Selasa, 19 Agustus 2025

Ratusan Izin Tambang Kuasai Laut Kepulauan Riau

Oleh: Yogi Eka Sahputra *

IZIN-IZIN TAMBANG mengancam pulau-pulau kecil dan laut di Kepulauan Riau (Kepri). Laman geoportal minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) memperlihatkan, ratusan konsesi tambang kuasai laut di provinsi berjuluk ‘segantang lada’ ini.

Merujuk peta yang terpampang di laman itu, lokasi tambang tersebar di berbagai wilayah perairan kabupaten/kota. Mulai dari Batam, Bintan, hingga Karimun. Ada sekitar 115 izin yang pemerintah pusat dan daerah keluarkan dengan luas konsesi 132.000 hektar lebih.

Berdasar data yang Mongabay kumpulkan, Kabupaten Karimun menjadi lokasi dengan Wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) paling banyak. Kemudian, Bintan dan Batam. Izin-izin tambang itu pemerintah keluarkan untuk timah dan pasir laut.

Muhammad Darwin, Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kepri, tak mengelak izin-izin tambang di wilayah laut itu. Namun, jumlahnya tak sebanyak temuan Mongabay.

Sampai saat ini, katanya, ada 112 izin tambang, darat maupun laut. Dari jumlah itu, 43 masih aktif, termasuk sembilan izin aktif di Karimun, puluhan lainnya belum beroperasi.

Dari sembilan izin tambang laut yang aktif itu, lanjut Darwin, tujuh perusahaan, dua izin pertambangan rakyat (IPR) untuk pasir laut.

“Pertambangan di laut Kepri tersebut sebenarnya sudah terdapat dalam aturan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil),” katanya.

Menurut Darwin, dokumen RZWP3K itu telah menetapkan ruang tangkap nelayan, ruang konservasi dan alur pelabuhan, termasuk ruang tambang. Secara substansial, juga telah mendapat persetujuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Ruang-ruang itu sudah disepakati semua. Nelayan juga sudah tahu sebelumnya, sudah disetujui. Jadi izin (tambang) yang berada di laut itu berada dalam wilayah ruang yang sudah disepakati bersama,” katanya.

Dia memastikan pembagian ruang laut di RZWP3K itu sudah melewati konsultasi publik. Bahkan dia berkeliling ke tujuh kabupaten kota di Kepri.

Kendati sudah final, dokumen itu belum mendapat pengesahan sampai sekarang karena harus terintegrasi dengan tata ruang di darat.

“Sedangkan tata ruang darat masih dalam proses pembentukan, tahapnya sekarang sedang direvisi. Kalau yang RZWP3K sudah tidak akan berubah.”

Darwin bilang, dokumen RZWP3K hanya mengatur peruntukan tata ruang. Untuk teknis perizinan, mengacu pada ketentuan pertambangan. Yang pasti, katanya, sampai saat ini, belum ada konsesi tambang laut yang beroperasi.

Catatan KESDM, sebagian besar tambang laut masih tahap eksplorasi. Hanya ada lima perusahaan kantongi izin produksi, namun belum bisa beroperasi karena belum mendapat persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKPRL) dari KKP. “Kalau tidak ada PKRPL tidak bisa operasi.”

Klaim KESDM hanya ada lima pemegang IUP produksi di perarian Kepri bertolak belakang dengan data yang Mongabay himpun. Hasil rekapitulasi pada laman MODI tercatat ada 15 lebih perusahaan yang mengantongi IUP produksi untuk pasir laut, pasir kuarsa, hingga timah. Lokasi-lokasi tambang itu berada di Perairan Kundur, Perairan Moro, Karimun.

Kapal tongkang membawa hasil tambang di perairan Kepri. (Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia)

Nelayan Menolak

Distrawandi, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Riau, sempat mendapat sosialisasi jelang pembahasan RZWP3K. Ssaat pembahasan hingga draf final, mereka tidak terlibat. HNSI pun tak mengetahui detil alokasi ruang laut di Kepri.

Kalau pada akhirnya dokumen itumengalokasikan begitu banyak wilayah pertambangan di laut, dia tak sepakat. Menurut dia, pemberian izin itu hanya akan menimbulkan dampak yang lebih besar. Baik secara ekonimi maupun ekologis.

