YOGYAKARTA- SOAL berkunjung ke rumah rakyat, tanpa ribet urusan politik dan embel-embel pekerjaan sudahkah dilakukan oleh pejabat publik kita? Ini lebih relevan dipertanyakan, terutama memenuhi janji selama masa kampanye. Kenapa?
Ada beberapa hal yang cukup alasan untuk ditagihkan. Politik di Indonesia dengan model pemilihan langsung untuk memilih wakil rakyat dan kepala daerah hingga Presiden harus jujur diakui menguras energi besar. Apalagi untuk biaya atau ongkos politik yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilihan.
Jangan berargumen semua sudah ada anggaran, tinggal dilaksanakan saja, beres. Iya, benar ada anggaran yang bersumber dari APBN, mari di cek bersama berapa jumlahnya atau singkat cerita berapa harga satu suara setiap kali ada pemilihan.
Di mana rumah rakyat hari ini? Alamatnya bisa saja di gang sempit dan kumuh (yang dijanjikan dulu bisa segera rapi dan tersedia fasilitasnya), di pelosok nusantara yang jika hendak menjangkau saja harus beralih aneka moda apa di kompleks perumahan elit dan berpenjaga satuan pengamanan?
Di mana bisa bertemu rakyat hari ini? Ia hadir sebagai sopir truck logistik sembako yang harus tahu diri untuk memberikan upeti, nelayan di pesisir pantai dan dermaga kecil yang kesulitan dapat rejeki karena perubahan cuaca ekstreem, petani di areal persawahan yang menggerutu karena harga beli panen di lahan miliknya justru jeblok saat panen raya. Di mana saja, mereka mudah ditemui.
Sebenarnya ada tempat pertemuan yang seharusnya tersedia tapi karena berbagai alasan tak segera diwujudkan ruang ini. Hadirnya ruang publik terbuka, taman atau sekalian hutan kota yang teduh sejuk dan nyaman. Di angkutan umum yang handal jam pelayanan sehingga jadi favorit untuk pergi dan pulang kerja atau urusan berwisata.
Di sanalah, di ruang publik itual idealnya jadi ruang pertemuan yang netral. Sekaligus bisa jadi urusan kontrol dan acara tagih janji.
Masalahnya jika rakyat (siapapun mereka) meminta diperlakukan khusus untuk bisa menyampaikan harapan, kritik juga saran dan tagih janji setelah bertingkah polah beragam rupa, pemimpin (siapapun dia) tentu akan berpikir sejenak. Ada apa, ada maksud apa? Meski yang disampaikan adalah seperti apa yang pernah disampaikan Rendra, “Niat baik saudara itu untuk siapa?”
Di dalam politik ada upaya penciptaan kepercayaan publik, agar mendapatkan dukungan rakyat. Meski segelintir orang bersuara keras, lebih banyak yang lain diam, bukan itu yang disebut kebenaran. Itu kebenaran versi segelintir orang.
“Kebenaran yang benar, benar benar, benar,” kata seorang kawan.
Paska aksi besar 20 tahun silam, tampaknya para elit yang berkuasa (juga yang merasa punya kuasa) masih menjalankan pola lama dalam berpolitik. Melupakan fakta bahwa dunia yang ada saat ini, sudah luntur dan menghilang batas-batas geografis gegara hadirnya teknologi komunikasi, dunia virtual.
Sedikit kilas balik, sebagai perbandingan jadi mengingat peristiwa di Ciganjur saat Gus Dur tergolek di rumah karena sakit. Semua yang hadir, sebenarnya berniat tilik atau bersilaturahmi dan menghibur sosok yang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Faktualnya, seluruh tamu-lah yang terhibur oleh cerita humor Gus Dur.
Mengingat juga apa yang diteladankan oleh KH AR Fakhrudin, pemimpin Muhammadiyah yang memilih hidup sederhana. Ia dekat dengan kepala negara, Soeharto di masa itu. Tapi tidak begitu saja memanfaatkan kuasa yang dimiliki.
Sultan Hamengku Buwono X, membuka ruang dialog melalui strategi budaya untuk konteks budaya Jawa.
Sosok pemimpin yang lain, akan lebih banyak berderet nama yang bisa dikisahkan dan diceritakan ulang, dibahas kembali nilai keteladanannya.
Kembali ke urusan kepercayaan publik, rasanya akan efektif menghidupkan ruang bersama, membuka saluran komunikasi publik yang bisa mengerti, juga mencatat apa saja harapan rakyat. Berbeda itu biasa apalagi berbeda pendapat dalam urusan rasa percaya. (Much Fatchurochman)