JAKARTA – NATO sedang menyusun rencana baru ke Rusia. Ini terkait kemungkinan perang antara kedua belah pihak, di tengah kekhawatiran global akan munculnya perang dunia 3 (PD3).
Sejak tahun lalu, anggota blok militer pimpinan AS itu sudah sepakat untuk menyiapkan 300.000 tentara yang siaga untuk dikerahkan. Mereka, mengutip RT dan Kyiv Independet yang melansir The Telegraph, bakal mengambil posisi di sepanjang “koridor darat” di Eropa Barat jika terjadi perang dengan Rusia.
Saat ini para pemimpin NATO dilaporkan tengah berupaya memastikan aliran pasukan di sejumlah pelabuhan.
Kendaraan lapis baja AS misalnya, akan mendarat di salah satu dari lima pelabuhan di Belanda, Yunani, Italia, Turki atau Norwegia dan kemudian melakukan perjalanan melalui koridor darat ke negara-negara NATO yang berbatasan dengan Ukraina.
“Rute utama bagi pasukan Amerika jika terjadi perang dengan Rusia adalah melalui pelabuhan Rotterdam di Belanda ke Jerman dan Polandia,” kata laporan itu.
“Koridor alternatif dari Italia, Yunani, dan Türkiye masing-masing akan melewati Slovenia dan Kroasia ke Hongaria dan melalui Bulgaria dan Rumania. Ada juga rencana untuk melibatkan Norwegia, Swedia, dan Finlandia untuk logistik cadangan,” tambahnya.
Koridor darat ini diyakini akan menghambat gerakan pasukan dan kendaraan lapis baja Rusia. Sehingga, jika perang terjadi mereka akan terjebak di perbatasan.
Rencana NATO sebelumnya hanya mengizinkan pasukan AS mendarat di Rotterdam di Belanda, namun pengalaman Ukraina dalam melakukan serangan rudal jarak jauh sejak peluncuran invasi skala penuh telah mendorong pemikiran ulang.
Memperluas jumlah pelabuhan dan memiliki banyak koridor darat berarti jika salah satu pelabuhan terkena dampak, maka pelabuhan lain masih dapat digunakan.
“Semuanya diciptakan sedemikian rupa sehingga ada ketahanan yang diperlukan – ketahanan, cadangan, dan juga redundansi,” kata kepala Komando Pengaktifan Dukungan Gabungan NATO, Letjen Alexander Sollfrank, mengatakan kepada The Telegraph.
Eropah Lemah
Meski begitu, kekhawatiran tetap ada mengenai kemampuan pertahanan udara NATO yang diperlukan untuk melindungi pasukan saat mereka bergerak melintasi Eropa. Lebih dari dua tahun setelah Rusia melancarkan perang besar-besaran terhadap Ukraina, merujuk sumber Financial Times (FT), kemampuan pertahanan udara sayap timur NATO hanya 5% dari jumlah yang diperlukan untuk mencegah serangan.
“Anggota NATO yang berlokasi di Eropa Tengah dan Timur telah mempublikasikan rencana dalam beberapa pekan terakhir untuk meningkatkan pertahanan udara kolektif mereka dalam menanggapi ancaman Rusia,” muat FT.
“Menurut sumber yang tidak disebutkan namanya … kemampuan pertahanan udara sayap timur NATO saat ini masih jauh dari memadai,” jelasnya.
Merujuk Bloomberg, peringatan bahwa Rusia dapat menyerang NATO dalam waktu dekat dilaporkan semakin mendesak dalam beberapa bulan terakhir. NATO disebut hanya memiliki waktu dua hingga tiga tahun untuk persiapan.
“Pada satu titik ada yang mengatakan bahwa dibutuhkan waktu 10 tahun (sebelum Rusia menyusun kembali kapasitas serangannya), namun saya pikir kita kembali ke waktu kurang dari 10 tahun karena basis industri yang kini beroperasi di Rusia,” kata jenderal tertinggi Norwegia, Erik Kristoffersen.
AS dan sekutunya telah lama mengklaim bahwa Rusia dapat menyerang NATO. Rusia sendiri telah membantah memiliki niat tersebut di mana pemerintah Presiden Vladimir Putin menuduh pemerintah Barat menciptakan ancaman palsu untuk menipu rakyatnya terkait konflik di Ukraina.

Putin Warning
Sementara itu kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pemerintah Presiden Rusia Vladimir Putin buka suara perihal izin yang diberikan Amerika Serikat (AS) kepada Ukraina untuk menggunakan senjata buatannya menyerang wilayah kedaulatan Rusia.
Pandangan Moskow disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov.
Ryabkov memperingatkan AS terhadap potensi ‘konsekuensi fatal’ jika mengizinkan Kyiv mengerahkan senjata yang dipasok AS terhadap sasaran di Rusia. Menurutnya, hal ini bisa memberikan dampak yang sangat serius.
“Saya ingin memperingatkan para pemimpin Amerika terhadap kesalahan perhitungan yang dapat berakibat fatal. Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, mereka meremehkan keseriusan balasan yang mungkin mereka terima,” paparnya Selasa (4/6/2024).
Ryabkov juga mencatat bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin telah berulang kali membahas topik ini. Ia juga menggemakan kembali pernyataan Putin yang menyebut akan memberikan peringatan yang sangat signifikan bila hal ini tetap dilakukan.

“Saya mendesak tokoh-tokoh ini (di AS) … untuk meluangkan sebagian waktu mereka, yang tampaknya mereka habiskan untuk beberapa jenis video game, dilihat dari ringannya pendekatan mereka, untuk mempelajari apa yang dikatakan secara rinci oleh Putin,” kata Ryabkov lagi dimuat Reuters.
“Putin telah menyampaikan peringatan yang sangat signifikan dan harus ditanggapi dengan sangat serius”, tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengkonfirmasi lampu hijau dari Washington kepada Ukraina untuk menyerang teritori Rusia dengan senjata buatannya. Hal ini terjadi setelah Kyiv terus menderita serangkaian kekalahan di medan perang dan juga serangan di wilayah Kharkiv.
“Ciri dari keterlibatan kami, dukungan kami terhadap Ukraina selama lebih dari dua tahun ini adalah beradaptasi dan melakukan penyesuaian seperlunya untuk memenuhi apa yang sebenarnya terjadi di medan perang, untuk memastikan Ukraina mendapatkan apa yang dibutuhkannya, ketika dibutuhkan,” kata Blinken pada sebuah konferensi pers di Praha, Jumat.
“Selama beberapa minggu terakhir, Ukraina mendatangi kami dan meminta izin untuk menggunakan senjata yang kami sediakan untuk mempertahankan diri dari agresi ini, termasuk melawan pasukan Rusia yang berkumpul di perbatasan Rusia dan kemudian menyerang Ukraina,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakui persetujuan AS ini dalam konferensi pers di Swedia pekan lalu. Menurutnya, hal ini merupakan poin yang sangat penting dalam membela warga Ukraina yang tinggal di garis depan.
“Saya pikir, ini adalah langkah maju menuju tujuan yang telah kita diskusikan sebelumnya: untuk memberikan kemungkinan membela masyarakat kami yang tinggal di desa-desa sepanjang garis perbatasan, dan itu saja. Untuk hari ini, itu saja,” katanya.
Dengan pemberian izin ini ini, AS menjadi negara setelah Jerman dan Prancis yang memberikan lampu hijau bagi Ukraina untuk menyerang Rusia dengan senjata buatannya. Sebelumnya, dua negara Eropa itu telah memberikan izin bagi Ukraina untuk terbatas menyerang pangkalan dan fasilitas militer Rusia.
Ukraina sendiri akhir-akhir ini sedang menderita deretan kekalahan teritorial dari Moskow. Terbaru, Rusia kembali berhasil merebut wilayah di sekitar kota Donetsk dan Avdiivka.
Kekalahan Ukraina ini tiba saat penantian Ukraina lima bulan akan datangnya bantuan dari AS akhirnya membuahkan hasil. Parlemen Negeri Paman Sam akhirnya menyetujui bantuan militer senilai US$ 61 miliar (Rp 987 triliun).
Diketahui, Washington dan sekutunya dalam aliansi NATO terus memberikan bantuan persenjataan kepada Ukraina. Mereka juga mencap aksi Rusia dalam menyerang tetangganya itu merupakan sesuatu yang ilegal.
Seorang pejabat NATO mengatakan bahwa keunggulan Rusia tak lepas dari kemampuan Negeri Beruang Putih untuk memproduksi senjata dalam jumlah besar. Jumlahnya bahkan lebih besar daripada senjata yang diberikan AS dan NATO.

Ancaman PD 3 Sejengkal?
Di sisi lain, Wakil Direktur Pertama dan Kepala Dinas Perbatasan Federal Security Service (FSB) Rusia, Jenderal Vladimir Kulishov, menyebut ada peningkatan aktivitas pengintaian dan latihan tempur pasukan NATO saat ini. Bos intelijen itu juga menyebut ada latihan yang mensimulasi serangan nuklir ke Rusia.
“Situasi ini memerlukan pengambilan langkah-langkah yang tepat untuk melindungi dan mengamankan perbatasan kita,” tegas Kulishov pekan lalu.
Pernyataan Kulishov ini muncul di tengah arahan Presiden Putin untuk melakukan latihan yang melibatkan penempatan senjata nuklir taktis. Moskow menyebut ada ancaman nyata dari Barat.
Akhir pekan kemarin, Rusia juga siap mengambil langkah ekstra dalam bidang pencegahan nuklir jika AS mengerahkan rudal jarak menengah dan pendek di Eropa dan Asia. Hal itu diutarakan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov kepada kantor berita negara RIA dalam sebuah wawancara.
Pengerahan semacam itu sebelumnya telah dilarang berdasarkan Perjanjian Pasukan Nuklir Jarak Menengah (INF) tahun 1987 dengan Rusia. Namun pada 2019, AS telah menarik Rusia setelah mengatakan bahwa Moskow melanggar perjanjian tersebut, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Kremlin.
Ancaman ini kian memperkuat sinyal Perang Dunia 3 yang kian mendekat. Sebelumnya, Pakar kebijakan luar negeri Rusia, Fyodor Lukyanov, menyatakan bahwa PD3 sebenarnya telah dimulai bukan dengan konflik global yang dengan cepat meningkat menjadi perang nuklir tapi dalam bentuk serangkaian konflik regional. (Web Warouw)