“(Tambang pasir laut) itu jelas kami tidak setuju karena kajian mereka dengan apa yang terjadi di lapangan berbeda jauh, bisa saja pelaku penambang pasir laut melakukan eksplorasi gila-gilaan,” katanya.

Alasan itu pula yang membuat dia dan para nelayan protes keras atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi.

“Syukurnya MA sudah memutuskan melarang ekspor pasir laut yang terdapat di PP 26 itu, jadi melemahkan kekuatan investor untuk tetap melakukan pengambilan sedimentasi laut,” ucap Wandi.

Dia katakan, secara umum, kondisi pesisir dan laut Kepri sedang tidak baik-baik saja. Laut tertimbun, reklamasi , perusakan di mana-mana. Dia hampir putus asa dengan sikap pemerintah yang terus membiarkan kerusakan terjadi.

Dengan nada satir, dia pun meminta pemerintah berterus terang bila memang menghendaki alam dan lingkungan di Kepri rusak.

“Bahasa kami begitu saja sekarang, kalau mau kita rusakkan sama-sama, jangan yang merusakkan orang di luar Kepri, sementara kami para nelayan hanya menerima dampaknya. Kalau tidak mau merusak, mari perbaiki bersama-sama,” katanya.

Wandi kerap mengadvokasi nelayan terdampak kerusakaan yang terjadi. Apalagi setelah ada Undang-undang Cipta Kerja, setiap pelaku perusakan tinggal membayar denda administrasi, setelah itu bisa beroperasi kembali.

Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, Jatam sejak awal berpandangan, tambang pasir laut telah menciptakan daya rusak yang begitu besar khususnya bagi ekosistem pesisir. Apalagi di Kepri masih terdapat puluhan WIUP, meskipun belum beroperasi.

Pembongkaran pasir laut akan memicu perubahan air menjadi keruh, hingga kerusakan terumbu karang yang merupakan habitat ikan. Rusaknya habitat ikan tentunya juga akan berdampak pada ruang hidup nelayan, yang akan menyebabkan para nelayan untuk kesulitan dalam mendapatkan ikan.

Secara hukum, komoditas tambang pasir laut merupakan galian tambang yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah provinsi setelah adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55/2022 Presiden Joko Widodo terbitkan.

“Namun, pendelegasian ini tidak diartikan, bahwa pemerintah provinsi memiliki kebebasan penuh dalam menetapkan suatu kawasan untuk menjadi konsesi tambang tanpa memperhatikan daya rusak yang akan ditimbulkan, seperti kerusakan ekosistem laut yang bisa berdampak pada pemiskinan masyarakat nelayan,” kata Alfarhat, kepada Mongabay, 24 Juli 2025.

Dia bilang, putusan Mahkamah Agung menjadi preseden bahwa ruang laut tidak boleh jadi tambang dengan alasan apapun, karena akan memicu kerusakan dengan eskalasi yang begitu luas.

Darwin mengakui, tambang pasir laut di perairan Kepri akan berdampak kepada lingkungan, namun itu perlu dikendalikan agar risiko kerusakan itu tak terlalu parah. Dia mendorong ada sinkronisasi antara aturan di KKP dan KESDM.

Dia menyinggung terkait bedanya aturan KKP dan KESDM untuk pemanfaatkan pulau-pulau kecil, semestinya kedua aturan itu bisa mereka sinkronkan.

“Nanti dalam tahapan pembentukan tata ruang lanjutan, ada namanya tahapan lintas sektor, hal seperti ini harus dibicarakan disitu, apakah dikunci dengan aturan KKP atau ESDM, boleh tambang tapi bersyarat, misalnya.”

Peta WIUP dan IUP tambang. di laut Kepri. Foto: tangkapan layar geoportal ESDM

Perebutan Ruang Laut

Awal Juni 2025, Mahkamah Agung membatalkan Pasal 10 PP 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut karena berisiko merusak lingkungan dan bertentangan dengan UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan. Pasal ini membuka kembali praktik eskpor pasir laut yang sebelumnya terlarang.

