Selasa, 16 September 2025

SABAR MAAAS…! Gak Puas Putusan MK, Hermawanto: Ini Kesadaran Semu Hakim!199

JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi Perubahan Undang-Undang KPK, membawa pada satu kesimpulan yaitu, Hakim MK berada pada stadium “kesadaran semu” (false consciousness) sebagai Hakim MK gagal memahami tugas konstitusionalnya,– sebagaimana Sila ke Empat Pancasila ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan’. Hal ini ditegaskan oleh
Hermawanto, Advokat Untuk Keadilan dan Kemanusiaan kepada pers di Jakarta Kamis (6/5).

“Sebagai penjaga konstitusi seharusnya MK meletakkan diri pada nilai moral kebijaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak sekedar tunduk pada norma perundangan, yang diciptakan legislator kadang penuh intrik dan manipulatif,” ujarnya.

“Sehingga putusan MK sepertinya meletakkan diri sebagai anak buah kekuasaan, yang manut pada sendiko dawuh sang paduka,” ujarnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan sidang hasil putusan gugatan uji material dan formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa, 4 Mei 2021. Hasil putusan tersebut, MK menolak seluruh gugatan formil atau proses revisi UU KPK.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, sementara MK mengabulkan sebagian dari gugatan uji materi UU kontroversial tersebut. Berikut adalah empat fakta dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai UU KPK.

Tolak Gugatan Uji Formil

Hakim MK menolak seluruh gugatan uji formil atau proses pembentukan UU KPK. “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan permohonan yang disiarkan di YouTube MK RI.

Gugatan uji formil ini diajukan oleh Tim Advokasi UU KPK yang beranggotakan di antaranya mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, Laode M. Syarif dan Saut Situmorang.

MK berpendapat dalil para pemohon yang menyatakan UU KPK tidak melalui Prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum tidak beralasan hukum. MK juga berpendapat UU KPK sudah memenuhi asas kejelasan tujuan.

Dissenting Opinion

Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiddudin Adams menjadi satu-satunya anggota majelis hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion soal uji formil UU KPK. Dia di antaranya menyoroti waktu pembahasan revisi UU KPK yang relatif singkat.

Wahiduddin menyatakan beberapa perubahan ketentuan mengenai KPK dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

“Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik,” kata Wahiduddin membacakan pandangannya, Selasa, 4 Mei 2021.

Wahiduddin mengatakan momentum spesifik itu, yakni di masa hasil Pilpres dan Pileg 2019 telah diketahui dan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Revisi UU KPK lantas disahkan Presiden menjadi UU beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR periode 2014-2019 dan beberapa pekan menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden pada periode pertama.

Perubahan Minor Soal SP3

Meski menolak uji formil, MK mengabulkan sebagian dari gugatan uji materil. Salah satunya mengenai pemberian penghentian penyidikan alias SP3 oleh KPK. “Menyatakan Frasa ‘tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun’, dalam pasal 40 ayat 1 UU nomor 19 tahun 2019, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua MK Anwar Usman, saat membacakan putusan.

MK mengubah frasa tersebut dengan memberi patokan dua tahun sejak dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Izin Dewas

Dalam sidang revisi putusan UU KPK MK memutuskan bahwa penyadapan, penggeledahan dan penyitaan tak butuh izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Alasannya, Dewas bukanlah penegak hukum. MK mengubah ketentuan itu dengan aturan bahwa setiap Komisi Pemberantasan Korupsi akan menggeledah, menyadap atau menyita harus memberi tahu kepada Dewas. (ZKA Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru