Minggu, 1 Oktober 2023

𝗚𝗔𝗡𝗝𝗔𝗥 𝗗𝗔𝗡 𝗡𝗨: Sebuah Retrospeksi

Oleh: Hasan Aoni

SAYA berada di sebuah pertemuan informal pengurus PWNU dan MUI Jawa Tengah secara terpisah dan mendengar obrolan kritis tentang bakal calon presiden (bacawapres) Ganjar Pranowo. Mereka mengatakan keheranannya mengapa dukungan masyarakat terhadap Ganjar dalam survei-survei bakal calon presiden begitu besar? Padahal, kalau publik mengenal lebih dekat, mereka percaya, publik akan menarik atau setidaknya mengurangi dukungan.

Orang sulit mengakses informasi itu melalui sumber-sumber resmi, karena pengurus kedua lembaga itu masih menutup untuk konsumsi publik. Tetapi, karena isu itu menarik sebagai retrospeksi, maka saya memilih menulisnya.

𝗗𝘂𝗮 𝗦𝗼𝗮𝗹


Mereka mengkritisi Ganjar dalam dua hal: pola komunikasi dan dukungan program. Dalam pola komunikasi, menurut mereka, Ganjar lebih sering memposisikan diri sebagai pembicara daripada pendengar. Dalam fatsun NU, dari manapun asal pemimpin, ketika menjadi pejabat, ia selayaknya mendengar. Mereka membandingkannya dengan Presiden Jokowi yang lebih sering berdiri sebagai pendengar daripada pembicara.

Dari sisi program, Ganjar dianggap kurang memadai dalam menyokong program PWNU dan MUI Jateng. Sebagai lembaga yang mengelola kepentingan publik, mereka merasa pantas mendapatkan dukungan yang memadai. Mendukungnya sama dengan mendukung publik. Salah satu dukungan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur adalah anggaran.

Mereka membandingkan dengan provinsi Jawa Timur, yang juga memiliki basis NU yang kuat, yang menyokong anggaran sampai puluhan milyar. Apabila besar-kecilnya sokongan dianggap sebagai tingkat keperdulian, maka keperdulian Ganjar berada di titik rendah.

Publik yang berkomunikasi langsung dengan Ganjar, menurut mereka, kemungkinan akan merasakan ketidaksimpatikan yang sama. Berbeda dengan pengisi survei yang tertutup oleh pesona virtual yang dibangun Ganjar.

Pertanyaannya, seberapa besar ketidaksimpatikan mereka akan berefek terhadap suara nahdliyin di Pilpres 2024? Penting dihubungkan, karena apapun yang menjadi obrolan di ruang tertutup bisa berubah jadi konsumsi publik saat bertemu momentum politik. Mari kita ukur kemungkinan itu.

𝗪𝗮𝗿𝗻𝗮 𝗡𝗨 𝗚𝗮𝗻𝗷𝗮𝗿

Di antara tiga bakal calon Presiden, secara kultural Ganjar adalah kandidat yang paling dekat dengan NU dibanding Anis maupun Prabowo. Di wilayah yang basis NU nya kuat, Ganjar sering memenangkan survei calon presiden.

Kedekatan Ganjar dengan NU tercermin dari keunggulan suara di basis NU dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah pada 2013. Saat tidak ada satupun pasangan Cagub yang secara formal berasal dari NU, pasangan Ganjar-Heru Sudjatmoko unggul di wilayah basis NU. Ia memperoleh suara 48,82% di atas Bibit Waluyo-Sudijono 30,26%, dan Hadi Prabowo-Don Murdono 20,92%. Di antara ketiga pasang itu, Ganjar lebih memiliki warna NU, setidaknya dari latar belakang keluarganya, dibanding dua kandidat lainnya.

Atas pengalaman itu, Ganjar dan PDIP menghitung kekuatan struktural dan kultural NU di Jawa Tengah. Terbukti dalam pemilihan gubernur 2018, ia menggandeng Gus Yasin, putra Kiai Maimun Zubair, karena Sudirman Said, lawannya, disokong PAN yang dekat dengan Muhammadiyah, dan Ida Fauziyah, pasangannya (sekarang Menaker), yang berasal dari PKB yang secara struktur dekat dengan NU. Ganjar-Yasin memenangkan pemilihan gubernur dengan suara 58,78%, dan Sudirman-Fauziyah 41,22%.

Kita tahu, secara struktural NU merupakan pohon organisasi yang berakar kuat, mulai tajuk (pusat) hingga cabang dan ranting. Terlebih di Jateng, sebagian besar pengurus MUI adalah tokoh-tokoh yang berasal dari kalangan NU. Maka, kekecewaan tokoh struktural PWNU dan MUI besar kemungkinan akan teresonansi ke masa kultural nahdliyin.

