Senin, 7 Oktober 2024

SBY, Kepemimpinan Melodramatik dan Opera Sabun

Muhammad Yamin Ketua Sekertariat Nasional (Seknas) Jokowi. (Ist)

Berbagai cara dipakai untuk membangun pencitraan dirinya menjadi pemimpin. Namun rakyat bisa menilai, dari Soekarno sampai Joko Widodo, yang mana pemimpin sejati. Yang pasti, pemimpin bukan hanya memiliki visi, tetapi membawa perubahan kesejahteraan yang mendasar pada rakyat yang dipimpinnya. Muhammad Yamin Ketua Sekertariat Nasional (Seknas) Jokowi menulis buat pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Muhammad Yamin, SH

SOSIOLOG terkemuka Max  Weber  pernah mengemukakan teorinya tentang kepemimpinan  yang sangat terkenal. Dalam teorinya itu, ia melansir tiga tipe kepemimpinan yang ada di dunia: tradisional, kharismatik, dan rasional.

Weber menjelaskan tipe kepemimpinan tradisional berlaku di era kerajaan yang masih didominasi feodalisme. Dimana masyarakat menerima pemimpin apa adanya, dan sudah dianggap bahwa itu sudah merupakan kehendak Tuhan. Seakan Tuhan mengutus sang raja sebagai pemimpin. Betapapun otoriternya seorang pemimpin/raja, ia adalah wakil Tuhan di muka bumi.

Sedangkan pemimpin karismatik muncul akibat adanya sikap luar biasa yang muncul dari diri seorang pemimpin atau sering disebut dengan “karisma”. Karisma juga bermakna daya tarik luar biasa pribadi yang ada pada orang  tersebut. Sumber karisma ini bisa bersifat agamis, mistis, moral, personality, dan lain-lain.

Tipe kepemimpinan rasional mengemuka di masyarakat modern, dimana demokrasi telah berkembang dan menjadi dasar sebagai sistem politik yang baku. Masyarakat seperti ini akan mengangkat dan menjatuhkan seorang pemimpin berdasarkan pikiran-pikiran rasional yang hidup di masyarakat tersebut.

Nah, menariknya, di Indonesia sekarang muncul dipermukaan kepemimpinan  baru, yang kita sebut saja tipe melodramatik. Pelopornya tak lain SBY, Presiden Keenam RI yang sekarang lagi sibuk menggadang-gadang anaknya sendiri sebagai cawapres kemana-mana.

Tipe melodramatik bisa jadi hanya muncul di Indonesia. Pemimpin tipe ini berusaha meraih simpati rakyat dengan cara memerankan diri seakan sebagai korban (playing victim), serta selalu melakukan manuver politik bak “opera sabun”. Juga kerap menampilkan diri sebagai  figur yang baperan alias membawa-bawa perasaan dalam ranah politik. Seorang pemimpin melodramatik mendasarkan sumber otoritasnya berdasarkan rasa kasihan dan terharunya rakyat.

“Opera sabun” ala SBY itu bisa dibaca ketika ia masuk rumah sakit. Meski sakitnya dikabarkan cukup berat– karena itu kemudian dikunjungi tokoh-tokoh nasional– muncul berita dan foto-foto SBY membaca berkas dan menandatanganinya. Kesan yang ingin ditampilkan adalah meski sakit, tapi tetap bekerja.

Anehnya, begitu keluar dari rumah sakit, SBY langsung mengadakan serangkaian pertemuan dengan tokoh-tokoh politik dalam rangka persiapan pencalonan presiden dan wakil presiden. Lantas menggelar komperensi pers dengan nada memelas, sambil mengkambinghitamkan tokoh yang berseberangan politik dengan dirinya. Dengan tontonan publik itu, ia berharap meraih simpati publik untuk menaikkan elektabilitas sang anak dan partainya yang notabene sudah dipinggir jurang.

Yang mengenaskan, virus kepemimpinan melodramatik ini sudah menjangkiti segelintir anak buah SBY, yang notabene dulunya para aktivis mahasiswa yang pernah berjuang melawan rezim Orde Baru.

Tapi, syukur alhamdulillah, rakyat Indonesia sudah semakin cerdas. Rakyat tidak akan terlena lagi dengan “opera sabun” yang dimainkan pemimpin melodramatik bersama anak buahnya yang keblinger. Mohon maaf….

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru