Saya tak pernah memberinya masukan diminta ataupun tidak diminta – sebagaimana saya lakukan kepada ayahnya almarhum.
Puan dibully, akibat dari sebuah pernyataannya, saya diam saja. Saya biarkan, seolah saya tak tahu apa yang dirasakannya.
Ayah Puan memang sosok politisi yang sulit tergantikan. Dia tidak pernah marah sekalipun pandangan orang lain bertolak belakang dengan keinginan bahkan hati nuraninya.
Yang penting kepentingan itu berbasis Kebangsaan dan persatuan Indonesia.
Bang TK tak ragu mengubah pendirian atau sikapnya, sepanjang argumentasinya logis dan tidak direkayasa.
Ia percaya bahwa setiap manusia, punya sisi positif. Dan sisi itulah yang harus dieksploitir.
Bagi almarhum benar harus diakui benar, salah pun begitu.
Saya mau cerita sedikit tentang kebijakan TK tentang Puan.
Tahun 2010, sekitar sebulan sebelum Kongres PDIP di Bali, TK memanggil Pramono Anung, Sekjen PDIP yang saat itu merangkap Wakil Ketua DPR-RI.
Bang TK sebagai Ketua MPR-RI, berkantor di satu gedung dengan Pramono Anung di Gedung DPR/MPR-RI Senayan.
Bang TK di lantai Sembilan, Pramono di lantai Tiga.
“Mas Pram, tolong diamankankan posisi Mbak Puan yah. Dia kita mau jadikan sebagai Wakil Ketua Umum”, ujar Bang TK setelah Pramono hadir di ruang kerjanya di lantai Sembilan.
Pramono menjawab “siap bang”.
Tapi sekitar seminggu menjelang Pertemuan Bali, Bang TK marah-marah sambil menuding. Katanya ada yang menyabot agendanya.
Saya yang kebetulan hadir di situ dan waktu Bang TK “memberi perintah” kepada Pramono Anung.
Melihat itu saatnya saya ikut campur, saya pun berusaha menenangkannya. Bang TK kemudian mempersilahkan saya bicara.
“Saya koq berbeda yah bang. Saya tidak percaya yang abang tuduh merusak agenda menjadikan Puan sebagai Wakil Ketua Umum adalah si itu, si anu atau si polan”.
“Saya bukan anggota partai dan saya hanya membaca melalui ‘ilmu’ yang abang bagikan”
“Cobalah evaluasi, apakah Pramono Anung, tidak patut abang jadikan dia sebagai Wakil Ketua Umum? Lebih pantas dia dong dari pada Puan”.
“Dan saya melihat dengan keputusan Pramono melepas keanggotaannya dulu di DPR karena fokus pada posisi Sekjen partai, itu sebuah pertanda ia kelak ingin jadi orang nomor satu di PDIP. Nah sekarang dengan Puan mau abang jadikan dia sebagai Wakilnya mbak Mega, yah sudah…. Pramono pasti kecewa…”
Wajah Bang TK kelihatan berubah. Dia kemudian perintahkan saya mengirim SMS ke Pramono Anung.
“Isinya bagaimana bang?”, tanyaku
“Yah tulis sendiri lah”, jawabnya
Sebelum mengetik SMS untuk Pramono – sekarang Menteri Sekretaris Kabinet Presiden Joko Widodo , saya tambahin:
“Lagian, apa pantas Mbak Mega sebagai Ketum dan Puan sebagai Waketum….”, Bang TK hanya diam.
Saat Bang TK mau sholat siang, saya pamit meninggalkan ruang kerja.
Kesokan harinya telpon genggam saya berdering. Salah seorang ajudan Bang TK, menyampaikan pesan bahwa saya harus ikut Kongres PDIP di Bali.
“Tiket dan uang saku, nanti diganti di Bali. Hotel, usahakan cari kamar yang tidak jauh dari Bali Beach. Setiba di Bali harus kontak Pak TK”.
Di tahun 2010 itu saya memang tidak terikat di media manapun. Sehingga tawaran fasilitas dari politisi senior itu saya terima tanpa beban.
Bahkan setiba di Bali, bang TK mengajak makan di sebuah restoran di Ubud.
Dari Ubud kami berkeliling Bali dengan konvoi yang dikawal mobil patroli pakai sirine.
Hasil Kongres Bali akhirnya berubah. Tidak ada pos Wakil Ketua Umum dan Sekjen Pramono digantikan Tjahjo Kumolo, sekarang Mendagri.
Dalam suasana rileks Bang TK bercerita tentang tidak mudahnya bagi dia menjadikan Puan sebagai seorang politisi.
Tapi karena sudah menjadi tekadnya, apapun yang harus dihadapi bang TK, tekad itu barus terrealisir.
“Persoalan yang tidak mudah, mungkin karena Puan tidak sefleksibel seperti abang. Puan agak kaku bahkan cenderung arogan”, ujarku menyela.
Bang TK mengalihkan pandangannya keluar, kemudian berucap :
“Ah kalau kelakuannya seperti itu pasti bukan serpihan dari darahku. Dan kau jangan ikut-ikutan nyalahin Puan. Kalau perlu kau perlakukan dia seperti Pingkan, anak perempuanmu”, ujar Bang TK.
Semalam ucapan almarhum ayah Puan, seperti berngiang di pendengaran saya.
Saya juga melihat Puan seperti sedang menjalankan keinginan alamarhum Bang TK. Yaitu merangkul semua kekuatan.
Jangan menunggu dirangkul
Apapun alasannya, harus diakui pengaruh dan kekuatan SBY, Gus Dur dan Habibie dalam percaturan politik nasional dewasa ini masih ada.
Kekuatan Indonesia itu secara sosiologi berdiaspora di kubu-kubu bekas Presiden itu.
Sekecil apapun, kekuatan itu tetap bermanfaat.
Manfaatnya pasti positif dan akan lebih besar bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, bila ada yang bersedia merawatnya.
Merawat dengan tujuan rekonsiliasi. Bukankah lebih baik berrekonsiliasi dari pada berseteru ?
Para anak bekas bekas Presiden pasca reformasi ini, bisa menjadi inisiator pelopor rekonsialiasi bangsa.
Dan bangsa Indonesia memerlukan sebuah kepeloporan yang patut diteladani.
Yang perlu diteladani itu, upaya dan usaha mempersatukan bangsa. Bukan sebaliknya. Memecah belah.
Pilkada serentak Juni 2018 apalagi Pilpres 2019, semuanya butuh persatuan.
Bravo anak-anak bekas Presiden. Kalian pantas menjadi pemersatu.
Semoga Tuhan melihat perbuatan tulus yang kalian sudah mulai.