Parid Ridwanuddin, peneliti kelautan Yayasan Auriga Nusantara menilai, ratusan konsesi tambang di laut Kepri adalah bukti lain penguasaan wilayah perairan (ocean grabbing) oleh korporasi, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Tangerang. Kendati pun penguasaan itu dalam bentuk konsesi tambang, tetapi memiliki implikasi yang sama; membatasi akses para nelayan.

Menurut dia, praktik perampasan laut memiliki tiga kategori. Pertama, melalui perumusan regulasi bermasalah karena tidak berbasis pada kepentingan lingkungan dan masyarakat. Kedua, merampas akses masyarakat yang selama ini berlangsung. Ketiga, berdampak pada kualitas sosial ekologi.

Dari identifikasi itu, penguasaan laut melalui penetapan WIUP dan penerbitan IUP masuk dalam definisi dimaksud. Sebab, berbekal dokumen izin yang dia kantongi, korporasi atau perusahaan merebut akses terhadap laut yang selama inii masyrakat miliki.

“Pemegang konsesi berkuasa penuh atas konsesi yang diterimanya, membatasi ruang gerak nelayan. Padahal, laut yang menjadi ruang publik, seharusnya bebas akses untuk semua orang, termasuk nelayan. Akan tetapi, hadirnya konsesi-konsesi itu menjadikan ruang gerak nelayan menjadi terbatas.”

Dengan konsesi yang hampir memenuhi perairan di laut Kepri, kata Parid, secara otomatis, menjadikan ruang tangkap nelayan terbatas. Belum lagi dampak dari aktivitas tambang laut itu, yang menurut Parid tidak hanya merusak ekosistem, tetap membuat biota laut hilang. Jika sudah begitu, pendapatan nelayan pasti akan turun. “Ini sama saja membunuh nelayan pelan-pelan.”

Kepri merupakan provinsi kepulauan yang berbatasan langsung dengan negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan juga Laut China Selatan. Dengan wilayah laut yang lebih luas ketimbang daratannya, membaca persoalan tambang di sana tidak bisa sama dengan persoalan serupa di provinsi lain.

“Maka, cara melihatnya harus dengan kacamata geopolitik. Artinya, kita menempatkan apapun yang dikeruk, akan memaksa nelayan melaut lebih jauh hingga ke perbatasan negara lain karena perairan mereka telah rusak. Tahun lalu, sekitar 23 nelayan bahkan tertangkap oleh otoritas negara lain lantaran kedapatan menangkap ikan di luar zona negaranya.

“Jadi, lebih berbahaya karena memaksa nelayan melaut sampai ke perbatasan. Ini yang tidak terjadi di provinsi lain. Dan ini yang akan terjadi jika lau di Kepri dikeruk untuk tambang.”

Hal lain yang tak kalah penting adalah ancaman terhadap sumber pangan. Menurut Parid, Kepri termasuk pemasok terbesar sumber pangan laut di region Sumatera. Namun, status itu bakal terancam bila tambang-tambang di laut diteruskan.

Parid mendesak kementerian ESDM membatalkan WIUP dan izin-izin tambang yang ada di perairan Kepri itu. Selain merusak ekosistem, kehadiran izin-izin itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

“Pasal 35 UU tersebut tegas melarang adanya penambangan pasir laut, lalu pasal 73 yang mengatur soal pemberian sanksinya. Ini juga tidak sejalan dengan semangat pemerintah untuk mendorong ekonomi biru.”

Kapal tongkang membawa hasil tambang di perairan Kepri. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.

Yonvitner, ahli kelautan IPB University tak bisa membayangkan dampak kerusakan yang bakal terjadi akibat massifnya tambang-tambang di perairan Kepri itu. Terlebih lagi, area yang terkavling untuk tambang tersebut masih berada pada zona 12 mil -yang jadi area tangkapan nelayan kecil. “Meski kewenangan (izin tambang) itu ada pusat, Kepri seharusnya menolak dengan tidak memasukkan ke RWZP3K,” jelasnya.


*Penulis Yogi Eka Sahputra adalah seorang jurnalis yang konsern pada perubahan iklim, perempuan, dan isu-isu masyarakat pesisir. 

Artikel ini dimuat ulang Bergelora.com dari Mongobay.co.id

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru