Oleh : Ubaidillah Achmad*
Para pendusta agama, adalah individu dan atau masyarakat yang mengabaikan pendampingan terhadap kaum lemah. Karenanya, janganlah menjadi individu yang menekan pihak lemah dan jangan menjadi masyarakat yang bersikap anarkis atau main hakim sendiri.
Â
Pada bulan ramadlan, jangan ada pembubaran warung kaum lemah yang buka di siang hari. Mereka ini mencari nafkah tidak merugikan orang lain. Negara hanya boleh menindak jika mereka merugikan orang lain dan mengganggu ketertiban umum. Fungsi risalah kenabian, adalah untuk mengingatkan umat manusia, bukan untuk memaksakan keberagamaan umat, karena tidak ada yang boleh memaksa keberagamaan umat manusia.
Al Qur’an mengingatkan manusia melalui Nabi Muhammad, agar tidak memaksakan terhadap pihak-pihak yang berbeda  keyakinan. Di dunia, manusia bebas memilih di antara dua pilihan: pertama, sesuai dengan perintah Allah. Kedua, mengabaikan perintah Allah. Sehubungan dengan kedua perintah ini, hanya Allah yang berhak mengadili keberagamaan manusia. Bahkan, mereka yang banyak amal kebaikan pun tidak boleh bergantung pada amal kebaikannya, karena belum tentu Allah menerima amalnya.Â
Karena itu, surga dan neraka bukan hak mereka yang merasakan sudah beramal dan menjalankan ajaran Islam. Surga dan neraka, adalah hak Allah. Inilah alasan mengapa sebaiknya hati hati dengan amal kebaikannya, karena bisa jadi tidak diterima Allah dan tidak menjamin kehidupan akhiratnya. Yang dapat menjamin kehidupan akhirat hanyalah rahmat Allah.
Prinsip risalah kenabian ini, seharusnya menjadi renungan beberapa organisasi Islam radikal dan beberapa pejabat yang sedang merasa sebagai penjaga agama pada bulan ramadlan, namun salah sasaran. Mengapa salah sasaran, karena menambah sedih mereka yang lemah di satu sisi, dan di sisi yang lain menguntungkan para pemilik restauran dan mal mal penjual jajan dan minuman di bulan Ramadlan. Ini artinya, khusus bulan rumadlan yang bebas makan dan berjualan hanya mereka yang sudah kaya. Para musafir dan pekerja berat tidak ada kesempatan makan di warung yang murah. Para penjual non pajak dan yang tidak punya sertivikat halal juga tidak boleh berjualan di siang bulan ramadlan, namun bagi restauran dan mal-mal atau Alfamart boleh berjualan.Â
fenomena ketidakadilan ini menunjukkan, bahwa kalangan Islam radikal telah menjadi alat neoliberal untuk menghabisi masyarakat kecil dan tokoh agama yang menentang siatem kerja neoliberalisme. Muslim pencitraan ini menikmati kue kapital dengan tega membubarkan pedagang kaki lima atau kaum lemah yang berada dipinggiran jalan, namun membiarkan restauran dan mal-mal beroperasi. Hal ini merupakan bentuk dukungan diam-diam kelompok islam radikal kepada para pemodal. Sementara itu, adanya kejahatan kemanusiaan yang menjadi musuh agama Islam menjadi terabaikan.
Sehubungan dengan sikap sok agamis ini tidak mengukur kebenaran sebagai acuan gerakan, namun hanya didasarkan  pencitraan simbolis keberagamaan. Sedangkan, adanya kesempatan melawan neoliberal, mereka absen dari perjuangan. Isu besar yang membuat tidak terlihat batang hidung gerakan Islam radikal, adalah perang melawan kejahatan kemanusiaan dan perang melawan neoliberalisme. Sangat menyedihkan, karena mereka berbicara Islam, namun melawan orang yang justru menjadi sasaran pendampingan agama Islam. Sebaliknya, membiarkan leluasa neoliberalisme.
Fenomena ini, pernah mucul pada zaman Nabi Muhammad, yaitu orang yang suka mencitrakan sok agamis, namun realitasnya absen bersama masyarakat menegakkan prinsip kebenaran kemanusiaan, absen terlibat memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terkebiri penguasa dan pengusaha, absen dari ibadah ritual maupun sosial. Sikap keberadaan sok agamis ini lebih menonjolkan isu konflik keberagamaan, namun mengabaikan masyarakat lemah yang terjerat model “kong kalikong” yang melibatkan kerjasama tiga unsur kapital, berupa penguasa, pengusaha, dan borjuis. Ironis memang, sebab harus bersikap agamis tanpa melawan musuh sejati agama Islam.
*Penulis adalah penulis Buku Islam Geger Kendeng, mengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang