Oleh: Much. Fatchurochman
DAUN Di Atas Bantal. Bagi penonton film Garin Nugroho, menonton film yang berkisah nasib anak-anak jalanan ini pasti membikin hati remuk redam. Anak-anak yang pergi dari rumah, jauh dari orang tua dan memilih (kalau bisa disebut begitu) nasib hidup di jalan, di pasar, di stasiun kereta api sebagai “rumah” sekaligus ruang bermain.
Kehidupan yang keras di luar rumah, pergaulan bebas juga nasib buruk dijalani anak-anak jalanan ini. Hingga nasib buruk paska kematian anak jalanan tanpa identitas. Potret buram kenakalan anak-anak tampil begitu banal. Kancil, salah satu anak di film tersebut pada akhirnya mati sia-sia gegara aksi sindikat kejahatan.
Sutradara film, Garin Nugroho memilih sudut pandang kemanusiaan dalam menampilkan kisah utuh yang menjalin film ini. Selain merekam perubahan sosial yang tengah terjadi kalau film ini dibuat, hadir sosok Asih, figur ibu yang diperankan oleh Christine Hakim yang memberikan kasih sayang dengan tulus, kepada anak-anak jalanan ini.
Selebihnya, silakan menonton sendiri jika mendapatkan berkesempatan ada pemutaran film ini kembali.
Bagi saya, memutar lagi apa yang terekam dalam layar perak, film berlatar perubahan jaman yang terjadi di Yogyakarta ini bisa kontekstual dengan sorotan publik yang lagi ramai dibicarakan bahkan hingga ada tagar #YogyaDaruratKlithih beberapa waktu terakhir.
Beragam cerita soal perilaku anak dan remaja yang melanggar hukum ini disoroti secara luas. Ada beragam tanggapan hingga pejabat publik saling beradu pendapat soal perilaku jahat, yang dilakukan anak-anak dan remaja usia sekolah. Ada yang menganalisis detail lewat beragam sudut pandang.
Istilah klithih sendiri, sejak awal ditulis oleh media, ditulis oleh wartawan memang sudah bermasalah. Kalau dirunut lewat kacamata hukum positif, tak ada pasal pidana karena memang tak ada kosakata ini dalam ilmu hukum. Bermasalah di istilah, bermasalah pula cara pandang untuk mengurai ujung pangkal masalah dan solusinya.
Perubahan sosial karena pertumbuhan wilayah perkotaan jelas terjadi di Yogyakarta. Bagi DIY secara umum, fenomena kejahatan yang dilakukan oleh anak dan remaja usia sekolah ini jelas problem serius.
Respon kebijakan dan perhatian semua pihak dibutuhkan agar adanya perubahan sosial yang terjadi bisa membawa DIY jadi tetap istimewa untuk Indonesia.
Semangat ini, rasanya bisa diterima oleh seluruh kalangan.
Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan nasional asal Yogyakarta bisa jadi rujukan guna mengurai masalah anak dan remaja usia sekolah. Pola pendidikan anak-anak dengan model pamong, pendidikan bukanlah sekedar tanggung jawab sekolah, tapi di lingkup keluarga dan masyarakat penting berjalan seiring.
Anak dan remaja usia sekolah penting dikenalkan dan mampu menjalankan budi pekerti dalam praktek. Bukan sekedar formal, jadi bahan pelajaran semata di sekolah. Orang tua, keluarga harus terlibat aktif dan bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak. Lingkungan sosial dan masyarakat perlu berikan daya dukung positif bagi setiap aktifitas anak dan remaja usia sekolah.
Di tengah anak-anak yang bermasalah, figur yang dibutuhkan rasanya bukan hanya sosok ibu Asih saja seperti dalam film. Di kehidupan nyata, anak-anak dan remaja butuh sosok yang bukan sekedar guru, orang tua dan role model atau tokoh panutan, tokoh idola.
Lingkar kekerasan, lingkaran kejahatan harus kita putuskan secepatnya.
Menebarkan harapan, pendidikan budi pekerti dan membiasakan praktek menyelesaikan masalah secara bertanggung jawab pada anak dan remaja penting.
DIY khususnya, Indonesia secara umum butuh lebih banyak sosok Asih mewujud dalam keseharian, sosok orang tua yang bukan hanya memberi kasih sayang tulus tapi juga mampu asah rasa kemanusiaan untuk sesama, menanamkan pentingnya merawat kehidupan di alam pikiran anak dan remaja di tiap kehidupan keluarga perlu lebih diperluas.
*) Penulis Much. Fatchurochman, wartawan senior, pelaku citizen journalism, free lancer