SUKOHARJO- Keberadaan PT RUM di Desa Plesan, Nguter, Sukoharjo, membawa petaka bagi lingkungan dan warga sekitar. Lebih dari empat bulan terakhir warga diresahkan oleh bau busuk, menyerupai bau tinja, yang bersumber dari limbah produksi PT RUM. Limbah tersebut berakibat pada terganggunya kesehatan warga. Bahkan anak-anak di sekitar sana terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pusat Perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan), menilai Sritex dan PT RUM telah melakukan kejahatan berupa penyebaran racun limbah produksi lingkungan dan warga Sukoharjo.
“Kami mendesak hentikan kriminalisasi, bebaskan kawan kami dari segala dakwaan! Cabut Izin Usaha PT RUM dan tarik TNI dari kegiatan pengamanan PT. RUM!” tegas Rahman Ladanu, Ketua Umum PEMBEBASAN kepada Bergelora.com di Sukoharjo, Senin (19/3)

Ia menegaskan bahwa seluruh produk-produk Sritex dihasilkan dari proses yang penuh dengan penindasan terhadap manusia dan alam,
“Ayo rakyat kita lawan penindasan yang dilakukanoleh Sritex,” tegasnya ditengah aksi yang didukung oleh F-SEDAR, PPRI, AMP, PPR, Solidaritas.net, Trimoerti.
Ambisi Sritex
Ia menjelaskan PT. RUM adalah perusahaan yang didirikan sejak tahun 2012 untuk memasok serat rayon ke pabrik PT. Sri Rejeki Isman, Tbk (PT. Sritex). Sritex sendiri merupakan perusahaan tekstil besar yang beroperasi sejak 1966 yang memproduksi seragam militer untuk TNI dan tentara di 30 negara, termasuk ke Amerika Serikat dan NATO. Selain itu, Sritex juga menghasilkan produk fashion untuk brand terkenal seperti Zara, Disney dan H&M.

Pendirian PT. RUM adalah ambisi dari Sritex untuk mengamankan pasokan bahan baku dan melipatgandakan keuntungan Sritex. Untuk hal itu, Sritex juga telah mendapatkan konsesi hutan tanaman industri serat rayon seluas 100 ribu hektar di Kalimantan.
Dengan ekspansi maka keuntungan mengalir ke kantong segelintir pemegang saham Sritex. Sebanyak 56% saham Sritex dimiliki oleh PT Huddleston Indonesia. Pada pertengahan tahun 2017, Sritex mampu meraup hampir setengah triliun rupiah dalam waktu 6 bulan saja.
“Sedangkan nasib rakyat Sukoharjo malah menderita karena racun dan bau busuk yang disebarkan oleh limbah PT. RUM. Sedikitnya 28 warga terkena ISPA, 72 ISPA ringan dan 152 warga lainnya terdata mengalami pusing dan mual akibat menghirup bau tinja PT. RUM. Seorang bayi 10 bulan yang mengalami kelainan jantung harus meninggal karena diperparah oleh bau busuk yang harus dia hirup setiap harinya,” jelasnya.

Sejak Oktober 2017, rakyat Sukoharjo dipaksa menghirup bau busuk yang mengalir sepanjang 20 km hingga ke Wonogiri. Selain itu pembuangan limbah produksi yang serampangan mengakibatkan aliran sungai disepanjang sungai Gupit hingga Bengawan Solo tercemar. Kondisi faktual menunjukan kerusakan ekosistem sungai yang kian parah, terlihat dari ikan serta biota lainnya yang mati, bahkan tak bisa lagi dimanfaatkan untuk tanaman dan ternak.
“Lebih parah lagi sumur-sumur warga pun mulai tercemar sehingga sehari-hari warga kesulitan mendapatkan air bersih. Artinya, bau busuk PT. RUM telah mencemari air, tanah dan udara yang tidak mungkin hilang dalam waktu singkat,” jelasnya.
Menurutnya, aktifitas produksi PT RUM sempat diberhentikan sementara selama 1 bulan, 19 Januari sampai 19 Februari 2018, guna melakukan riset dan upaya penanggulangan bau. Hal tersebut sesuai dengan kesepakatan antara warga terdampak, pimpian PT RUM dan Forkopimda Kabupaten Sukoharjo.
“Nyatanya, sampai dengan akhir Maret 2018, bau busuk masih tercium,” katanya.
Pada tanggal 22 Februari 2018, warga kembali melakukan aksi di depan Kantor Pemkab Sukoharjo. Dalam aksi tersebut, warga mengajukan draf SK Pencabutan dan Pembekuan Izin Lingkungan PT RUM.
“Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya menjanjikan akan menandatangani draf SK yang diajukan massa aksi jam 10.00 WIB, tanggal 23 Februari 2018,” ujarnya.
Keesokan harinya, 23 Februari 2018, warga kembali melakukan protes dengan memblokade pintu masuk PT RUM. Tiba pada pukul 10.00 WIB, sesuai waktu yang dijanjikan, namun Bupati tidak menemui pendemo.
“Hal tersebut membuat warga kesal dan aksi berubah menjadi pembakaran ban. Amarah warga makin memuncak usai aparat kepolisian dan tentara melakukan penyekapan, penyiksaan, dan pemukulan terhadap tiga orang massa aksi, sehingga warga membakar pos satpam dan prasasti pendirian PT RUM,” katanya.
Alih-alih mengusut PT. RUM yang jelas-jelas merusak lingkungan, Polda Jateng malah mengkriminalisasi warga dan aktivis yang tengah berjuang mengembalikan lingkungan dan udara bersih.
“Kepolisian jelas-jelas menjadikan insiden pembakaran tersebut untuk mengaburkan akar permasalahan sebenarnya; limbah produksi PT RUM,” jelasnya.
Selain itu pelibatan TNI dalam aktifitas produksi PT RUM menimbulkan pertanyaan lain.
“Kita bisa melihat bagaimana pabrik ini dijaga oleh aparat TNI berseragam, bahkan untuk kegiatan-kegiatan ‘sosial’ perusahaan. Padahal jika merujuk pada Undang-Undang 34/2004 tentang TNI maka jelas tidak ada urgensi menghadirkan TNI disana. Pelibatan dalam bisnis pengamanan seperti ini selain bertentangan dengan Undang-Undang, juga membuat lambatnya reformasi dalam internal TNI itu sendiri,” (Sarinah)