𝗠𝗲𝘀𝗶𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸

Apakah NU sebagai lembaga merupakan mesin politik yang dapat menggerakkan suara nahdliyin? Dalam beberapa Pilkada, pasangan calon yang didukung NU tidak selalu unggul meski di kabupaten/kota yang berbasis nahdliyin. Di Pilkada Kudus 2013, misalnya, pasangan Mustofa Wardoyo-Abdul Hamid yang tidak didukung kelompok formal NU berhasil mengungguli Muhammad Tamzil-Asyrofi. Asyrofi, yang sekarang menjadi Ketua PCNU, adalah kader yang dilahirkan dari rahim NU.

Macetnya mesin politik antara lain karena terdapat perbedaan pandangan dan kepentingan, bahkan dalam beberapa kasus polarisasi, antara NU sebagai lembaga (jam’iyyah) dengan NU sebagai komunitas (jama’ah). NU struktural dalam kasus ini gagal menjelma menjadi mesin politik.

Kepemimpinan NU di bawah Gus Yahya Cholil Staquf yang mengulur jarak lebih lebar dari politik praktis, makin menyulitkan NU struktural mengfungsikan dirinya sebagai mesin politik. Jika tidak ada peristiwa besar yang mengganggu kepentingan NU secara substantif, kecil kemungkinan kekecewaan struktur NU dan MUI berefek pada suara nahdliyin dalam kontestasi Pilpres kelak.

Kekuatan kultural NU dalam prakteknya tidak selalu sejalan dengan kekuatan NU struktural. Jama’ah yang dikelola oleh para kiai sering justru menjelma menjadi kekuatan politik. Relasi kultural antara santri dan kiai dalam apa yang dikenal sebagai “sami’na waatho’na” (dengar dan taati) adalah bahan bakar beroktan tinggi yang mampu memacu laju mesin lebih efektif daripada struktural.

Tetapi, kekuatan mesin politik hanya bisa berjalan dengan satu syarat: Ganjar harus dalam posisi menjadi 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘰𝘯 𝘦𝘯𝘦𝘮𝘺 (musuh bersama) NU. Situasi ini akan memicu enzim yang dapat mengkatalisasi fragmentasi antara struktural dan kultural. Sejauh ini, Ganjar tidak dalam posisi itu dan justru memiliki warna NU lebih kental daripada dua bakal calon lainnya. Apalagi fakta terdapatnya perbedaan “aliran politik” antarkiai yang menyulitkan lawan politik Ganjar menggiring ke sikap ABG (Asal Bukan Ganjar) sepanjang tidak terpenuhinya syarat itu.

𝗠𝗲𝗿𝗲𝗸 𝗡𝗨

Bercermin dari kasus Pilgub Jateng 2018, besar kemungkinan Ganjar dan PDIP akan menggandeng bakal bacawapres dari kubu NU. Ini untuk melengkapi representasi “merah-hijau” (nasionalis-Islam) yang akan menjadi kanal ideologis pengikat hubungan sang calon dengan pemilihnya.

Betapa pentingnya, sehingga beberapa bacawapres berupaya mendekati NU supaya memiliki merek dan “𝘧𝘳𝘢𝘯𝘤𝘩𝘪𝘴𝘦”. Persoalannya, Prabowo dan calon pasangannya juga melakukan hal yang sama, bahkan beberapa tokoh NU garis pragmatis sudah menyatakan dukungannya secara terbuka. Sehingga, penting hari ini bagi Ganjar untuk tidak berdiri vis a vis dengan NU, baik struktural maupun kultural.

Sebaliknya, bagi NU, penting menyaring kualifikasi bakal Capres dan Cawapres yang telah diberi hak “𝘧𝘳𝘢𝘯𝘤𝘩𝘪𝘴𝘦” supaya kelak pemimpin yang didukungnya tidak menjadi bahan obrolan seru di kantor-kantor NU.

Obrolan kritis di pertemuan informal pengurus PWNU dan MUI Jateng yang saya jadikan retrospeksi ini bukan isu yang sepele. Justru penting, khususnya bagi Ganjar dan timnya, untuk mempersedikit musuh yang bisa mengikis akar yang sudah ditanamnya. Sayidina Ali berpesan, “Angin tidak berembus menggoyang pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya”.

Salam Dongeng!

Penulis Hasan Aoni, Pengasuh Omah Dongeng Marwah

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,552PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru