Oleh: Maria Pakpahan *
HARI ini saya membaca email-surat yang masuk dan salah satunya membuat saya harus menuliskan artikel ini.
Kalimat di atas “Rekonsiliasi hanya mungkin dengan kebenaran dan keadilan, tidak dengan melupakan” kalimat yang saya jadikan judul adalah kata-kata yang diucapkan oleh President negara Chili, Gabriel Boric yang juga menjelaskan kerjanya untuk menginvestigasi kematian dan hilangnya ribuan (jelas lebih dari seribu orang tidak jelas keberadaan dan nasib mereka) warga Chilli dijaman pemerintahan diktatorial Jendral Pinochet.
Lebih jauh lagi Presiden Boric juga berujar bagaimana dengan kesepakatan yang dipahami dengan serius dan keyakinan mendalam hal ini tidak bisa dan boleh terulang lagi. Penting dan menarik karena peristiwa yang dimaksud terjadi 47 tahun silam, tahun 1976 namun President Chili memimpin investigasi, memastikan agar hal ini tidak dilupakan, investigasi tetap dilakukan.
Membaca hal ini, tentu saja membawa ingatan ke masalah dimana saat rakyat biasa hilang dan mati cenderung dilupakan.
Ini urusan penting yang terus mengganjel. Ya saya bicara soal hilangnya kawan-kawan yang secara personal ku kenal, ada yang akrab, ada yang hanya bertemu sekali dua kali. Mulai dari Widji Thukul yang bisa dibilang akrab, kami pernah 2 minggu bersama di Korea Selatan, sempat juga Thukul hilang, tersesat di Hongkong saat diriku bertugas jagain dan sekalian jadi penterjemah juga karena Thukul tidak berbahasa Inggris saat itu di tahun 1989.
Belum lagi Petrus Bima Anugrah, Suyat dan Herman yang pernah jumpa sekali atau dua kali di penjara Cipinang saat mereka menengok pimpinan partai PRD (Partai Rakyat Demokratik) saat itu.
Mengapa saya menulis di lapak saya tentang mereka yang hilang ini? Tentunya agar kita tidak lupa. Jangan pernah melupakan mereka. Ini minimum, langkah awal.
Kedua, juga jangan melupakan siapa-siapa, institusi apa yang terlibat dalam hilangnya mereka ini. Jangan pernah kasih by pass terhadap actor-aktor dan agencies yang kita tahu. Pelihara pengetahuan ini.
Thick Description Sebagai Methode dan Etnographie
Dalam artikel ini saya tidak bahas soal begitu banyaknya yang hilang setelah kudeta tahun 1965 dan tahun-tahun berikutnya yang mengikuti dimana Suharto mengambil kekuasaan pemerintahan dan negara dari President Soekarno.
Hal ini perlu dan harus juga tidak dlupakan, tetap perlu diinvestigasi. Bukan sekedar non judicial saja yang diurus oleh pemerintahan saat ini. Tidak cukup dan juga sangat tidak etis, jelas tidak adil.
Terus terang saya tidak paham dengan bungkamnya banyak kelompok termasuk LSM, lembaga negara, media massa mulai dari social media hingga podcast, youtuber yang sangat tidak sensitif terhadap korban dan keluargany,– juga terhadap para penyintas.
Kurang adanya pendalaman atau research serius mengenai hal yang begitu serius ini. Lebih sekedar pada hal-hal yang rada sensational misalnya berapa lama terbuang/exile di luar negeri, menikah dengan orang lokal dan bagimana jika kangen Indonesia, dstnya rada klinikal, kurang bahkan absentnya richness of details.
Kurang pendalaman pada human interests dan thick description yang dikenal sebagai istilah terminology untuk qualitative research di kalangan antropolog.
Term thick description ini dikenal sebagai ethnography jitu, bagus yang dipopulerkan oleh Clifford Geertz (Interpretation of Cultures, 1973) tetapi thick description sesungguhnya merupakan metode khusus juga, “very densely textured facts of particular persons and in their interactions in their particular context, and aim to understand another way of life from the participant’s viewpoints (halaman 23).
Tujuannya untuk memahami kehidupan mereka, dalam konteks tulisan ini para korban dan penyintas serta keluarganya. Ini minimal.
Salah satu kutipan ini mungkin bisa membantu memahami apa yang saya maksudkan dengan hal yang hilang dalam banyak pelaporan kasus 1965 karena tidak atau melewatkan methodology dimana thick description memiliki peran dan kontribusinya, dimana suara korban akan lebih memiliki kesempatan terekam dan bisa kemudian didokumentasikan sebagai bagian dari dokumentasi kebangsaan, perjalanan negara bangsa Republik Indonesia ini.
“Thick description builds up a clear picture of the individuals and groups in the context of their culture and the setting in which they live … Thick description can be contrasted with thin description, which is a superficial account and does not explore the underlying meanings of cultural members.” (Holloway, 1997, p. 154)
Juga artikulasi yang membantu mengenai thick description di kalangan ilmu sosial bisa mengacu disini, “A thick description … does more than record what a person is doing. It goes beyond mere fact and surface appearances. It presents detail, context, emotion, and the webs of social relationships that join persons to one another.” (Denzin, 1989, p. 83)
Pelaporan media masa mengenai para penyintas atau keluarganya tidak mengambil metode ini karena memang perlu keseriusan dan waktu, perlu niatan untuk serius memahami apa yang telah terjadi, bagaimana masing-masing korban merasakan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, mungkin sudah diperlakukan tidak seperti manusia, kehilangan rasa, martabat, harta, ingatan, bagaimana keluarga mereka diperlakukan, bahkan nyawa dan masa depannya.
Dirampok, ditangkap dengan semena-mena, diperkosa, disiksa, dilaparkan, dilucuti berkali-kali, ditutup akses mencari keadilan hingga pelucutan kewarganegaraan dan masih banyak lainnya pelanggaran hak-hak asasi manusia, hak-hak warga negara, hak kepemilikan dstnya.
Untuk mereka yang saat itu berada di luar negeri, bagaimana para exile harus memulai hidupnya dengan berbagai kesulitan, cobaan, hambatan dan juga kesehatan mental, kekerasan psikologis yang masing-masing alami, trauma, keputusasaan, dst.
Jadi mana mungkin jika bikin laporan sejam atau dua jam waktu tayang di TV atau interview radiokah atau podcast serta youtube sekali nongol dan kemudian seakan urusan korban-korban dan penyintas kudeta 1965 ini dianggap negara sudah melakukan tugasnya.
Catatan utama yang harus digaris bawahi, negara jangan pernah menghindari tugas negara memberikan rasa aman dan keadilan. Jika tugas ini dihindari, maka basa basi namanya atau negaranya tidak serius menuntaskan hal, agenda besar dan penting ini.
Mungkinkah karena terlalu sibuk dengan urusan kereta cepat, nikel dan bauxite (sejenis batuan dimana ada konten aluminium yang tinggi) atau urusan ini dianggap lebih penting dan juga lebih melihat ke depan saja, masa depan.
Sungguh diperlukan melihat dan bagaimana bangsa lain merespon, bertindak pada masa lalu yang kelam dan tidak demokratis. Pemimpin di Indonesia perlu melihat Chili dalam hal ini.
Menilik Chili Merespon Kediktatoran dan Luka Masa Lalu.
Kembali ke Chili, mari melihat bagaimana negara ini merespon, tindakan-tindakan pemimpinnya dalam menghadapi masa lalu. Negeri yang melahirkan penyair besar Pablo Neruda lewat puisi-puisinya yang di kenal sedunia dan mendapatkan penghargaan Nobel untuk Kesusastraan/Literasi tahun 1971.
Saya baru saja membaca bagaimana di Chili, President Chili sekarang Gabriel Boric tetap melakukan acara peringatan setelah 47 tahun lewat. Tahun 1976 Orlando Letelier dan Ronni Karpen Moffitt dibunuh, diassasinasi oleh agen-agen pemerintahan diktator Chile lewat pemboman mobil mereka yang kemudian dari informasi CIA disebutkan bahwa perintah pembunuhan ini sangat mungkin dari Augusto Pinochet yang melakukan kudeta di tahun 1973 di Chili. Peringatan ini bahkan dilakoni di negeri paman Sam yang punya andil dalam berdirinya rejim dictator militer Pinochet itu.
President Boric datang ke Washington DC Amerika 23 September 2023 lalu dan saat datang ke monument, dia bicara juga soal membangun upaya untuk memory bangsa. Pentingnya memory budaya (cultural memory) serta juga menegaskan bahwa demokrasi itu, “Democracy is memory and the future”
Saya sendiri membaca hal ini, pernyataannya sangat bernas, ingatan bangsa/memori dan masa depan sangat bertalian dan sebagai continuum dan sesungguhnya President Chili yang berusia 37 tahun ini sangat tepat saat kemudian dalam pidatonya juga berucap:
“When there are those who dare ask the victims to silence their mourning, to turn the page, I humbly dare to say to them…that reconciliation is possible only with truth and with justice, not with forgetting.”
Terjemahan saya sebagai berikut,
“Saat ada mereka orang-orang yang berani-beraninya meminta agar korban menghentikan/diam kedukaan mereka, memulai halaman baru, maka saya dengan sederhana dan berani/lantang/dengan nyali katakan ke mereka bahwa rekonsiliasi itu mungkin hanya dengan kebenaran dan dengan keadilan, tidak dengan melupakan“
Keterlibatan Amerika Serikat, Upaya Membuka Akuntabilitas
Lebih jauh lagi Presiden Grabriel Boric juga direken oleh politisi-politisi Amerika Serikat seperti Bernie Sanders, Jamie Raskin, Alexandria Ocasio- Cortez, Tim Kaine dllnya dengan adanya upaya mereka membuat resolusi bersama/ joint resolusi kongres. Jika hal ini berhasil maka menjadi sejarah dimana “Amerika Serikat menyatakan penyesalan mendalam atas kontribusi Amerika Serikat dalam mendestabilisasi institusi politik Chili …dan juga bantuan Amerika dalam mengkonsolidasikan diktator militer yang repressive dari Jendral Pinochet” Demikian terjemahan saya dari kalimat dibawah ini
Inilah yang dinamakan pendalaman dan upaya serius soal cultural memory suatu bangsa. Dimana hal yang saya kemukan soal thick description mungkin dan bisa menjadi bagian upaya untuk membangun, mengisi dan menjaga cultural memory dimana keadilan bisa menjadi salah satu parameter di dalamnya dimana narasi, kisah, context dan perspective korban, penyintas dan keluarganya termaktub dalam upaya thick description ini. Sehingga bisa dilihat bahwa upaya menuju keadilan yang lebih essential yang dilakukan oleh negara tidak berdasarkan charity based serta bukan sekedar performatis.
“Expresses profound regret for the United States contribution to destabilizing Chile’s political institutions…and for United States assistance in the consolidation of the repressive military dictatorship of General Pinochet.”
Hal diatas jika joint resolusi ini berhasil maka merupakan suatu terobosan besar dimana Amerika Serikat mengakui, menyesali dengan mendalam perilaku mengintervensi, membantu berdirinya pemerintahan yang diktator di Chili dan mengkudeta pemerintahan yang terpilih secara demokratis dipimpin oleh President Allende di masa lalu.
Adapun untuk Republik Indonesia, apakah pemerintahan Presiden Jokowi ataupun pemerintahan ke depan memiliki tanggung jawab dan keberanian, komitmen seperti Chili saat ini? Sejarah menjadi saksi, Democracy is memory and future memang tepat benar Presiden Gabriel Boric ini meringkasnya.
Dalam semangat dimana democracy tidak ahistoris, memory bagian dalam demokrasi juga, maka mari jangan pernah lupakan mereka yang hilang di tahun- tahun seperti Waidji Tukul, Suyat, Herman dan Petrus Bimo Anugrah dan nama-nama lainnya yang saya tidak bisa sebutkan, mulai dari nama-nama anak-anak yang terbakar di supermarket Yogya di daerah Cipinang atau perempuan-perempuan yang diperkosa dan tewas dalam masa Peristiwa Mei 1998 teruatama di Jakarta dengan pembakaran, penjarahan didiamkan oleh, negara seakan vacuum dimana polisi dan pihak keamanan, juga TNI seakan raib dan rakyat menderita dalam gonjang-ganjing perebutan kekuasaan di peristiwa Mei ini, yang akhirnya membawa reformasi di Indonesia.
Jangan juga pernah lupakan mereka yang juga dihilangkan, mati dieksekusi, mengalami arbitray arrest, disita rumahnya, dipenjara dan dihilangkan hak-hak dasarnya sebagai manusia dan sebagai warga negara setelah kudeta 1965 dan sepak terjang Orde Baru yang jelas-jelas direstui dan dibantu oleh Amerika Serikat, seperti Chili dengan rejim miiter Pinochet, Indonesia dengan rejim militer dengan bungkus Orde Baru dipimpin Jendral Soeharto saat itu. Democracy is memory and future.
*Penulis Maria Pakpahan, seorang feminist, human right defender berdekade , penulis, Ashoka Fellow Director- Vice Convenor /Board member Engender saat ini, Co-founders Yayasan Njoet Njak Dien Yogyakarta dan JALA PRT, Chevening awardee yang sedang bermukim di Scotlandia.