Senin, 10 Februari 2025

Seorang Eddy Hiariej Pun Korup, Apalagi Birokrat dan Politisi Busuk!

Oleh: Rio Ismail *

BILA politisi parlemen, politisi birokrat, atau birpkrat tertangkap karena korupsi, saya tak pernah kaget. Banyak, dan makim banyak yang secara berjamaah melakukannya. Tapi seorang Edward Omar Sharif Hiariej digelandang KPK, itu bikin kaget. Betapa tidak, seorang guru besar Fakultas Hukum di UGM yang “nampak baik” dan punya kemampuan intelektualitas hebat, ternyata terlalu mudah juga untuk terlibat korupsi.

Eddy bahkan pernah menjadi konsultan bagi Indonesia Corruption Watch (ICW) ketika ICW melakukan “Kajian Implementasi Aturan Trading in Influence dalam Hukum Nasional” pada 2014. Ini adalah kajiam yang bagus untuk melihat fenomena perdagangan pengaruh atau Trading in Influence (TII) yang trendnya meningkat dan makin canggih dari waktu ke waktu, tetapi hanya diatur secara samar-samar di dalam UU No.28 Tahun 1999 (Anti KKN), UU No.31/1999 dan UU No.20/2001 (Anti Korupsi). Eddy tentu adalah orang yang sangat paham soal efektifitas dan kelemahan konstelasi hukum soal ini.

Eddy juga adalah saksi hebat dalam perseteruan hukum “cebong-kampret” di Mahkamah Konstitusi —jauh sebelum nama lembaga superior ini berubah menjadi “Mahkamah Keluarga”— usia Pilpres 2019. Kesaksiannya yang lugas, akademik, cerdas dan menohok, mengantarkan Jokowi jadi presiden untuk kedua kali. Dia bahkan melakukan dua kali rebound dengan kesaksian memukau saat menjadi saksi ahli dalam kasus Ahok dan perkara “Kopi Sianida” yang menjerat Jessica Wongso (dalam kasus ini dia juga dikecam sebagai saksi ahli keluarga Mirna yang bisa memberatkan Jessica walau tidak didukung bukti yang kuat).

“Ongkos kesaksian” kesaksian Eddy dalam kasus “cebong-kampret” adalah, Presiden Jokowi mengangkatnya sebagai Wakil Menteri Hukum. Dia memang menjadi Wamenkum yang jago, nyentrik, dan selalu memukau publik. Tapi kini, sebelum Jokowi usai dari jabatannya, Eddy sudah terlebih dahulu terkapar dilindas oleh jabatannya sendiri. Menurut KPK, Professor Eddy telah memperdagangkan kewenangannya dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri, sebuah perusahaan pemilik konsesi 2.000 hektare tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (apakah ini cara alam membalas dendam atas praktek penjarahan lingkungan dengan dampak menghancurkan oleh perusahaan tambang? Saya tak memikirkannya).

Memperdagangkan pengaruh atau TII merupakan salah satu kejahatan korupsi yang melibatkan banyak birokrat dan politisi parlemen di Indonesia. Sejumlah kasus malah menunjukkan, para pelaku TII mampu menyedot banyak uang dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan pengaruhnya. Lalu dengan leluasa mencuci uangnya bahkan bisa mencitrakan dirinya sebagai donatur bagi banyak orang dan organisasi tertentu. Publik pun sudah lama mencurigai praktek trading ini sebagai pintu masuk bagi partai-partai untuk mendaur uang rakyat atau menyedot uang pengusaha menjadi ongkos politik yang gratis dan “ringan” resiko hukumnya. Namun dalam kasus Eddy, publik belumlah tahu apa benar Eddy pun hanya melakukannya untuk diri sendiri atau justru terkait dengan pihak lain, semisal partai politik.

Trading in influence adalah salah satu delik korupsi yang awalnya diatur pada pasal 18 Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Namun, walau ada di dalam CAC 2003, statusnya hanya merupakan satu diantara lima klausul yang bersifat non-mandatory. Karena itu juga, meski sudah diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 2006, praktek TIT di Indonesia tidak memiliki pengaturan lebih lanjut. Makanya efektifitasnya pun diperkirakan menjadi sangat lemah.

Para pembuat UU baik itu DPR maupun pemerintah juga cuek-bebek untuk tidak mamandang penting adanya pengaturan yang bisa digunakan untuk menjerat lebih banyak pelaku. Makanya ketika KPK nampak cepat-cepat menyebutkan pengenaaan klausul TII terhadap Eddy/Wamenkum, yang muncul dalam benak adalah pertanyaan apakah ini punya tendensi untuk “meringankan” dakwaan dan hukuman nanti? Atau dengan kata lain, apakah klausul TII ini justru merupakan kanal penyelamatan yang sudah disiapkan jauh hari oleh KPK?

Kekuatan uang akhirnya berbalik melibas siapapun yang punya mental busuk. Tak juga tokoh agama, akademisi setingkat profesor, bahkan penjaga bandul moral dan ahli hukum pun juga apes. Apalagi bila hanya birokrat dan politisi busuk. Semoga yang lain pun bisa segera menyusul, meski sekarang ini kita nyaris kehilangan kepercayaan kepada KPK, Kejaksaan, Kepolisian, dan tentu Pengadilan, termasuk Mahkamah Konstitusi.

Cukup sudah dalam beberapa tahun ini kita selalu heboh dengan OTT korupsi dan TPPU dengan efektifitas yang rendah. “Nilai tangkapan” atau kerugian negara sejak 2018 misalnya, sudah mencapai Rp9,29 triliun, 2019 Rp12 triliun, 2020 Rp56,74 triliun, 2021 Rp62,93 triliun, dan 2022 Rp48,81 triliun. Namun proses peradilan kasus korupsi pada 2021 dan 2022, hanya mampu mengembalikan uang sebesar Rp373,18 milyar pada 2021 atau 0,6 persen dan Rp411,96 milyar pada 2022 atau 0,8 persen. Suatu perbandingan yang mestinya menghasilkan daya marah publik yang lebih dahsyat.

*Penulis Rio Ismail, pengamat sosial politik, aktivis

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru