Oleh: Ambassador Freddy Numberi*
BEN Blend dalam tulisannya berjudul ‘Man of Contradictions’ mengatakan: “Jokowi’s inner contradictions are in many ways, an embodiment of the contradictions inherent in modern Indonesia’s 75 years of history.
The country is still struggling to answer foundational questions about basis of economy, the political system, and the role of Islam in the state and society.”
(Joko Widodo and the Struggle to remake Indonesia, Lowy Institute, Australia, 2020:h.83)
“Kontradiksi batin Jokowi, dalam banyak hal, merupakan perwujudan dari kontradiksi yang melekat dalam 75 tahun sejarah Indonesia modern. Negara ini masih berjuang untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang basis ekonomi, sistem politik, dan peran Islam dalam negara dan masyarakat.” (terjemahan bebas)
Berbagai masalah yang menerpa masyarakat Papua, seolah telah melahirkan suatu keadaan “paradoksial” di Tanah Papua yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Papua kaya tapi miskin (kaya akan sumber daya alam, tapi miskin penghasilan);
(2) Papua besar tapi kerdil (wilayah Tanah Papua amat besar, tapi penduduknya kerdil dalam produktivitas dan daya saing);
(3) Papua bebas tapi terjajah (bebas dalam hal politik setelah reformasi, tapi terjajah secara ekonomi);
(4) Papua kuat tapi lemah (kuat dalam tindakan “anarkisme”, tapi lemah dalam menghadapi tantangan globalisasi);
(5) Papua itu indah tapi jelek (indah dalam alam maupun potensinya, namun jelek karena korup dalam pengelolaannya).
(Dimodifikasi dari B. J. Habibie, The Power of IDEAS, Jakarta, 2018:h.172)
Situasi paradoksial tersebut terjadi karena seolah-olah kita menderita “penyakit orientasi” yaitu wawasan tentang kebijakan, strategi dan program yang sejatinya kita laksanakan untuk meningkatkan produksivitas, daya saing maupun ekonomi kerakyatan masyarakat di Papua tidak kita laksanakan dengan baik dan benar, sehingga melemahkan Orang Asli Papua (OAP) secarah menyeluruh.
“Penyakit orientasi” yang di maksud adalah:
- Lebih mengandalkan SDA (Sumber Daya Alam) dari pada SDM (Sumber Daya Manusia)-nya;
- Lebih orientasi jangka pendek dari pada jangka Panjang (mentalitas “uang”);
- Lebih mengutamakan citra dari pada karya nyata;
- Lebih mengutamakan makro ekonomi dari pada mikro ekonomi;
- Lebih mengandalkan “cost added” dari pada “value added” (more comperative dari pada competitive);
- Orientasi pada necara perdagangan tidak pada neraca jam kerja;
- Kita lebih suka “jalan pintas” (korupsi, kolusi, dll) dari pada kejujuran dan kebajikan;
- Kita lebih menganggap jabatan (power) itu penting sebagai tujuan dari pada sebagai sarana mencapai tujuan dalam melayani sebagai suatu amanah.(Ibid, hal.173)
Untuk itu dubutuhkan suatu Rancangan Teknokratik Pembangunan di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) yang dapat meningkatkan taraf kehidupan Orang Asli Papua (OAP) menjadi lebih baik di bawah Leadership Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Rancangan Teknokratik ini meliputi:
1.Penghasilan masyarakat Papua dapat bertumbuh baik, karena:
- Transformasi strukturalnya baik.
- Produktifitas masyarakat meningkat .
- Iklim investasi mendukung (kondusif).
2.Kesejahteraan masyarakat Papua juga meningkat, karena:
- Kualitas hidupnya lebih baik.
- Disiplin dan beradab.
- SDM-nya berkualitas dan berdaya saing.
- Indeks kesejahteraan juga meningkat.
3. Keadilan juga tercapai, karena:
- Kemiskinan menurun
- Distribusi pembangunan baik dan merata.
- Penegakan Hukum berjalan sebagaimana mestinya (pelanggaran HAM berkurang dan pemberantasan korupsi digalakan).
4. Berkelanjutan (sustainable) dengan cara:
- Memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan (tidak merusak lingkungan).
- Sejalan dengan agenda nasional maupun global.
Dengan catatan memperhatikan Antropologi Budaya serta karakteristik lokal masyarakat setempat dan bersifat Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable (THISS).
Pendekatan keamanan yang selama ini membuat masyarakat Papua resah dan banyak menelan korban harus diubah menjadi Pendekatan Keamanan Manusia sesuai United Nations General Assembly (UNGA) resolusi nomor 41/128 tanggal 4 Desember 1986 yang sejalan dengan Peraturan Presiden nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Semoga ini semua dapat mengubah “memoria passionis” (ingatan penderitaan) menjadi “memoria felicitas” (ingatan kebahagiaan) di Tanah Papua, sebagai suatu Legacy dari Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Jakarta, 2 November 2021
*Penulis, Ambassador Freddy Numberi adalah Founder Numberi Center.