Sabtu, 5 Juli 2025

Sihar (1): Dibalik Ancaman Pidana Sastrawan

JAKARTA- Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang sastrawan bisa diancam pidana hanya karena menulis pendapatnya dimedia sosial. Sastrawan Sihar Ramses Simatupang setahun sudah menjelaskan latar belakang dari polemik antara para sastrawan soal keterlibatan konsultan politik dalam dunia sastra Indonesia modern saat ini.

Dibawah ini lima seri tulisan Sihar Ramses Simatupang yang menceritakan latar belakang pidana pada sastrawan Saut Situmorang. Tulisan ini sudah pernah dimuat di akun facebooknya setahun lalu dan diterima Bergelora.com di Jakarta, Rabu (1/4).

“Mudah-mudahan ini pendapat terakhir saya soal buku “33 Tokoh Sastrawan Paling Berpengaruh” dan selanjutnya atas saran kawan-kawan lain yang saya temui, lebih baik saya meneruskan berkarya daripada berkomentar kelewat panjang seperti yang saya lakukan selama ini.

Kawanku Chavchay Syaifullah, 21 penyair dan para penyair lainnya di dalam buku-buku yang pernah ada di dalam puisi esai yang saya hormati.

Aku tahu karya kita saat membuat puisi adalah kerja profesional. Tak mudah untuk menghasilkan tulisan, puisi, buah pikiran dan perasaan kita. Puisi dibangun tak hanya dengan teknik berbahasa, dari diksi, pilihan kata-kata yang baru, konsep dan visi dunia dan kemanusiaan yang ditanggapi oleh seorang penyair sejak dia lahir atau pun sejak dia merasa pertama kali menulis puisi.

Namun, pernyataanku bahwa aku mencabut puisiku dan mengembalikan HONOR ku di hadapan publik (di media sosial dunia maya) tetap aku harus hormati. Kata-kata itu aku tuliskan dengan penuh emosi, bahkan agak sentimental, luka dan perih. Aku subyektif sekali pada saat itu. Tapi, kawan-kawan, aku tak mau dikatakan sebagai personal yang ingin menjilat ludahku sendiri. Sehingga, aku memutuskan untuk tetap mengirimkan uang untuk dikembalikan kepada Denny JA.

Kalau saja tak membuat pernyataan di depan publik, aku pasti membatalkan niatku untuk mengembalikan honorku yang kupakai untuk keperluan sehari-hari keluargaku. Aku pasti batal mengembalikannya karena semua pendapat Chavchay itu benar. Itu memang honor kita, halal bahkan hak kita.

Yang penting, kawan, aku tak akan berbeda, karena aku tetap setuju pada pendapat Chavchay, bahwa kita jangan dipecah-belah, karena kita sama sekali tak tahu bahwa akan ada buku “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” (selanjutnya saya singkat 33 TSPB) yang ada nama Denny JA disana, padahal dia sama sekali tak layak ada disana karena selama ini tidak memberikan pengaruh apa-apa di dunia estetik sastra. Dennylah yang tak tahu, juga tim 7 (yang sekarang menjadi tim 7 minus pengunduran diri Maman S Mahayana – salut dan hormat aku padamu Pak Maman, tegakkanlah dunia sastra itu!). Denny JA dan Tim 7 pun tak tahu, bahwa tubuh puisi esai Denny JA, bukan karya baru di dalam dunia sastra Indonesia. Bahkan konsep prosa liris beberapa puisiku – di antaranya puisi “Kisah Pohon Asam di Tanah Jakarta” – adalah karya yang aku buat sejak dua tahun yang lalu. Kepada seorang penyair, aku sempat menyatakan keinginanku membuat prosa liris seperti “Pengakuan Pariyem” mendiang Linus Suryadi atau pun “Sumo Bawuk” Agus Sunyoto, juga puisi-puisi mendiang Rendra. Tapi, jangan dengan teknik perpuisian bergaya tembang seperti Agus Sunyoto dan Linus Suryadi, namun mencari teknik prosa liris ala puisi Sumatera (kawan penyairku bernama Irman Syah itu sebenarnya – sungguh ini subyektif saya saja – tentu lebih kuat bila membuat prosa liris karena bahasa ibunya adalah bahasa Sumatera sedangkan aku seorang Sumatera yang kelahiran Jakarta. Gaya puisinya pun mantap kali ketika mengalunkan puisi plus dendang menggunakan saluang).” (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru