Oleh: Beathor Suryadi *
BERITA wafatnya Fikri Thalib datang bagaikan petir di siang bolong. Hati saya terguncang. Air mata tak kuasa tertahan ketika kabar itu saya terima. Bagi sebagian orang, nama Fikri mungkin tak pernah muncul di layar televisi, tak menghiasi halaman depan surat kabar, apalagi menjadi trending topic di media sosial. Namun, bagi kami, aktivis yang pernah menghirup udara perjuangan di era 1980-an, sosoknya adalah obor kecil yang tak pernah padam, meski ditiup angin badai rezim Orde Baru.
Fikri Thalib adalah difabel. Kekurangan fisik tidak pernah ia jadikan alasan untuk berhenti, apalagi menyerah. Justru dari tubuh yang penuh keterbatasan itulah terpancar keberanian, keteguhan, dan ketulusan. Ia mengajarkan kepada kami bahwa perjuangan tidak ditentukan oleh seberapa sempurna fisik, melainkan oleh seberapa ikhlas hati dan seberapa kuat tekad untuk melawan ketidakadilan.
Saya satu almamater dengan Fikri di Universitas Pancasila, Jakarta. Dari bangku kuliah itulah saya mengenalnya lebih dekat. Di antara hiruk pikuk mahasiswa yang bergelut dengan idealisme dan romantika pergerakan, Fikri selalu hadir dengan semangat yang membara.
Kami sama-sama pernah berada dalam lingkaran aktivis Pijar, sebuah kelompok perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Orde Baru. Di masa ketika suara rakyat dibungkam, dan kritik terhadap kekuasaan dianggap ancaman, Fikri berdiri di garda terdepan. Dengan tubuh yang rapuh tapi jiwa yang kokoh, ia membuktikan bahwa keberanian tak mengenal bentuk fisik.
Ketika banyak orang memilih diam karena takut, Fikri justru maju. Ketika banyak mahasiswa mundur karena tekanan, ia bertahan. Ia selalu hadir di ruang diskusi, di jalanan, di balik spanduk perlawanan, meski tubuhnya sering kali tampak letih. Baginya, diam adalah pengkhianatan terhadap nurani.
Yang membuat Fikri begitu berbeda bukan hanya keberaniannya, tetapi juga hatinya yang lembut. Ia pejuang yang keras kepala terhadap rezim, namun penuh kasih kepada kawan-kawannya. Saya ingat betul, betapa ia sering menguatkan kami ketika rasa takut mendera. Kata-katanya sederhana, tetapi menancap dalam dada: “Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Tak ada rasa iri, tak ada rasa ingin menonjolkan diri. Fikri berjuang bukan untuk nama besar, bukan pula untuk posisi atau jabatan. Ia adalah simbol dari mereka yang berjuang dalam senyap, yang memilih jalan sunyi, tanpa pamrih, tanpa sorotan kamera.
Ironisnya, nama Fikri jarang sekali muncul di catatan sejarah pergerakan mahasiswa. Media tidak pernah menyorotinya. Ia bukan tokoh populer, bukan juga figur yang menghiasi panggung politik pasca-reformasi. Tetapi justru di situlah letak kemuliaannya. Fikri adalah representasi dari ribuan aktivis yang namanya terlupakan, yang jasanya tak pernah dituliskan, tetapi yang keringat dan darahnya ikut mengalir dalam jalan panjang demokrasi negeri ini.
Kini, Fikri telah pergi. Ia telah menghadap Ilahi, meninggalkan dunia yang pernah ia lawan dengan segenap jiwa. Kepergiannya menyisakan luka mendalam, sekaligus perenungan: masihkah kita setia pada jalan yang pernah ia tempuh?
Bagi saya pribadi, melihat wajahnya dalam ingatan membuat hati saya menangis. Saya teringat malam-malam panjang ketika kami duduk berdiskusi, merancang strategi perlawanan, atau sekadar berbagi secangkir kopi di ruang sederhana. Saya teringat senyum tulusnya, juga tatapan matanya yang penuh keyakinan bahwa suatu hari nanti negeri ini akan bebas dari cengkeraman tirani.
Fikri mungkin tak meninggalkan warisan materi, tetapi ia meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga: teladan keberanian, ketulusan, dan kesetiaan. Ia mengajarkan bahwa menjadi pejuang bukanlah tentang popularitas, melainkan tentang keberanian untuk tetap berdiri, meski semua orang memilih duduk.
Kepada generasi muda hari ini, saya ingin berpesan: kenanglah nama Fikri Thalib. Belajarlah darinya bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk berjuang. Bahwa perjuangan sejati tidak selalu tercatat dalam buku sejarah, tetapi pasti tercatat dalam buku kehidupan.
Selamat jalan, saudaraku, sahabatku, kawanku seperjuangan, Fikri Thalib. Engkau telah menuntaskan tugasmu di dunia ini dengan penuh kehormatan. Semoga Allah SWT menempatkanmu di sisi terbaik-Nya.
Dan bagi kami yang ditinggalkan, biarlah semangatmu menjadi api yang tak pernah padam di dada kami.
——
*Penulis Beathor Suryadi aktivis anti Orde Baru angkatan 80-an