JAYAPURA- Aksi serentak dalam menyikapi kasus Wasior Berdarah dilakukan di Jayapura, Nabire, Manokwari, Sorong dan Fakfak, Rabu (13/6). Dalam peringatan 17 tahun Wasior Berdarah. Beragam aktivitas dilakukan mulai dari pemutaran film dan diskusi, photo ‘Sa Peduli’, demo damai dan lainnya.
Sementara Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) untuk Tanah Papua melakukan konferensi pers, Rabu (13/6) di Kantor Elsham Papua dan menyampaikan 4 tuntutan.
“Mendesak Presiden Jokowi dan Kejaksaan Agung RI untuk segera menuntaskan kasus Wasior Berdarah 2001 ke pengadilan HAM di Papua,” tegas Teddy Wakum dari SOS kepada Bergelora.com di Jayapura, Rabu (13/6).
SOS juga mendesak pemerintah pusat untuk memulihkan dan merehabilitasi hak korban dan keluarganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu SOS juga mendesak pemerintah untuk melaksanakan kewajiban dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi pejuang kemanusiaan, pejuang masyarakat adat dan lingkungan.
“Kami mendesak pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten untuk segera melakukan review perijinan dan menghentikan perijinan korporasi yang melanggar HAM . Serta mendorong tata kelola yang berpihak kepada masyarakat adat Papua dan kelestarian lingkungan,” tegasnya.
Frangky Samperante dari SOS juga menyampaikan peristiwa Wasior Berdarah merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia.

Kronologi Kasus
Kepada Bergelora.com dilaporkan, kasus pelanggaran HAM Wasior berawal dari masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas oleh perusahan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Masyarakat menuntut ganti rugi kepada perusahan atas tanah adat –termasuk kayu-kayu mereka yang dikuasai PT Dharma Mukti Persada.
Tuntutan masyarakat tidak dipedulikan oleh pihak perusahaan yang di backup oleh anggota Brimob. Kemudian sekelompok orang bersenjata melakukan penyerangan terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban.
Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini lima orang anggota Brimob tewas dan satu orang warga sipil. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan disekitar Wasior, dengan dukungan Kodam XVII Trikora melakukan “Operasi Tuntas Matoa”. Operasi ini menyebabkan korban dikalangan masyarakat sipil.

Laporan Komnas HAM
Berdasarkan laporan Komnas HAM dalam kasus ini telah terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk Pembunuhan (4 kasus), Penyiksaan (39 Kasus) termasuk menimbulkan kematian (Dead in custody), Pemerkosaan (1 kasus) dan Penghilangan secara paksa (5 kasus).
Selain itu masih menurut temuan Komnas HAM telah terjadi pengungsian secara paksa yang menimbulkan kematian dan penyakit serta kehilangan dan pengrusakan harta milik. Karena pada saat operasi tersebut terdapat 51 rumah yang dibakar beserta harta benda di 8 lokasi yang berbeda (Wasior Kota, Kampung Wondamawi, Kampung Wondiboi, Kampung Cenderawol, di Sanoba).
Operasi tersebut juga memakan korban secara meluas ke beberapa daerah luar teluk Wondama seperti Yopanggar bagian utara Teluk Wondama, wilayah Kepulauan Roon, Kecamatan Windesi, kecamatan Ransiki, Bintuni, kota Manokwari dan Nabire.
Komnas HAM menyimpulkan, Kasus Wasior berdarah tahun 2001 merupakan Pelanggaran HAM Berat, yang diatur dalam UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pasal 9 yang mengandung unsur Kejahatan Kemanusiaan, dan juga mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia.
Frangky Samperante menjelaskan, dalam pasal ini menyebutkan bahwa “Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang deketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a) pembunuhan, b) pemusnahan, d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, f) Penyiksaan, g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan dan i) Penghilangan orang secara paksa.
“Walaupun termasuk dalam pelanggaran HAM berat, kasus ini dianggap seperti masalah biasa saja. Kasus Wasior Berdarah telah terjadi 17 tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum ada niat dan komitmen pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan dan mengadili para oknum pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut,” katanya.
Kejaksaan Agung menurutnya sudah memperlakukan komnas HAM menjadi penyidik tanpa memberi wewenang dengan menjalankan kewenangan mencari pelaku, bukti-bukti untuk pengadilan. Tugas Komnas HAM sebagai penyelidik menurut Undang-Undang No 26/2000 dan Undang Undang No 8/1981 cukup sampai menemukan perbuatan yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat.
“Sedangkan mencari bukti guna membuat terang siapa pelakunya adalah tugas penyidik yang tak lain adalah Jaksa Agung itu sendiri. Hal ini menyebabkan kasus Wasior Berdarah hingga saat ini tidak jelas penuntasannya,” katanya. (Wirya)