JAKARTA- Era teknologi informasi dan digital saat ini sudah sejak lama diprediksi menjadi faktor penting eksistensi pembangunan sebuah bangsa. Maka urgensi penguasaan teknologi melalui ketersediaan Sumber Daya Manusia yang unggul terus menjadi tantangan ke depan.
Hal ini seperti pesan yang disampaikan oleh mantan Presiden RI, Prof. Ing. BJ. Habibie beberapa waktu lalu, sebelum wafat, kepada Suhendra,– lengkapnya, Ir. Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara, M.Ikom, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dahana (Persero).
Ya, Suhendra yang merupakan salah satu tokoh nasional asal Provinsi Lampung ini memang masih keluarga dari mantan Menteri Agama RI era Presiden Soeharto yakni H. Alamsyah Ratu Prawiranegara, salah satu kolega dan sosok yang banyak mendorong BJ Habibie untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Suhendra mengenang saat dirinya berdiskusi dengan BJ Habibie yang juga dihadiri Prof Sofian Effendi, mantan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
“Dalam diskusi tersebut Pak Habibie berpesan dan menyampaikan tentang urgensi penguasaan teknologi, informasi dalam membangun bangsa. Bayangkan, apa yang beliau sampaikan saat itu, era kini semuanya memang terjadi. Persaingannya di teknologi dan informasi berbasis digital. Maka, seperti pesan beliau, kita harus unggul dan mampu bersaing secara globlal di bidang teknologi ini,” kata Suhendra di Jakarta, Selasa (4/1).
Selain soal urgensi penguasaan teknologi oleh bangsa Indonesia, BJ Habibie,–sambung Suhendra, juga mengatakan bahwa secara khusus dirinya terjun mengembangkan Iptek di Indonesia tak lain merupakan peran dari sosok Alamsyah Ratuprawiranegara.
“Secara khusus Pak Habibie juga menyampaikan peranan pihak-pihak yang membantunya selama beliau mengabdi untuk Indonesia. Salah satunya, beliau sebutkan nama seseorang tokoh, H. Alamsyah Ratu Perwiranegara. Yang mana Pak Alamsyah juga yang mendorong Habibie mengembangkan Iptek. Pak Alamsyah juga sebagai inisiator dan penggerak terbentuknya ICMI,” urainya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, ikhwal ketua ICMI ini pun terekam jelas dalam benak Suhendra. Menurut penuturannya, kisaran bulan Juni 1990, beberapa Mahasiswa Universitas Brawijaya (diantaranya M. Iqbal, Erik Salman dkk) didampingi Dr. Immaduddin Abdurahim, M.Sc mendatangi Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara. Menyampaikan suatu proposal tentang seminar dan kajian pembentukan wadah bagi Cendikiawan Muslim.
Saat itu penggagas mengusulkan 3 nama untuk mengetuai wadah/forum cendikiawan tersebut, yaitu Prof. Dr. Emil Salim, Ir. Azwar Anas, dan Prof. Ing. BJ. Habibie.
“Kalau saudara-saudara tanya pendapat saya siapa yang layak memimpin wadah ini jawaban saya adalah Habibie. Karena Habibie cukup memiliki keahlian dan ke-Islamannya cukup baik.” Demikian pernyataan Alamsyah Ratu Perwiranegara saat pertemuan itu.
Lalu kemudian setelah pertemuan tersebut Alamsyah RPN menghubungi dan mendiskusikan dengan BJ. Habibie, atas maksud pembentukan wadah Cendekiawan Muslim yang digagas.
Ada keraguan BJ. Habibie yang disampaikan kepada Jenderal Alamsyah ; “Bagaimana mungkin saya menerima posisi tersebut Pak, saya tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan (Islam)?”.
Alamsyah Ratu Perwiranegara menjawab keraguan BJ. Habibie ; “Rudi, Anda tahu saya pernah menjadi Menteri Agama, saya pun tidak memiliki latar belakang pendidikan sekolah agama.” Maka dengan berbekal keyakinan akhirnya Habibie menerima saran dan masukan dari Alamsyah.
Selanjutnya Alamsyah melaporkan maksud pendirian Wadah Cendekiawan Muslim tersebut kepada Presiden Soeharto. Gayung bersambut, Presiden Soeharto pun setuju dan ikut serta membantu pembiayaan kegiatan seminar dan forum tersebut. Disampaikan oleh Jenderal Alamsyah saat menuju proses pelaksanaan seminar dan pembentukan wadah Cendekiawan Muslim mengalami dinamika dan ‘kekhawatiran’ pihak tertentu kepada kekuatan Cendekiawan Islam Indonesia. Hal ini dimaklumi oleh Alamsyah mengingat kemungkinan masih ada pihak-pihak yang trauma atas peristiwa sebelumnya yang mengkaitkan dengan kelompok ekstrim Islam di Indonesia.
Akhirnya pada bulan Desember 1990, seminar dan pembentukan wadah Cendekiawan Muslim Indonesia diselenggarakan di Malang Jawa Timur, resmi dibuka oleh Presiden Soeharto, dan selanjutnya setelah. ICMI terbentuk dan memilih Prof. Ing BJ. Habibie sebagai Ketua Umum, acara tersebut ditutup secara langsung oleh Wapres Soedharmono. (Web Warouw)