Oleh: Victor Rembeth*
ADALAH sebuah kebetulan yang direncanakan ketika peringatan Hari Rabu Abu yang dilaksanakan kebanyakan umat Kristen terlaksana pada saat Pemilu Serentak Republik Indonesia 2024. Dalam segala keseruan PEMILU itu hadir pula sebuah bumbu yang menambah adrenalin para pemilih, yaitu peluncuran sebuah film documenter berjudul “DIRTY VOTE”. Masa Tenang tetiba menjadi penuh dengan gemuruh, yang bahkan bisa melampui masa kampanye, dengan hadirnya gelegar film kontroversial.
Ya, film itu menjadi kontroversi untuk yang diuntungkan maupun yang dirugikan. Serta merta tim sukses paslon Presiden memberikan komentar menolak atau menyetujui konten kritis film tersebut. Isinya yang berusaha mengungkap cara cara pemenangan pemilu dengan berbagai cara yang merupakan kumpulan data dan fakta menjelang coblosan menjadi acuan yang bisa mempengruhi pemilih. Sudah tentu semua pihak berhak setuju atu tidak dengan isinya, namun informasi yang diberikan bukanlah berbasis gossip atau hoax.
Judul Dirty Vote yang diterjemahkan sebagai “Pemungutan Suara Jorok” adalah upaya mengungkapkan kemungkinan penggunaan cara cara yang mengabaikan nilai nilai demokrasi yang memberikan kesetaraan kepada semua pemilih. Segala cara terindikasi dipakai untuk menghalalkan hasil akhir dengan mengabaikan etika, moral dan konstitusi. Pembuat film membawa kepada semua pemirsa kisah yang merupakan pengulangan sepanjang Sejarah manusia untuk sebuah pertarungan mendapatkan kekuasaan bahkan ketika sistem demokrasi sudah diterapkan.
Pertarungan yang ujungnya mencari pengaruh dan pembenaran untuk sebuah legitimasi kekuasaan yang disajikan Dirty Vote sangat pas dengan kisah RABU ABU. Dalam Rabu Abu umat Kristen memperingati sebuah kisah kejahatan kolektif manusia yang secara demokratis elektoral sah untuk menghukum seorang yang tak bersalah, Yesus dari Nazareth. Menurut Alkitab (Matius 27:20-21) para pemilih dengan suara bulat memutuskan membunuh Yesus dengan menyalibkanNya dan membebaskan seorang kriminal bernama Barabas. Sebuah konspirasi sempurna membebaskan yang salah dan menghukum yang tidak salah dengan proses pengambilan suara yang jorok.
Kejahatan kolektif yang seakan benar secara poses demokrasi elektoral tersebut sejatinya berdampak pada praktik kekuasaan yang menghalalkan segala cara . Kolaborasi penguasa jahat dengan pemimpin agama (Yahudi) yang terusik karena popularitas tokoh pembaharu bernama Yesus membuat mereka mencari cara untuk sebuah Dirty Vote, atau pengambilan suara jorok. Cara itu agar dapat sebuah pembenaran untuk membunuh orang tak bersalah, menggunakan “suara rakyat” untuk mempertahankan kekuasaan dengan praktik nir nilai dan amoral.
Kisah dengan esensi “pseudo demokrasi” tersebut masih terus berulang setelah kisah pengambilan suara membunuh Yesus dalam kisah sengsara yang diperingati umat Kristen. Para diktator kerap memakai cara yang sama untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan buruk mereka. Ada Adolf Hitler yang mampu memenangkan pertarungan “demokrasi” untuk kemudian menjadi monster haus darah yang menakutkan. Indonesiapun pernah merasakan proses demokrasi Orde Baru yang menghasilkan kekuasaan Rezim Suharto yang penuh dengan persoalan HAM, kekerasan dan penindasan warganya.
Dirty Vote yang ditayangkan menjelang Pemilu bertepatan dengan Hari Rabu Abu adalah pengingatan sekaligus peringatan. Kekuasaan selalu rentan dengan persoalan menghalalkan segala cara. Rabu Abu membuat semua umat Kristen masuk dalam suasana prihatin untuk menyadari bahwa kisah sengsara Kristus dalam pengadilan tak adil masih bisa dan sudah terulang dalam figur kekuasaan yang dzolim. Setiap perenung Kristen yang memahami bahwa Yesus tidak perlu disalib berulangkali seharusnya bisa mengatakan tidak kepada praktik kotor untuk memilih yang buruk. Tidak untuk Dirty Vote. Jangan lagi ada kekejaman atas nama demokrasi dan kekuasan jahat.
Kendati ada nada sendu perihnya Rabu Abu yang disandingkan dengan Pemilu 2024 kalau Dirty Vote itu benar, namun pemilih masih mempunyai harapan Harapan itu adalah ketika 14 Februari adalah juga hari Cinta Kasih. Dengan Cinta kejahatan bisa direduksi, karena Kitab Suci mengatakan, “ Ia (Cinta) menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”. Diperlukan pelaku Cinta yang mau melawan semua kejahatan bukan dengan Pedang, tetapi dengan cinta tulus untuk hadirnya nilai, etika dan moral kebangsaan yang bermartabat.
Revolusi Cinta diperlukan untuk keberlangsungan bangsa ini. Rabu Abu mengingatkan umat Kristen akan kejamnya kekuasaan yang menghalalkan segala cara, dan Dirty Vote menjadi kisah perlunya setiap orang mengambil Keputusan berdasarkan Nurani. Vox Populi Vox Dei adalah harapan kita semua. Semoga 14 Februari 2024 akan menjadi tonggak Sejarah Bangsa unuk hadirnya inspirasi perenungan Rabu Abu untuk sebuah Pemilu bermartabat dalam perlawanan berbasis Kejahatan kolektif yang seakan benar secara poses demokrasi elektoral tersebut sejatinya berdampak pada praktik kekuasaan yang menghalalkan segala cara . Kolaborasi penguasa jahat dengan pemimpin agama (Yahudi) yang terusik karena popularitas tokoh pembaharu bernama Yesus membuat mereka mencari cara untuk sebuah Dirty Vote, atau pengambilan suara jorok. Cara itu agar dapat sebuah pembenaran untuk membunuh orang tak bersalah, menggunakan “suara rakyat” untuk mempertahankan kekuasaan dengan praktik nir nilai dan amoral.
Kisah dengan esensi “pseudo demokrasi” tersebut masih terus berulang setelah kisah pengambilan suara membunuh Yesus dalam kisah sengsara yang diperingati umat Kristen. Para diktator kerap memakai cara yang sama untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan buruk mereka. Ada Adolf Hitler yang mampu memenangkan pertarungan “demokrasi” untuk kemudian menjadi monster haus darah yang menakutkan. Indonesiapun pernah merasakan proses demokrasi Orde Baru yang menghasilkan kekuasaan Rezim Suharto yang penuh dengan persoalan HAM, kekerasan dan penindasan warganya.
Dirty Vote yang ditayangkan menjelang Pemilu bertepatan dengan Hari Rabu Abu adalah pengingatan sekaligus peringatan. Kekuasaan selalu rentan dengan persoalan menghalalkan segala cara. Rabu Abu membuat semua umat Kristen masuk dalam suasana prihatin untuk menyadari bahwa kisah sengsara Kristus dalam pengadilan tak adil masih bisa dan sudah terulang dalam figur kekuasaan yang dzolim. Setiap perenung Kristsn yang memahami bahwa Yesus tidak perlu disalib berulangkali seharusnya bisa mengatakan tidak kepada praktik kotor untuk memilih yang buruk. Tidak untuk Dirty Vote. Jangan lagi ada kekejaman atas nama demokrasi dan kekuasan jahat.
Kendati ada nada sendu perihnya Rabu Abu yang disandingkan dengan Pemilu 2024 kalau Dirty Vote itu benar, namun pemilih masih mempunyai harapan Harapan itu adalah ketika 14 Februari adalah juga hari Cinta Kasih. Dengan Cinta kejahatan bisa direduksi, karena Kitab Suci mengatakan, “ Ia (Cinta) menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”. Diperlukan pelaku Cinta yang mau melawan semua kejahatan bukan dengan Pedang, tetapi dengan cinta tulus untuk hadirnya nilai, etika dan moral kebangsaan yang bermartabat.
Revolusi Cinta diperlukan untuk keberlangsungan bangsa ini. Rabu Abu mengingatkan umat Kristen akan kejamnya kekuasaan yang menghalalkan segala cara, dan Dirty Vote menjadi kisah perlunya setiap orang mengambil Keputusan berdasakan Nurani. Vox Populi Vox Dei adalah harapan kita semua. Semoga 14 Februari 2024 akan menjadi tonggak Sejarah Bangsa unuk hadirnya inspirasi perenungan Rabu Abu untuk sebuah Pemilu bermartabat dalam perlawanan berbasis Revolusi Cinta, walaupun ada indikasi Dirty Vote yang masih mengganggu. Walahuallam Bissawab.
Selamat memilih, merayakan cinta dan merenung Rabu Abu untuk kebaikan semua Cinta, walaupun ada indikasi Dirty Vote yang masih mengganggu. Walahuallam Bissawab.
Selamat memilih, merayakan cinta dan merenung Rabu Abu untuk kebaikan semua
*Penulis Victor Rembeth, Rohaniwan-Aktifis Kemanusiaan